logo2

ugm-logo

Blog

Menelaah Musabab Bencana Banjir Bengkulu yang Tak Dibicarakan

Rumah yang terdampak bencana di Bengkulu.

VIVA – Sebelah rumah papan milik Juhur miring ke kanan menyentuh tanah bercampur lumpur. Di antara teratak atap terasnya, sepotong kayu sebesar paha sengaja dipasang menahan tulangnya. Kayu itu menjadi tumpuan agar rumah besar itu tak terbalik dan menimpa rumah tetangga.

"Saya berenang sekuat tenaga ke depan rumah dan lari ke bukit. Waktu itu airnya sudah lebih dari sepaha," kenang Juhur dengan muka kuyu dan rambut yang kusut masai. Bekas lumpur kering terlihat masih menempel di tangan dan kakinya. "Waktu itu saya baru pulang acara minta doa menjelang puasa di desa."

Juhur ingat persis waktu itu jam baru menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika gelombang air berwarna cokelat pekat setinggi lebih dari 5 meter mengempas desanya. Lidah air itu melumat apa saja yang ada di depannya tanpa ampun. "Kami semua bertahan di atas bukit," tambah warga lainnya.

Desa Genting yang didiami Juhur beserta 107 kepala keluarga lainnya, terletak di tepian Sungai Lemau. Dahulu akses satu-satunya ke desa tua ini hanya bisa lewat sampan dengan menyeberangi Sungai Lemau.

Mayoritas warga di sini hidup cukup sejahtera. Ini terlihat dari bangunan rumah mereka yang sebagian besarnya permanen. Jika pun ada rumah panggung, itu cuma segelintir. Warga setempat, bekerja sebagai petani sawit, baik itu sebagai pemilik atau sebagai buruh di perusahaan milik PT Bio Nusantara Teknologi, Femina Group yang telah berdiri sejak tahun 1997.

Namun demikian, semuanya kini berubah ketika pekan lalu banjir maha dahsyat menyapu desa ini. Air dan lumpur menggenang sampai ke atap rumah. Beberapa rumah panggung yang tak kuat menahan laju air bahkan ada yang sampai terseret.

Seketika desa ini menjadi sepi. Orang-orang ketakutan dan berlindung di atas bukit di pinggir desa. "Terakhir banjir besar terjadi 1989. Tapi tahun ini jauh lebih besar dan menakutkan," tutur Juhur.

Dan yang lebih membuat miris lagi. Bencana ini terjadi menjelang bulan puasa. Ketika harga-harga bahan pokok dikerek para tengkulak dan masa di mana mendekam di rumah dan beribadah lebih banyak.

"Entah bagaimana kami di bulan puasa nanti. Ternak hanyut, kebun rusak dan rumah hancur," tambah Samara Dewi (65), warga Desa Genting lainnya.

Muasal bencana yang terabaikan

Bencana banjir dan longsor yang menimpa Provinsi Bengkulu sepekan lalu, Jumat, 26 April 2019, terjadi serentak di 10 kabupaten dan kota. Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah terakhir, total 24 orang meninggal dunia dan empat lainnya masih dalam pencarian.

Termasuk juga sebanyak 12 ribu orang terpaksa mengungsi dan sejumlah infrastruktur yang kini luluh lantak. Total kerugian tertaksir mencapai Rp144 miliar. Sebuah harga yang mahal untuk ditebus kembali.

Menurut kesaksian sejumlah warga, bencana banjir tahun ini terasa lebih besar dibanding 30 tahun lalu. "Terakhir tahun 1989 yang besar. Tapi tahun ini lebih besar rasanya," ujar Rohaini, warga Kota Bengkulu.

Amukan hujan yang kemudian memicu banjir tersebar  mulai dari Kabupaten Bengkulu Utara, Lebong, Rejang Lebong, Seluma, Bengkulu Selatan, Kepahiang, Kaur, Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. Dari itu, jumlah korban jiwa terbanyak ada di Kabupaten Bengkulu Tengah, mencapai 19 orang. Sisanya di Kota Bengkulu tiga orang dan dua lainnya dari Kabupaten Kepahiang.

Terkhusus Bengkulu Tengah, banyak lembaga pemerhati lingkungan segera mengeluarkan analisis mereka bahwa bencana ini lebih ditengarai oleh aktivitas pertambangan. Catatan mereka setidaknya ada delapan tambang dan dua perusahaan perkebunan yang bercokol di hulu sungai.

"Kawasan hutan sudah kehilangan fungsi ekologisnya," ujar Direktur Kanopi Bengkulu Ali Akbar seperti dikutip dalam siaran persnya.

Namun demikian, sorotan muasal bencana itu sayangnya hanya tersudut ke Daerah Aliran Sungai Air Bengkulu, yang membentang sepanjang 95 kilometer mulai dari Kecamatan Taba Penanjung, lalu Karang Tinggi, Pondok Kelapa, dan Talang Empat, lalu bermuara di Kota Bengkulu.

Diakui sejak lama, DAS Air Bengkulu memang bermasalah. Mulai dari pendangkalan akibat sedimentasi aktivitas penambangan, hingga ke kualitas air yang telah menurun jauh dan hilangnya rawa penampung muntahan air yang kini telah jadi permukiman warga di Kota Bengkulu, yakni Kelurahan Rawa Makmur.

Karena, itu banyak warga Kota Bengkulu, khususnya yang berada di sepanjang aliran sungai Air Bengkulu mengakui jika bencana banjir yang menimpa mereka tak terkejut lagi. "Sudah biasa banjir. Cuma pilihannya besar atau tidak saja," ujar Andri, warga Kelurahan Bentiring.

Sampai kemudian bencana banjir besar pada sepekan lalu. Dengan total korban jiwa mencapai 24 orang, fakta terunjuk Kabupaten Bengkulu Tengah memang menjadi daerah paling terparah terdampak banjir. Jumlah korban jiwanya pun mencapai 19 orang akibat tersapu banjir mah adahsyat.

Namun ada satu hal yang mengejutkan. Keseluruhan korban itu, malah bukan berada di DAS Air Bengkulu, tapi justru berada di sepanjang aliran DAS Lemau, dan jauh dari aktivitas pertambangan batu bara. "Kebanyakan korban petani kopi yang terjebak di areal kebun mereka," ujar seorang petugas Badan SAR Nasional yang terlibat pencarian korban.

Diketahui, DAS Lemau memiliki luas hingga 51.492 hektare dan membentang melintasi 9 kecamatan di Kabupaten Bengkulu Tengah, yakni Kecamatan Bang Haji (8.623 Ha), Pagar Jati (4.816 Ha), Merigi Sakti (11.732 Ha), Merigi Kelindang (6.316 Ha).

Lalu, Kecamatan Taba Penanjung (628 Ha), Karang Tinggi (254 Ha), Pematang Tiga (11.174 Ha), Pondok Kubang (94 Ha), dan Pondok Kelapa (7.852 Ha). Seluruh kecamatan inilah yang menjadi wilayah terparah ketika banjir menyapu.

Fakta ini pun sejalan dengan hasil analisis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang melihat bahwa ada 80 persen daerah tangkapan air yang semestinya bisa menahan limpasan air, kini telah mengalami kerusakan akibat lahan pertanian kering campur yang mencapai 37.858 hektare.

"Tambang hanya sekitar 2,24 persen atau 1.053,5 hektare. Dominan pertanian lahan kering. Jadi tidak bisa juga bilang rusak karena tambang," ujar seorang penjabat Kementerian LHK dalam sebuah wawancara.

"Intinya adalah peralihan fungsi lahan yang tadinya hutan konservasi atau hutan lindung berubah alih fungsi," tambah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo.

Singkatnya, bencana banjir yang kini telah melumpuhkan sebagian Bengkulu itu. Ternyata juga ditengarai oleh aktivitas perkebunan milik warga dan mungkin juga perusahaan yang cenderung monokultur dan tidak memperhatikan kaidah konservasi.

"Lebih dari 76,9 persen penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering bercampur semak," seperti dikutip dalam laporan riset milik Kanang Setyo Hindarto, dkk yang diterbitkan pada tahun 2013.

Kesusahan pengungsi

Di luar itu, usai Bengkulu mencabut masa tanggap darurat mereka dan seluruh proses pencarian korban banjir dihentikan. Kini para pengungsi, masih banyak yang bertahan di tenda-tenda.

Salah satunya Juhur, warga Desa Genting, yang rumahnya terguling disapu banjir. Meski tenda pengungsian tak jauh dari desa mereka. Namun kondisinya masih jauh dari layak.

Pemerintah setempat terlihat belum maksimal mempercepat penanganan pemulihan desa Juhur. "Makanan cukup. Tapi ini kan bulan puasa, kami berharap bisa secepatnya pulang," ujar Ramli, warga Genting lainnya. Puasa tahun ini akhirnya terasa jauh lebih berat dihadapi Juhur dan mereka yang tertimpa banjir. (ren)

Kemenpar Susun Panduan Mitigasi Bencana di Kawasan Wisata

Sebanyak delapan dari 10 destinasi prioritas pariwisata termasuk dalam kawasan rawan bencana alam. Karena itu, Kementerian Pariwisata menyusun panduan mitigasi bencana untuk meminimalisasi risiko di kawasan pariwisata. Kementerian Pariwisata menyusun bimbingan teknis untuk wilayah pariwisata di Sumatera Utara, Banten, Makassar, Lombok, Yogyakarta, dan Banyuwangi.

Pedoman itu membagi tema sesuai dengan potensi bencana untuk masing-masing wilayah. Bimbingan teknis itu mencakup lima hal. Pertama, pengembangan kawasan pariwisata, khususnya destinasi wisata alam, yang tidak dapat dipisahkan dari mitigasi bencana. Kedua, pengembangan kawasan pariwisata secara masif bila tanpa menyiapkan mitigasi bencana dapat berkonsekuensi pada meningkatnya risiko atau potensi dampak kerugian dan korban akibat bencana pada masa mendatang.

Ketiga, Indonesia rawan terhadap bencana dan sebagian besar destinasi pariwisata terletak di kawasan rawan bencana sehingga perlu ada strategi dan kebijakan untuk mengurangi dampak dari bencana. Keempat, mitigasi struktural dan nonstruktural destinasi rawan bencana banjir dan tanah longsor yang harus ditindaklanjuti oleh seluruh pihak di kabupaten dan kota. Terakhir, kesiapan pelaku pariwisata untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dan langkah-langkah yang tepat guna.

“Bimbingan teknis juga menghasilkan stakeholder mapping dalam mitigasi bencana,” kata Kepala Bidang Perancangan Destinasi Kementerian Pariwisata Abdu Rahman dalam keterangan resminya, Selasa (7/5).

“Pemerintah daerah telah memiliki kesadaran pentingnya pengembangan destinasi pariwisata yang berbasis mitigasi bencana,” ujar Abdu. Ia menjelaskan Indonesia ingin menjadi negara tujuan pariwisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, serta mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat. “Pemerintah ingin membangun destinasi pariwisata yang aman, nyaman, menarik, mudah dicapai, berwawasan lingkungan, serta meningkatkan pendapatan nasional, daerah, dan masyarakat,” kata Abdu

Tujuan Perancangan Destinasi Pariwisata di Kawasan Rawan Bencana adalah mengembangkan pariwisata yang berbasis mitigasi bencana. Selain itu, tujuannya juga mewujudkan sinergi arah kebijakan pengembangan kepariwisataan di kawasan atau destinasi rawan bencana. Dalam rancangan itu, Kementerian Pariwisata mengajak Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana; Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

sumber:  https://katadata.co.id

Fase Recovery Bencana

https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2018/12/25/d00ec7fc-c514-4fa4-ad26-5a5638a390f9_169.jpeg?w=780&q=90 

Fase recovery bencana disebut juga dengan fase pemulihan pasca bencana terjadi. Pada fase ini akan dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, seluruh pelayanan akan dikembalikan seperti kondisi semula sebelum bencana terjadi. Perbaikan dan pemulihan yang dimaksud pada semua aspek pelayanan publik di wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Rehabilitasi merupakan tanggung jawab pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang terkena bencana. Rehabiitasi dikoordinasikan oleh BPBD dan wajib menggunakan dana penanggulangan bencana dari APBD Kabupaten/Kota. Dalam sektor kesehatan pelayanan kesehatan ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat melalui pemulihan sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Bentuk pemulihan kondisi kesehatan tersebut adalah (a) membantu perawatan lanjut korban bencana yang sakit dan mengalami luka; (b) menyediakan obat - obatan; (c) menyediakan peralatan kesehatan; (d) menyediakan tenaga medis dan para medis; (e) memfungsikan kembali sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan. Selengkapnya pedoman rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana Klik Disini

Sulawesi Tengah memasuki fase pemulihan pada April 2019, pemerintah daerah dan masyarakat berupaya memperbaiki sistem yang sudah ada. Pokja Bencana PKMK FK - KMK UGM turut andil dalam proses pemulihan tersebut. Pokja Bencana PKMK FK - KMK UGM bersama Caritas Germany akan melaksanakan program penguatan kapasitas sistem dan sumber daya sektor kesehatan dalam penanggulangan bencana di Sulawesi Tengah. Sasaran program tersebut adalah Dinas Kesehatan Provinsi Sulteng, Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi, RSUD Tora Bello dan Puskesmas Marawola. Fokus yang dikerjakan adalah pendampingan manajemen bencana untuk dinkes, rumah sakit dan puskesmas. Bentuk kegiatan ada 3 yaitu (1) aktivitas di Dinkes terdiri dari dinkes disaster plan, table top exercises dan pelatihan pengaktifan klaster kesehatan. (2) Aktivitas di RS terdiri dari hospital disaster plan dan sistem rujukan, pendampingan sosialisasi Hospital Disaster Plan. (3) Aktivitas di puskesmas terdiri dari puskesmas disaster plan, table top exercises, finalisasi, sosialisasi refreshing training first aid, dan pelatihan basic first aid. Laporan kegiatan tersebut akan disajikan pada website bencana kesehatan.

Banjir dan Longsor di Bengkulu, 30 Meninggal dan 6 Hilang

 

Bengkulu, Beritasatu.com - Korban banjir dan longsor di Provinsi Bengkulu, hingga Kamis (2/5/2019) pagi tercatat sebanyak 30 orang dan korban hilang dan masih dicari sebanyak 6 orang. Jumlah korban meninggal ini bertambah satu orang dari sebelumnya sebanyak 29 orang.

"Data yang kita himpun dari sejumlah kabupaten dan kota di Bengkulu, korban banjir dan longsor sampai saat ini tercatat 30 orang dan korban hilang dan masih dicari Tim Basarnas dan BPBD setempat sebanyak 6 orang," kata Kepala BPBD Provinsi Bengkulu, Rusdi Bakar, di Bengkulu, Kamis (2/5/2019).

Ia mengatakan, korban banjir dan longsor di Bengkulu, yang meninggal dunia sebanyak 30 orang itu, di antaranya di Bengkulu Tengah sebanyak 24 orang, Kota Bengkulu 3 orang, dan Kepahiang 3 orang.

Sedangkan korban hilang hingga kini masih dicari Tim Basarnas dan BPBD Bengkulu. Keenam warga hilang itu merupakan warga Bengkulu Tengah, dan Kaur. "Jadi, kemungkinan jumlah korban banjir dan longsor yang meninggal bisa bertambah lagi dari saat ini sebanyak 30 orang," ujarnya.

Banjir dan longsor juga menyebabkan dua orang korban luka ringan dan dua lainnya luka berat. Saat ini, para korban luka ringan dan berat menjalani perawatan secara intensif di rumah sakit umum (RSU) Bengkulu.

Data terakhir yang dihimpun Suara Pembaruan di Posko BPBD Bengkulu, menyebutkan hewan ternak masyarakat yang mati dan hilang sebanyak 211 ekor, terdiri sapi sebanyak 106 ekor, kerbau empat ekor dan kambing 101 ekor.

Banjir dan longsor juga merusak pemukiman warga, sarana pendidikan, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan dan infrastruktur publik. Sedangkan rumah warga yang rusak berat tercatat sebanyak 544 unit, rusak sedang sebanyak 160 unit, dan rusak ringan 511.

 

Sedangkan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah Bengkulu, sebanyak 7 unit rusak berat dan 1 rusak ringan serta 7 terendam lumpur. Kerusakan fasilitas pendidikan terbanyak berada di Kabupaten Bengkulu Tengah, 4 rusak berat, 1 rusak ringan dan 4 terendam, Kabupaten Kaur, sebanyak 3 rusak berat dan Kota Bengkulu 3 terendam.

Selain itu, seluas 3.000 hektar lahan pertanian mengalami kerusakan. Rincian sawah seluas 2.648,06 ha, lahan tanaman jagung 221,59 ha, lahan kacang tanah 8,25 ha, dan kacang hijau 3,25 ha. Sedangkan sektor perkebunan sebanyak 775 batang tanaman sawit terdampak.

Sementara itu, di sektor infrastruktur, jaringan listrik masih dilakukan perbaikan dengan perkembangan pemulihan mencapai 74,28% pada 30 April lalu. BPBD melaporkan gardu distribusi sejumlah 42 unit masih padam dan 2.496 jaringan listrik pelanggan belum menyala.

 

Total kerugian sementara hingga saat diperkirakan sekitar Rp 144 miliar. Namun, jumlah kerugian ini akan terus bertambah karena perkiraan kerugian tersebut menggunakan data sementara.

Hal terjadi karena luas banjir dan skala dampak yang ditumbulkan maka jumlah kerugian akan banyak bertambah. BPBD masih melakukan pendataan kerusakan akibat banjir dan longsor yang dipicu hujan deras di seluruh wilayah Bengkulu beberapa hari lalu.

"BNPB masih terus mengirimkan bantuan ke Bengkulu, seperti tenda, makanan siap saji, dan logistik lainnya. Saat ini sebagian besar banjir sudah surut dan beberapa daerah yang sebelumnya terisolir kini sudah dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua dan empat," ujarnya.

 

Dengan demikian, penyaluran bantuan bahan pangan dan barang kebutuhan lainya untuk korban banjir dan longsor di sejumlah daerah di Bengkulu, semakin berjalan baik. "Kita pastikan semua korban banjir dan longsor di Bengkulu, sudah dapat ditangani dengan baik, serta sudah mendapat bantuan bahan pangan dan bantuan lainnya," ujar Rusdi.

Dari pantauan di sejumlah lokasi banjir di Kota Bengkulu, Kamis pagi, para korban yang sebelumnya mengungsi di tenda-tenda pada Rabu siang sudah kembali ke rumah masing-masing karena air yang menggenang sudah surut.

"Sejak Rabu siang kami sudah bisa kembali ke rumah karena genangan air di rumah sudah kering. Sekarang kami membersihkan lumpur yang ada di rumah serta membawa barang-barang berharga yang sempat diungsikan saat banjir Sabtu (27/4) lalu ke tempat aman," kata Sarkawi (47), warga Tanjung Agung, Kota Bengkulu.

Selain itu, sebagian para korban banjir di beberapa kelurahan di Kota Bengkulu, termasuk di Kelurahan Tanjung Jaya, Tanjung Agung, Sukamerindu dan Rawa Makmur sudah kembali beraktivitas seperti biasa.

Hanya saja belum normal seperti biasa, karena sebagian di antara mereka masih sibuk membersihkan kotoran sampah dan lumpur yang terbawa banjir ke dalam rumah mereka. Tampak terlihat di setiap rumah warga terdapat jemuran kasur, kursi, dan ambal.

 

"Kami berharap hujan lebat tidak turun lagi di Kota Bengkulu, sehingga kebanjiran lagi. Saya berharap banjir besar yang terjadi pada Sabtu dini hari merupakan banjir terakhir melanda daerah ini," ujar Rustam, warga lainnya.

Meski banjir sudah surut di beberapa titik di Kota Bengkulum tapi posko banjir dan longsor di Tanjung Jaya masih buka dan melayani kebutuhan para korban, seperti pemeriksaan kesehatan dan penampungan bantuan dari berbagai pihak di daerah ini.

Tambang Batu Bara Biang Banjir Harus Ditutup!

Bengkulutoday.com - Aktivitas pertambangan Batu Bara yang terjadi di kawasan hulu, yakni Kabupaten Bengkulu Tengah diklaim sebagai salah satu penyebab terjadi banjir. 

"Banjir yang melanda hampir seluruh wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu tidak bisa hanya ditimpakan pada hujan yang mengguyur daerah ini, debit air yang tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang ada seharusnya menjadi poin perhatian utama untuk mencari akar masalah dari bencana banjir," kata Ali Akbar, Direktur Kanopi dalam keterangan rilisnya.

Akibat banjir, tercatat hingga Rabu 1 Mei 2019, korban sebanyak 30 orang meninggal dunia dan ribuan mengungsi. Hingga saat ini, tercatat kerugian materi mencapai Rp 144 miliar.

"Sungai Bengkulu, Sungai Ketahun, Manna dan Sungai Musi yang merupakan sungai penting dengan fungsi utama sebagai penampung air, kewalahan menampung air yang bertubi-tubi mengalir ke badan sungai. Luapan air akhirnya menjadi mesin pembunuh sumber penghidupan rakyat. Bahkan luapan Sungai Bengkulu dan anak sungainya juga menggenangi sejumlah desa di Bengkulu Tengah seperti Desa Talang Empat, Desa Genting dan Bang Haji. Begitu pula desa-desa sekitar Sungai Musi yang membuat jalur utama menghubungkan Kepahiang-Bengkulu Tengah-Kota Bengkulu lumpuh beberapa saat," paparnya.

"Apa yang terjadi di daerah penyangga sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS)? Ini yang seharusnya menjadi fokus perhatian. Bagaimana banjir ini bisa terjadi dan kaitannya dengan rusaknya hutan di hulu akibat pertambangan batu bara? .Kawasan penyangga DAS Sungai Bengkulu di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah telah habis dikapling untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit," ungkap Ali. 

Dijelaskan Ali, saat ini tercatat ada delapan perusahaan tambang Batu Bara di hulu sungai. 
Delapan perusahaan tambang batubara itu yakni:
1. PT Bengkulu Bio Energi, 
2. PT usuma Raya Utama
3. PT Bara Mega Quantum
4. PT Inti Bara Perdana
5. PT Danau Mas Hitam
6. PT Ratu Samban Mining
7. PT Griya Pat Petulai
8. PT Cipta Buana Seraya

Total luas aktivitas pertambangan itu mencapai 19 ribu hektar.

Tak hanya perusahaan tambang, di  kawasan itu juga ada satu perusahaan perkebunan sawit milik PT Agriandalas yang juga berada di daerah tangkapan air Sungai Bengkulu. 

"Kawasan itu sudah kehilangan fungsi ekologis. Padahal DAS Bengkulu yang sayangnya sebagaian besar berstatus area penggunaan lain padahal memiliki fungsi lindung mestinya dilestarikan untuk tata kelola air, tapi diberikan izin untuk areal pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Hutan lindung yang sedikit malah dibiarkan rusak," sesalnya.

"Diketahui, DAS Bengkulu merupakan salah satu DAS terbesar di Provinsi Bengkulu dengan luas 51.951 hektare, mencakup dua kabupaten/kota yaitu Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu. Persoalan banjir di Bengkulu ini sebenarnya sudah jelas penyebabnya yaitu kerusakan parah di area DAS Bengkulu yang diberikan untuk konsesi tambang tapi tidak pernah dituntaskan oleh pihak berwenang dalam hal ini pemerintah daerah," tegas Ali Akbar.

Laporan kondisi cuaca Bengkulu tertanggal 27 April 2019 pukul 18.00 WIB, berdasarkan citra satelit cuaca, sel awan yang berpotensi hujan dengan intensitas ringan berada disebagian wilayah di Kabupaten Lebong, Bengkulu Utara, Rejang Lebong dan juga dilaut. Wilayah selain yang disebutkan berkondisi berawan (Prakirawan - BMKG Bengkulu). 

"Melihat kondisi diatas, dapat dipastikan banjir Bengkulu semakin parah akibat rusaknya hutan dibagian hulu akibat aktivitas tambang batu bara yang berakibat bencana ekologis berupa banjir dan longsor. Dari kondisi ini sangat mendesak bagi pemerintah untuk memetakan ulang kawasan lindung di hulu sungai Bengkulu dengan menghentikan seluruh aktivitas pertambangan Batu Bara di hulu DAS Bengkulu. Statusnya bisa area peruntukan lain tapi fungsi wilayah itu adalah lindung, tata kelola air, kalau tidak dituntaskan maka banjir akan terus berulang," terang Ali.,

"Lalu apa kaitannya antara banjir Bengkulu dengan PLTU batu bara Teluk Sepang, Kota Bengkulu?. Dipastikan keberadaan PLTU batu bara yang merupakan sektor hilir pembakaran batu bara akan memicu dan melanggengkan kerusakan yang lebih parah di hulu Sungai Bengkulu. PLTU Batu Bara Teluk Sepang didirikan tanpa kajian dan kesesuaian tata ruang baik provinsi maupun kota. Dalam Perda Nomor 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu tahun 2012-2032 dan Perda Nomor 14 tahun 2012 tentang RTRW Kota Bengkulu tahun 2012-2032, tidak ada rencana pembangunan PLTU batu bara di dalam Kota Bengkulu. Justru dalam perencanaan tata ruang, PLTU baru bara akan dibangun di Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara. Hal ini tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu 2012-2023 pasal 23 ayat (1) huruf (d) bahwa pembangunan listrik pembangkit baru, meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Napal Putih," ulasnya.

 "Pelanggaran tata ruang dengan dalih apapun jelas akan melanggar aturan hukum dan selain itu membuat perlakuan terhadap kaidah lingkungan menjadi amburadul," pungkas Ali Akbar.

LSM tuntut Tambang Batu Bara ditutup

Direktur Jaringan Intelektual Manifesto Muda (JIMM) Heru Saputra meminta pemerintah segera bertindak tegas menutup aktivitas pertambangan yang beroperasi di Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara, sebab ditenggarai aktivitas tambang itu menjadi biang kerok banjir dan longsor. Heru menegaskan, jika aktivitas pertambangan dijalankan sesuai regulasi dan taat asas, tidak mungkin akan menyebabkan bencana. 

"Ini pasti ada pelanggaran, jika aturan dipatuhi dan semua prosedur diikuti tidak mungkin menyebabkan bencana, ini pasti ada yang dilanggar, selama DPRD sudah berapa kali membentuk pansus tambang, namun hasilnya belum kelihatan, dengan kejadian bencana ini semoga membuka mata hati mereka para pemangku kebijakan," terang Heru, Kamis (2/5/2019).

[brm/js/rls]