RAGAM PALU - Gempa besar Megathrust Nankai yang terjadi di Jepang Selatan pada 8 Agustus lalu telah diprediksi sebelumnya oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyatakan bahwa BMKG sudah memodelkan kemungkinan terjadinya tsunami akibat gempa tersebut. "Hasil pemodelan BMKG menunjukkan ancaman 'waspada' dengan tinggi tsunami kurang dari setengah meter, dan ini terkonfirmasi dengan terjadinya tsunami setinggi 31 cm di Pantai Miyazaki, Jepang, yang tidak menyebabkan kerusakan," jelas Daryono, seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia pada Minggu (11/8/2024).
Gempa Megathrust Nankai berasal dari sumber gempa di sebelah timur lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku, dan Kinki di Jepang Selatan. Zona Megathrust Nankai merupakan area 'seismic gap', yaitu zona sumber gempa potensial yang belum mengalami gempa besar dalam kurun waktu puluhan hingga ratusan tahun. Saat ini, diduga zona tersebut sedang mengalami akumulasi medan tegangan atau stress pada kerak bumi.
"Sistem Megathrust Nankai sangat aktif. Berdasarkan data sejarah, zona sumber gempa ini dapat memicu gempa dahsyat dengan magnitudo M8,0 hingga lebih dalam rentang waktu satu atau dua abad," ungkap Daryono. Jika seluruh segmen patahan pada Palung Nankai tergelincir bersamaan, para ilmuwan Jepang percaya bahwa palung tersebut bisa menghasilkan gempa berkekuatan hingga M9,1.
Daryono menambahkan bahwa kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai juga dirasakan oleh para ilmuwan di Indonesia, terutama terhadap Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Siberut (M8,9). "Kedua segmen megathrust ini sudah ratusan tahun tidak mengalami gempa besar, sehingga rilis gempa pada segmen-segmen ini bisa dibilang tinggal menunggu waktu," ujarnya.
Meski demikian, Daryono menekankan bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir karena kejadian seperti di Jepang dapat dipantau secara real time oleh BMKG. "Kami mampu menganalisis dengan cepat, termasuk memodelkan tsunami yang mungkin terjadi serta dampaknya menggunakan sistem InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga informasi gempa dan peringatan dini tsunami dapat segera disebarluaskan di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di bagian utara," jelasnya.
Sebagai langkah antisipasi dan mitigasi, BMKG telah mempersiapkan sistem monitoring, pemrosesan, dan diseminasi informasi gempa serta peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat. Selain itu, BMKG juga telah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, dan evakuasi berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai, dan infrastruktur kritis seperti pelabuhan dan bandara pantai.
Pelatihan ini dilaksanakan melalui program Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS), serta Pembentukan Masyarakat Siaga Tsunami (Tsunami Ready Community). "Harapan kami adalah agar upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami dapat berhasil, sehingga dampak bencana dapat ditekan seminimal mungkin, bahkan hingga menciptakan zero victim," tutup Daryono.***