logo2

ugm-logo

Blog

Pentahelix Jadi Jurus Tangkal Bencana

MALANG KOTA – Bencana alam bisa datang kapan saja, tanpa bisa diduga. Namun, kesiapan warga lewat program Kelurahan Tangguh Bencana diharapkan mampu meminimalisasi dampak jika sampai terjadi. Kesigapan itulah yang ditunjukkan warga Kelurahan Bandungrejo di depan juri Lomba Tangguh Bencana tingkat Madya Jatim kemarin (11/9).

Dari 25 kelurahan tangguh bencana tingkat pratama di Kota Malang, Bandungrejo terpilih sebagai yang terbaik tahun 2018 lalu. Karena  itu, kelurahan ini menjadi wakil Kota Malang dalam Lomba Kelurahan Tangguh Bencana tingkat madya Jawa Timur.

Dalam pelaksanaannya, Kota Malang memaksimalkan konsep Pentahelix dalam penanganan bencana. Yaitu, kerja sama antarlini atau bidang akademik, pengusaha, masyarakat, pemerintah, dan media.

”Sesuai dengan misi wali Kota Malang, kita mengandalkan konsep pentahelix, di mana semua lini harus terlibat, tidak hanya pemerintah saja,” ujar Asisten Perekonomian Pemerintah Kota (Pemkot) Malang Diah Ayu Kusuma Dewi.

Pada penilaian kali ini, Rabu (11/9), empat anggota tim juri yang dikomandoi Sekretaris BPBD Provinsi Jawa Timur Erwin Indra Widjaja ini, memverifikasi simulasi yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Bandungrejosari.

Berlokasi di gang II, masyarakat menggelar simulasi yang langsung dinilai oleh tim juri. Aryo Rachmono selaku Lurah Bandungrejosari menjelaskan, selama ini kelurahannya sangat intens dalam memberikan sosialisasi tentang adanya bencana serta antisipasinya. ”Sekarang di Bandungrejosari ini sudah terdapat beberapa rambu-rambu peringatan dan jalur evakuasi,” terangnya.

Dalam simulasi yang dipraktikkan masyarakat Bandungrejosari kemarin adalah penanganan bencana banjir. ”Simulasi dimulai dengan adanya korban banjir yang hanyut di sungai, lalu adanya penanganan sampai dengan perawatan di tenda. Selain itu, di sekitaran tenda juga ada masyarakat yang memasak untuk korban yang mengungsi,” ujar Aryo.

Usai menyaksikan simulasi, Erwin memuji kesiapsiagaan dan kesigapan warga. ”Sementara penilaian saya, untuk aspek kesiapsiagaan, risiko, dan kesehatan bagus,” papar dia. Lebih lanjut, Erwin menjelaskan konsep pentahelix yang diusung Pemkot Malang sangat terasa kehadirannya dalam membentuk Kelurahan Tangguh Bencana.

”Selain itu, selama proses simulasi yang digelar tadi, respon time, dapur untuk pengungsian juga bagus,” sambungnya.

Secara khusus, Erwin juga mengapresiasi peran para emak-emak tangguh. Mereka terlihat mengetahui apa yang harus dilakukan saat menghadapi situasi darurat.

Hal itu penting karena selama ini kebanyakan yang menjadi korban bencana alam adalah ibu-ibu dan anak. ”Emak-emak tangguh bencana di sini semangatnya sangat tinggi, justru peran bapak-bapaknya yang agak kurang terlihat,” sentilnya.

Erwin yakin, edukasi tentang bencana serta penanganannya sudah tersampaikan kepada masyarakat dengan baik. Namun di balik itu, Erwin juga memberi catatan tentang peran dan kehadiran Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) yang dirasa masih kurang.

Sementara itu, Sekretaris Pemkot Malang Wasto mengapresiasi respons serta kesiapan dari masyarakat Bandungrejosari. ”Responsnya dan kesiapan dari masyarakat luar biasa. Hal ini menunjukkan, kesadaran dalam antisipasi terhadap bencana sudah tinggi,” tuturnya. Dia menambahkan, lomba tersebut sekaligus mengedukasi masyarakat tentang adanya risiko kebencanaan.

Dia juga berharap, ke depan seluruh keluruhan paham betul cara penanganan dan antisipasi bencana alam. Dengan begitu, dapat meminimalisasi korban bencana alam. Dia juga mengajak kepada masyarakat agar lebih memperhatikan sampah di sekelilingnya, terutama di sungai. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi banjir adalah sampah.

Tingkatkan Kesiapsiagaan Bencana, Jabar Gandeng Ilmuan dari Hawaii

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat menggelar pertemuan dengan 30 alumni workshop smart tourism dan smart disaster management di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Kamis (12/9/2019).

KOMPAS.com - Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat (Jabar) menggandeng para ilmuan dari Hawaii untuk memberikan pelatihan kepada para relawan dan petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kota dan kabupaten di Jabar

Kolaborasi dengan para ilmuan yang juga konsultan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu adalah bagian dari rencana pembuatan cetak biru West Java Resiliance Culture (Budaya Ketahanan Jawa Barat) dalam rangka penguatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana.

"Dipilih ilmuan tersebut sudah melalui East West Center. Mereka diundang untuk memberikan pelatihan kepada perwakilan petugas relawan staf di BPBD Kota Kabupaten dalam memprediksi kesiapan Jabar sampai 2040," ujar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Gedung Pakuan, Jalan Otista, Kamis (12/9/2019), seperti dalam keterangan tertulisnya.

Agar lebih konkret, kata Ridwan, ia meminta para peserta pelatihan untuk merancang buku tentang potensi serta sikap masyarakat terhadap bencana di Jabar.

Selain itu, ia pun meminta Dinas Komunikasi dan Informatika (Dismominfo) Provinsi Jabar untuk membuat aplikasi yang berisi informasi dan edukasi seputar kebencanaan.

"Membuat aplikasi kebencaan yang bisa didownload semua warga Jabar sehingga pada saat terjadi bencana bisa lebih dekat dan melakukan tindakan emergensi yang lebih relevan termasuk konten edukasi disitu bisa dilihat dalam bentuk video tutorial dan lain-lain," kata Emil, sapaan akrabnya.

Selain itu, Emil meminta dinas terkait untuk membuat maskot agar mempermudah proses sosialisasi dan edukasi. 

"Maskotnya mungkin fauna. Namanya Resi dari resiliance. Nanti dicari supaya pas kita mengedukasi anak TK, anak SD yang masih awam," kata Emil.

Hal itu harus dilakukan, kata Emil, agar sosialisasi yang dijalankan bisa lebih fun, sambil melatih mereka menjadi generasi yang lebih siap hadapi bencana dari orang tuanya.

Ia menargetkan seluruh rencana itu bisa dieksekusi akhir tahun nanti.

"2020 baru kita ngabret. Saya targetkan tiga bulan minimal 1.0 tahap satu," jelas Emil.

Kerugian Bencana di Sukabumi Selama Agustus Capai Rp4,34 Miliar

SUKABUMI, AYOBANDUNG.COM -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi mencatat, kerugian akibat bencana alam sepanjang Agustus 2019 mencapai Rp4,345 miliar.

"Kerugian paling besar diakibatkan bencana gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Sumur, Banten berkekuatan 6,9 Skala Richter (SR) yang merusak puluhan rumah pada 2 Agustus lalu," kata Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Kabupaten Sukabumi, Daeng Sutisna di Sukabumi, Rabu (11/9/2019).

Ia mengatakan, pada Agustus 2019 gempa bumi terjadi hingga 22 kali. Namun yang paling parah adalah saat gempa yang berpusat di Banten.

Sumbangan terbesar kerugian akibat bencana lainnya tidak hanya dari gempa bumi saja, kasus kebakaran juga mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Pada Agustus tercatat terjadi 19 kasus kebakaran.

Tingginya kerugian akibat bencana tersebut karena biasanya rumah rusak berat dan tidak bisa dihuni lagi sehingga pemiliknya harus mengungsi. Ditambah bencana kekeringan akibat kemarau panjang yang terjadi 22 kasus.

Pada bulan lalu pun terjadi beberapa kasus bencana lainnya seperti longsor ada enam kasus dan bencana lain-lain sebanyak enam kejadian. Seluruh warga yang terdampak atau menjadi korban bencana khususnya rumahnya yang rusak sudah mendapatkan bantuan darurat.

Bantuan yang diberikan tergantung dari kebutuhan dan jenis bencana, mulai dari bantuan makanan, perlengkapan makan, tidur dan mandi. Serta ada juga yang diberikan bantuan berupa bahan bangunan untuk korban bencana kebakaran maupun gempa bumi yang rumahnya rusak berat dan sedang.

"Untuk jumlah warga yang terdampak bencana sebanyak 50 kepala keluarga atau 147 jiwa dan yang mengungsi 28 KK atau 89 jiwa, namun tidak ada korban jiwa akibat bencana sepanjang Agustus lalu hanya beberapa warga mengalami luka-luka," tambahnya.

Daeng mengatakan untuk September ini bencana didominasi kasus kebakaran permukiman warga, hutan, dan lahan. Bahkan, beberapa hari lalu pihaknya menerima laporan hutan dan lahan yang berada di Gunung Walat Cibadak mengalami kebakaran.

Kebakaran rumah yang terjadi biasanya dikarenakan hubungan arus pendek listrik, sementara untuk karhutla disebabkan beberapa faktor seperti adanya pembakaran lahan pertanian yang apinya merembet sehingga kebakaran meluas.

Maka dari itu, secara rutin pihaknya mengimbau agar warga tidak melakukan aktivitas yang bisa memicu kebakaran, apalagi pada musim kemarau ini kondisi lahan, hutan dan permukiman kering sehingga jika terjadi kebakaran api bisa dengan cepat menjalar.

 

Kebakaran Hutan Dominasi Bencana Alam di Jabar

https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/0.17670200-1567919482-dom-1567518901.jpeg.jpeg

LENGKONGAYOBANDUNG.COM -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat (Jabar) menyatakan peristiwa bencana alam yang terjadi selama Agustus 2019 di Provinsi Jabar didominasi oleh kebakaran hutan. Ada sebanyak 55 kebakaran hutan yang tercatat.

"Jumlah kejadian bencana alam sepanjang Agustus 2019 ini 117 kejadian dan dari jumlah tersebut didominasi oleh kejadian kebakaran hutan," kata Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Provinsi Jawa Barat, Budi Budiman Wahyu dalam siaran persnya, Sabtu (7/9/2019).

Ia menjelaskan, peristiwa bencana terbanyak kedua selama bulan lalu di Provinsi Jabar ditempati oleh kebakaran rumah dengan jumlah 38 kejadian. Lalu disusul angin puting beliung 12 kejadian dan tanah longsor 10 kejadian.

"Kemudian peristiwa gempa bumi terjadi dua kali atau hanya dua persen persen dari total kejadian bencana di Provinsi Jabar Agustus 2019 ini," kata dia

Ia menjelaskan, sebanyak 266 jiwa terdampak akibat peristiwa bencana alam yang terjadi selama Agustus 2019. Ada 83 rumah terdampak bencana alam yang terdiri atas 32 rumah rusak berat, 27 rumah rusak sedang, dan 24 rumah rusak ringan.

"Alhamdulillah dari jumlah kejadian yang terjadi selama bulan Agustus lalu tak satu pun korban jiwa yang tewas diakibatkan oleh kejadian bencana di Jabar selama Agustus kemarin," ujar Budi.

Lebih lanjut, ia mengatakan kebakaran yang terjadi di Provinsi Jabar memang disebabkan oleh kekeringan yang umumnya terjadi di wilayah Jabar bagian utara.

Akan tetapi kebakaran di sini bukan hanya terjadi di hutan tetapi juga lahan terbuka seperti lahan yang penuh alang-alang.

Alokasi Anggaran Bencana Belum Ideal

Mataram (Suara NTB) – Alokasi anggaran untuk penanganan bencana harus ditingkatkan. APBD pada daerah-daerah di NTB  hanya 0,02 persen. Angka ini masih jauh dari ideal untuk memaksimalkan penanggulangan bencana yang kompleks di NTB.

Hal itu disampaikan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, H.Ahsanul Khalik saat menghadiri workshop dengan tema Strengthening National Natural Disaster Preparedness : Perspectives from Local Governments di Jakarta, Selasa, 10 September 2019. Acara dihadiri Kepala BPBD se Indonesia yang rawan gempa.

Diskusi digagas oleh Centre For Strategic and International Studies berlangsung hangat. Dalam keterangan tertulisnya, Ahsanul Khalik menyebut, silih berganti Kepala Pelaksana BPBD dari berbagai provinsi memaparkan kondisi daerahnya. Termasuk Kepala Pelaksana BPBD Palu dan NTB.

Mantan Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB ini menyebut, semua daerah mengalokasikan APBD untuk bencana relative kecil. Padahal dari 14 jenis bencana alam, 11 diantaranya terjadi di NTB.

“Anggaran kebencanaan hanya 0,02 persen. Perlu dipikirkan kebijakan politik dari pusat di APBD atau di APBN,” sebut Khalik.

Idealnya, kata dia, dana penanggulangan bencana adalah 2 persen dari total APBD masing-masing daerah. ‘’Bisa 2 persen atau berapa. Intinya perlu ditingkatkan,’’sarannya.

Ahsanul Khalik juga memaparkan, soal gempa bumi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa banyak hal yang dipelajari. Diantaranya, system komando kebencanaan harus jelas. ‘’NTB sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai daerah rawan gempa,’’ katanya.

Dalam catatannya, tahun 1856 gempa, 1815 Gunung Tambora.

“Sejarah ini berulang selalu dilupakan masyarakat,’’ kata Khalik.

Sebagai solusi, literasi kebencanaan menjadi penting. Pengalaman terjadi bencana tahun 1978 dan 2018 begitu mudah dilupakan.

Penjelasan lain, sambung Khalik, setiap terjadi bencana ada kebingungan soal distribusi logistic bagi para penyintas. Hingga ada media yang menyampaikan informasi berseberangan dengan fakta lapangan. Dicontohkannya, saat korban gempa makan daun turi ditulis makan rumput.

‘’Akhirnya ramai. Petugas itu padahal menyisir  sampai di atas gunung, saat kejadian stok kebutuhan memang tak ada,’’ bebernya.

Lebih lanjut, penguatan penanggulangan bencana di daerah, pola vertical khusus provinsi atau penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di BPBD harus dipikirkan dengan baik.

‘’Bapak-bapak yang hadir tentu tahu. Di BPBD itu dianggap buangan itu terjadi pula di daerah lain. Lalu bagaimana bias bekerja optimal,’’ kata Khalik.

Ia mengakui, pendekatan kebencanaan tak hanya bisa dilakukan pemerintah. Perlu pula membangun komunitas dengan pendekatan kearifan lokal. Menjadi komunitas tangguh bencana. Di NTB ada masyarakat adat yang tak terpengaruh dengan gempa.

‘’Rumah adat tak rusak dan mereka bisa mitigasi sendiri. Ke depan komunitas ini harus digerakkan,’’urainya.

Berkaca dari sejumlah bencana, Khalik menambahkan, perlu ada statistik kebencanaan. Ini untuk mengetahui data prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Di NTB saat ini sedang mencoba membangun satu data kebencanaan belajar dari data 2018. Hal lain, dengan pendekatan agama dan budaya dilakukan pemerintah. Dengan agama ada brosur khutbah Jumat yang disebar ke masjid-masjid.

‘’Termasuk penguatan tokoh agama. Peran ini dilakukan oleh Non Government Organization (NGO. Pusat perlu berikan regulasi,’’ pungkasnya. (ars)