logo2

ugm-logo

Blog

Kabut Asap Kembali Selimuti Palembang

Kabut Asap Kembali Selimuti Palembang

Palembang - Titik panas (hot spot) akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan (Sumsel) bertambah. Akibatnya, kabut asap menyelimuti Palembang.

Berdasarkan catatan di BPBD Sumsel, ada 610 titik panas pada Selasa (1/10). Lokasinya paling banyak berada di Ogan Komering Ilir (OKI).

Selain di OKI, hot spot juga tersebar di wilayah Banyuasin dengan 29 titik, disusul Musi Banyuasin 20 titik. Terpantau juga titik panas di OKU Timur (11 titik) serta OKU Selatan dengan 10 titik panas.

Titik panas sempat turun jumlahnya saat sebagian wilayah Sumsel diguyur hujan pekan lalu. Saat itu kabut asap sempat hilang.

"Titik api hari ini tak berbeda jauh sama kemarin. Masih di atas 200 titik dan itu mayoritas di OKI," kata Kepala Bidang Penanggulangan Bencana BPBD Sumsel Ansori saat dimintai konfirmasi, Rabu (2/10/2019).

Dilihat dari arah mata angin, kabut asap menyelimuti Palembang berasal dari OKI dan Ogan Ilir. Untuk Ogan Ilir berada di wilayah Rambutan.

"Kabut asap itu dari OKI dan Rambutan, masuk ke Palembang karena angin. Ini penyebab kabut asap yang menyelimuti dari tadi malam sampai siang ini," kata Ansori.

Sebagai upaya penanggulangan, Ansori menyebut ada empat heli water bombing yang diterjunkan ke lokasi. Tiga pemadaman di OKI dan satu di Rambutan.

Titik pemadaman heli water bombing difokuskan pada lahan gambut. Sebab, selain sulit diakses, asap bekas kebakaran menyulitkan petugas.

"Fokus di lahan gambut, gambut yang kami padamkan karena asapnya cukup banyak. Musi Banyuasin kami tidak kirim heli karena lahannya masih basah setelah diguyur hujan," kata dia.

Tata Kelola Risiko Bencana Asap

Jakarta - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi. Dampaknya sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan mengalami bencana asap. Istilah bencana asap ini muncul dari masyarakat sejak karhutla diikuti kabut asap parah terjadi pada 2015 lalu. Publik mengira, belajar dari karhutla terparah sepanjang sejarah itu, pemerintah memiliki strategi pengurangan risiko. Tapi faktanya, karhutla dan bencana asap kembali terjadi tahun ini.

Lemahnya tata kelola risiko karhutla ini membuat pemerintah masih fokus pada penanganan kebakaran. Kebijakan reaktif ini hanya dapat mengatasi karhutla jangka pendek. Sejumlah riset menyebutkan, karhutla dan kabut asap memiliki dampak signifikan. Berkaca pada kejadian 2015, riset beberapa ilmuwan Harvard University dan Columbia University yang diterbitkan di Environmental Research Letters 11 (9) menyebut, kabut asap 2015 mengakibatkan 100.300 kematian dini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Indonesia sendiri menghadapi risiko dampak kesehatan akibat karhutla paling tinggi.

Sementara itu laporan Bank Dunia menyebutkan, karhutla 2015 yang menghanguskan 2,6 juta hektar lahan, menyebabkan kerugian Rp 221 triliun (World Bank, 2015). Melihat besarnya risiko karhutla yang mengganggu ekologi, ekonomi, dan kesehatan ini, seharusnya pemerintah dapat merumuskan kebijakan tata kelola risiko karhutla melibatkan banyak aktor dan pemangku kepentingan. Bahkan United Nation Development Program (UNDP) mewanti-wanti, pencegahan kebakaran jangka panjang merupakan kepentingan nasional Indonesia dengan manfaat ekonomi dan sosial signifikan (UNDP, 2015).

Pada 2015 sampai 2017 saya melakukan riset pencegahan karhutla di Riau yang disebut sebagai jantung kerusakan ekologi. Temuan riset ini antara lain, para pemangku kepentingan di tingkat lokal berpendapat, karhutla di Riau disebabkan perilaku manusia yang melakukan pembakaran secara sengaja. Pelaku pembakaran diidentifikasi sebagai individual dan kelompok terorganisasi yang tidak terungkap sehingga disebut invisible hand. Lokasi kebakaran paling banyak terjadi di area open access yaitu bekas konsesi yang dibiarkan terlantar setelah masa konsesinya habis, area korporasi, area pertanian masyarakat, dan area konservasi.

Melihat realitas tersebut, pemahaman tata kelola risiko penting untuk merumuskan kebijakan pengendalian karhutla yang sistematis. Konsep risiko ini terkait dengan bahaya yang diproyeksikan di masa depan. Oleh karena itu sekalipun sebagai perkiraan dan ramalan, bahaya-bahaya itu memiliki relevansi praktis bagi tindakan pencegahan (Beck, 2015). Pengelolaan sumber daya alam tanpa memproyeksikan risiko di masa depan menyebabkan malapetaka.

Karhutla merupakan dampak dari ketamakan industri kehutanan dan perkebunan pada masa lalu. Belajar dari pengalaman karhutla selama ini, sudah saatnya pemerintah memperbaiki tata kelola risiko untuk meminimalisir bahaya pada masa mendatang.

Siklus Karhutla

Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa kebakaran hutan/lahan merupakan bencana non-alam yang disebabkan oleh manusia. Pasal 33 UU Bencana itu menyebut, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas tiga tahap meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Dalam konteks ini, tata kelola risiko berada pada tahap prabencana yang dapat dikelompokkan menjadi tindakan pencegahan, mitigasi, serta kesiapsiagaan.

Khusus karhutla terdapat tiga tahapan yaitu pembakaran, kebakaran, dan bencana yang menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan mengancam keselamatan manusia (BNPB, 2013). Kesalahan kebijakan pengendalian karhutla selama ini, pengaktifan satgas penanggulangan karhutla baru dilakukan saat "siaga darurat karhutla" ketika hutan dan lahan sudah terbakar dan asap sudah menyebar. Kesalahan pemahaman ini menyebabkan status "siaga" baru ditetapkan setelah darurat (terbakar).

Seharusnya kesiapsiagaan sudah dilakukan sebelum ada pembakaran, dengan memetakan kawasan rawan, mengidentifikasi pelaku, dan mengoptimalkan sumberdaya untuk mencegah pembakaran. Idealnya, pembentukan satgas pengendalian karhutla level nasional dan lokal sudah dilakukan sejak tahap pencegahan dan mitigasi sehingga dapat mengoptimalkan tata kelola risiko pengendalian karhutla secara menyeluruh.

Pada tahap ini satgas karhutla dapat melakukan pencegahan karhutla pada sektor hulu terutama masalah tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan, ekspansi industri kehutanan dan perkebunan, perambahan area konservasi, dan pembukaan hutan/ lahan secara ilegal oleh cukong dan masyarakat. Berbeda dengan bencana alam, karhutla disebabkan oleh perilaku manusia sehingga pencegahannya juga memerlukan tindakan komunikatif (preventif) dan penegakan hukum (represif) terhadap pelaku.

Kerja Kolaboratif

Pengurangan risiko karhutla yang diikuti bencana asap merupakan pekerjaan kolaboratif. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri untuk mengurai benang kusut ini. Jika mengacu model komunikasi risiko, jalur komunikasi yang efektif dan terbuka harus dibangun di antara ruang ahli (pemerintah, ilmuwan, dan korporasi) dan ruang publik (kelompok advokasi, media massa, dan masyarakat).

Selama ini terjadi kesenjangan komunikasi terutama di ruang ahli yang lebih banyak melibatkan aktor-aktor pemerintah. Sementara itu, aktor-aktor di ruang publik juga berjalan sendiri; hanya sebagian kelompok advokasi yang bekerja bersama komunitas.

Kurangnya komunikasi antarapemangku kepentingan ini menyebabkan sering terjadinya ketidaksepakatan dalam pemaknaan risiko. Misalnya, menurut persepsi kelompok advokasi karhutla disebabkan faktor hulu seperti tata kelola kehutanan, lingkungan, dan perkebunan. Sedangkan pemerintah masih fokus pada kondisi darurat.

Sementara itu, banyak masyarakat (petani) mengeluhkan larangan membakar tanpa diikuti solusi alternatif membuka lahan tanpa bakar yang memadai. Padahal sebagian masyarakat memiliki kearifan lokal membakar terkendali skala terbatas untuk membuka lahan tanaman pangan. Hal ini berdampak pada penurunan mata pencaharian petani tanaman pangan.

Idealnya, tata kelola risiko mendorong keterhubungan yang erat antara aktor-aktor di ruang ahli dan ruang publik, sehingga terdapat pemaknaan yang sama terhadap risiko karhutla. Komunikasi yang terbuka juga memicu keterlibatan aktor-aktor ruang ahli untuk bergerak di ruang publik. Begitu juga sebaliknya, aktor-aktor di ruang publik dilibatkan dalam pengambilan keputusan di ruang ahli.

Untuk itu, tata kelola risiko di ruang ahli harus berasal dari kajian mendalam dari ruang publik, sehingga rumusan dan implementasi kebijakan didasari kebutuhan masyarakat pula. Melalui konsep ini, narasi pengendalian karhutla diharapkan tidak hanya mengakomodir kepentingan pemerintah dan korporasi yang dirumuskan "di atas kertas" tetapi perlu memperhatikan kepentingan dan kearifan lokal.

Dalam kerja kolaboratif ini, pemerintah juga perlu memperhatikan peran Masyarakat Peduli Api (MPA) yang disebut sebagai ujung tombak pengendalian karhutla di tingkat desa. Komunitas itu memiliki tata kelola risiko sederhana untuk mengamankan area sekitar desanya. Mereka dapat menilai potensi karhutla, melakukan pemetaan kawasan rawan, dan melakukan pencegahan melalui patroli dan komunikasi persuasif kepada warga desa.

Pemahaman MPA tentang praktik tata kelola risiko itu mampu menghindarkan area desa dari ancaman karhutla. Mereka belajar dari krisis ekologi dan bencana kabut asap akibat karhutla tahun-tahun sebelumnya. Jika ribuan desa di kawasan rawan karhutla di Indonesia mampu membentuk organisasi serupa dan melakukan praktik pencegahan karhutla, risiko karhutla di desa dapat diatasi. Pemerintah tinggal fokus mengelola risiko di area open access dan kawasan konservasi yang rawan perambahan. Sedangkan korporasi fokus mengelola risiko di area konsesinya.

Masalahnya, tidak semua MPA mendapat pelatihan dan pendampingan. Masih banyak MPA setelah dibentuk sesudah itu mati. MPA yang hidup umumnya dibentuk atas inisiatif dan pendampingan LSM dan sebagian korporasi. Ironisnya, hampir semua MPA mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap komunitas yang dielu-elukan sebagai garda terdepan pencegahan karhutla. Agar kegiatan MPA berkelanjutan mereka berharap mendapat program pemberdayaan ekonomi agar anggotanya lebih mandiri dan sejahtera. Bukan hanya dijadikan sebagai alat pemadam kebakaran oleh pemerintah dan korporasi.

Melihat karhutla diikuti kabut asap yang masih terjadi, seharusnya pemerintah mengubah paradigma tata kelola risiko dan mendorong keterhubungan antara aktor-aktor di ruang ahli dan ruang publik. Melalui konsep ini diharapkan pengendalian karhutla tidak hanya mengakomodasi kepentingan politik dan bisnis, tetapi juga memperhatikan kepentingan publik. Maka, pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan pengendalian karhutla berbasis pencegahan. Bukan sekadar kebijakan reaktif setelah kebakaran yang menyisakan bencana asap dan kerusakan ekologis.

M Badri dosen dan peneliti komunikasi di UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Doni Munardo Kunjungi Daerah Dampak Bencana Di Maluku

TERASMALUKU.COM,-AMBON-Kepala BNPB RI Doni Monardo meminta untuk Bupati Maluku Tengah (Malteng) Abua Tuasikal agar dapat meninjau lokasi pengungsi bencana Gempa Bumi.

“Saya dam Gubernur Maluku Murad Ismail berharap Bupati Malteng bisa langsung turun lapangan tinjau lokasi bencana Gempa Bumi,” kata Doni kepada wartawan usai peninjauan lokasi bencana di Pulau Ambon, Jumat (27/9/2019).

Doni mengatakan, Bupati harusnya turun ke lokasi bencana untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang langkah-langkah antisipasi agar dapat mengerti soal bencana stunami maupun gempa bumi.

“Masih banyak masyarakat yang takut untuk kembali ke rumah mereka, sehingga kedatangannya untuk meyakinkan untuk pulang ke rumah masing-masing,” katanya.

Sebelumnya, Gempa Magnitude berkekuatan 6,8 itu menggncang Maluku pada Kamis 26 September 2019 yang mengakibatkan 23 korban jiwa ratusan rumah rusak parah dan fasilaitas umum mengalami keretakan. Sampai saat ini ratusan warga korban gempa di Desa Tulehu, Waai dan Liang, Desa Taal, Kabupaten Malteng masih mengungsi di tenda-tenda darurat.(Alfian Sanusi)

BNPB Minta Masyarakat Bereaksi Cepat Saat Bencana

Bisnis.com, JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB meminta masyarakat untuk bereaksi cepat saat terjadi bencana untuk meminimalkan korban jiwa.

Doni Monardo, Kepala BNPB, mengatakan masyarakat harus langsung mencari lokasi aman saat ada bencana gempa bumi besar yang terjadi lebih dari 20 detik. Setelah itu masyarakat harus menunggu sekitar 2 jam untuk memastikan situasi sudah aman sebelum kembali ke rumahnya masing-masing.

“Kalau terlalu lama di tempat pengungsian dapat memunculkan masalah baru, seperti makanan, kesehatan, sanitasi, dan lainnya,” katanya melalui keterangan resmi, Jumat (27/9/2019).

Doni sendiri melakukan kunjungan lapangan ke Maluku setelah gempa M 6,5 untuk memastikan penanganan pascabencana berjalan dengan baik.

BNPB juga telah memberikan bantuan dana siap pakai sebesar Rp1 miliar yang digunakan untuk operasional penanganan darurat. Selain itu, BNPB juga memberikan bantuan logistik senilai Rp515 juta dalam bentuk matras, sandang, selimut, dan keperluan keluarga lainnya.

Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku menginformasikan korban meninggal dunia akibat gempa M 6,5 pada 26 September 2019 berjumlah 18 orang.

Korban meninggal tertinggi teridentifikasi berada di Kabupaten Maluku Tengah sejumlah 10 orang, di Kota Ambon berjumlah 7 orang dan Seram Bagian Barat 2 orang.

Gempa yang terjadi di kedalaman 10 km ini juga menimbulkan korban luka sebanyak 126 orang, dengan rincian Kabupaten Maluku Tengah 108 orang, Seram Bagian Barat 13, dan Kota Ambon 5 orang.

Masyarakat juga diimbau untuk tidak terpancing dengan isu atau berita bohong yang beredar, dan selalu mengetahui informasi resmi dari BMKG yang disebarluaskan melalui kanal resmi.

BMKG juga telah menyatakan bahwa isu akan terjadi gempa besar dan tsunami di Ambon, Teluk Piru, dan Saparua adalah tidak benar atau berita bohong, karena hingga saat ini belum ada teknologi yang dapat memprediksi gempa bumi dengan tepat, dan akurat.

Wali Kota Ambon Tetapkan Masa Tanggap Darurat Bencana Gempa Selama 14 Hari

JAKARTA, KOMPAS.com - Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy telah menetapkan status tanggap darurat terkait gempa bumi yang mengguncang kota tersebut dan sekitarnya.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menuturkan, masa tanggap darurat berlaku selama 14 hari, pada 26 September-9 Oktober 2019.

"Wali Kota Ambon pada tanggal 27 September 2019, (menerbitkan) Surat Keputusan Nomor 711 Tahun 2019 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Gempa Bumi Kota Ambon Tahun 2019, mulai tanggal 26 September sampai dengan 9 Oktober 2019," kata Agus melalui keterangan tertulis, Minggu (29/9/2019).

Selain itu, untuk menangani bencana tersebut, wali kota Ambon juga membentuk Pos Komando Tanggap Darurat Bencana (Posko PDB) Gempa Bumi Kota Ambon.

Wali Kota Richard akan menjadi penanggungjawab posko tersebut. Kemudian, sekretaris Kota Ambon akan menjadi komandan, dan kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ambon berperan sebagai wakil komandan.

"Dengan keluarnya SK Penetapan Status Tanggap Darurat dan Struktur Komando PDB Gempa Bumi Kota Ambon diharapkan penanganan pasca-bencana gempa bumi Kota Ambon dapat belangsung dengan baik dan lancar," ungkap Agus.

Gempa bermagnitudo 6,8 (dimutakhirkan menjadi 6,5 magnitudo) sebelumnya mengguncang Pulau Ambon dan Kabupaten Seram Bagian Barat pada Kamis (26/9/2019) sekitar pukul 08.46 WIT.

Adapun lokasi gempa berada pada titik koordinat 3.38 Lintang Selatan,128.43 Bujur Timur atau berjarak 40 km Timur Laut Ambon-Maluku dengan kedalaman 10 km.

Berdasarkan data BNPB per Minggu hari ini, sebanyak 30 orang meninggal dunia dan 156 lainnya luka-luka. Rinciannya, di Kota Ambon, terdapat 10 korban meninggal dunia dan 31 korban luka-luka.

Kemudian, tercatat sebanyak 6 korban meninggal dan 17 luka-luka di Kabupaten Seram Bagian Barat.

Terakhir, di Kabupaten Maluku Tengah, BNPB mencatat 14 orang meninggal dan 208 korban luka-luka akibat gempa tersebut.