logo2

ugm-logo

Blog

Sudah 227 Gempa Susulan Terjadi di Lombok

VIVA –  Gempa yang mengguncang Lombok pada Minggu malam, 5 Agustus 2018, terus diikuti dengan gempa susulan. BMKG mengatakan lebih dari 200 kali gempa terjadi setelah gempa utama.  

Kepala Operasi Pelayanan BMKG Bambang Prayitno mengatakan, menurut BMKG, pihaknya mencatat sudah 227 gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama berkekuatan 7 SR mengguncang Lombok. 16 di antaranya berkekuatan cukup besar sehingga guncangannya cukup terasa. 

BMKG mencatat, dua gempa terakhir yang terasa cukup kuat terjadi pada Senin malam, 6 Agustus 2018, sekitar pukul 22.50 WIB dengan kekuatan 5,5 Skala Richter. Gempa berikutnya terjadi pada Selasa dinihari, sekitar pukul 01.27 WIB, dengan kekuatan 5,4 Skala Richter.

Bambang mengatakan, gempa susulan yang terus terjadi adalah kondisi yang wajar setelah terjadinya gempa utama. Gempa susulan adalah proses lempengan bumi untuk kembali menstabilkan pergeseran. Menurut prediksi BMKG, biasanya pergerakan gempa akan berakhir 24 hari setelah gempa utama.

Guncangan Kedua Lebih Kuat, Gempa Lombok Fenomena Luar Biasa?

Jakarta - Kawasan Lombok dan sekitarnya diguncang dua gempa hebat dalam sepekan. Gempa pertama, yang terjadi pada Minggu 29 Juli 2018 dengan kekuatan 6,4 skala Richter, ternyata bukanlah klimaks. Hanya berjarak sepekan, pada Minggu malam 5 Agustus 2018, lindu kembali mengguncang wilayah yang sama dengan kekuatan lebih besar yakni 7 SR.

Ini fenomena yang jarang terjadi dalam bencana gempa, di mana kekuatan gempa kedua lebih besar dari gempa pertama. Yang umum diketahui, gempa susulan selalu punya kekuatan lebih rendah. 

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemudian menyatakan, gempa berkekuatan 7 SR yang mengguncang Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada pukul 18.46 WIB adalah gempa utama (mainshock). Sementara gempa 6,4 SR adalah awalan atau foreshock.

"Itu agak luar biasa kalau menurut saya. Memang agak mengejutkan, di tempat yang sama, hanya berjarak satu minggu, antara foreshock dan mainshock berdekatan, dan besarnya (gempa utama) itu 10 kali lipat," ujar mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono di Kantor Redaksi Liputan6.com, Senin (6/8/2018) petang.

Pria yang karib disapa Mbah Rono itu menyebut, gempa pertama Lombok sebagai gempa awalan. Sementara gempa utama adalah yang kedua pada tanggal 5 Agustus yang diikuti dengan sejumlah gempa susulan yang lebih kecil, untuk menyeimbangkan patahan-patahan.

"Kita memang tidak bisa memprediksi berapa kuat gempa awalan serta jumlah gempa susulan. Yang bisa kita lihat, jika jumlah dan energi gempa susulan sudah menurun, dia sudah mengunci energi untuk dikeluarkan pada gempa lain di masa yang akan datang," jelas mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) itu.

Hal itu dibenarkan Danny Hilman Natawijaya, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dia mengatakan, rentetan gempa yang komplit itu ada foreshock, mainshock dan aftershock. Jadi, ada gempa pembuka atau gempa pendahuluan, gempa utama, lalu gempa susulan.

"Tapi, gempa yang pendahuluan atau foreshock itu tidak selalu ada, jadi langsung mainshock atau gempa utama, terus susulan. Nah yang kemarin (gempa Lombok 5 Agustus 2018) ini kasusnya lain dari yang lain. Didahului dengan yang pembuka dulu, baru utamanya atau yang besarnya baru keluar," jelas Danny kepada Liputan6.com.

Dengan kata lain, lanjut dia, mainshock itu umumnya terjadi di gempa pertama yang berkekuatan besar. Dan itu bisa diketahui dari gempa yang terjadi pada titik yang sama. Namun, lagi-lagi kita memang tak bisa mengetahui mana gempa awal atau utama sebelum semua energi dilepaskan.

"Jadi, kita tidak akan tahu bahwa itu foreshock sebelum yang gedenya keluar, jadi kita memang enggak bisa tahu," tegas Danny.

Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, fenomena dua kali gempa di Lombok itu bukan hal yang umum terjadi, kendati bukan berarti tidak pernah.

"Ada gempa pendahuluan dulu kemudian baru ada utamanya. Tapi itu tidak sering, itu lebih banyak terjadi gempa utama kemudian baru ada gempa susulan. Tapi sekali lagi, yang namanya alam itu kita tidak bisa menebak sebelum ada gempa berikutnya, jadi harus menunggu gempa itu terjadi dulu," jelas Dwikorita kepada Liputan6.com.

Dia mengatakan, gempa itu memiliki tiga tipe. Yang paling sering terjadi itu tipe di mana gempa utama tinggi kemudian diikuti dengan gempa susulan. Secara alamiah begitu, semakin mengecil semakin melemah.

"Namun ada kondisi-kondisi di alam itu tidak semuanya sama dan seragam. Tipe yang kedua adalah tidak ada gempa utama, tapi diikuti gempa susulan, tapi selang beberapa waktu di lokasi yang sangat berdekatan dan hampir sama di patahan yang sama mengalami penguatan gempa yang kurang lebih sama," jelas dia.

Dia mencontohkan sesar Flores yang sebelumnya mengalami gempa yang lebih kuat terus diikuti dengan gempa susulan yang semakin melemah. Gempa ini baru bisa disimpulkan setelah keseluruhan gempa melepaskan energinya.

"Jadi itu harus terjadi dulu, baru kita bisa menyimpulkan. Berarti yang kemarin itu (gempa pertama Lombok) masih pendahuluan, karena di lokasi patahan yang sama, kemudian terjadi gempa kuat berikutnya," jelas Dwikorita.

Gempa tipe ketiga, lanjut dia, adalah gempa yang terjadi di awal dan susulannya punya kekuatan yang sama. "Kekuatan gempa ini biasanya tidak tinggi, skalanya tidak begitu besar," tegas mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

sumber: Liputan6.com

Gempa Lombok Berpusat di Darat, Kenapa Bisa Tsunami?

JAKARTA - Pemerintah dipastikan tidak akan menaikkan tarif premi atau iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Tarif iuran akan tetap, baik untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) maupun non-PBI. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan ( Kemenkes) Untung Suseno Sutarjo mengatakan, peningkatan iuran tidak akan menjadi jalan yang ditempuh pemerintah untuk atasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Sebab, defisit keuangan BPJS Kesehatan disebabkan berbagai faktor.

Faktor utama yang membuat defisit keuangan BPJS Kesehatan terus membengkak, menurut Untung, adalah masalah tunggakan atau piutang kepesertaan. Dengan alasan itu, menaikkan premi dikhawatirkan justru akan menambah kesulitan BPJS Kesehatan menarik iuran.

"Cukup besar penunggakkan iuran peserta, dan peningkatan iuran akan menambah besar peserta yang menunggak, sehingga tak selesaikan masalah," ujar Untung kepada Kontan, akhir pekan lalu.

Sebagai informasi, defisit keuangan BPJS Kesehatan terus naik dari tahun ke tahun. Tahun ini defisit keuangan BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 11,2 triliun. Jumlah itu naik dari tahun 2017 yang sebesar Rp 9 triliun dan tahun 2016 yang sebesar Rp 9,7 triliun. Peningkatan iuran sebelumnya disebut menjadi salah satu opsi pemerintah mengatasi defisit.

"Penanganan defisit BPJS sudah dibahas sejak tahun lalu, dengan melihat semua opsi termasuk peningkatan iuran," ujar Untung. Untung bilang, pemerintah tengah merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Dalam aturan yang bakal segera terbit itu, dia bilang, berbagai sektor akan terlibat. Koordinator bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, iuran BPJS Kesehatan seharusnya naik tahun ini. Sesuai Perpres 12 Tahun 2013, iuran BPJS Kesehatan naik 2016 setelah beroperasi 2014.

"Direksi BPJS harus berani meminta kenaikan, sebab sulit berharap inisiatif pemerintah, apalagi menjelang pemilu seperti saat ini," ujar Timboel. Saat ini peserta non PBI dibagi tiga kelas berbeda. Kelas 1 membayar Rp 80.000 per bulan, kelas 2 membayar Rp 51.000 dan kelas 3 dengan iuran Rp 25.500 per bulan. (Abdul Basith)

sumber: KOMPAS.com

Hingga Pagi ini, Sudah 124 Kali Gempa Susulan di Lombok

Jakarta - Gempa susulan terus terjadi usai gempa berkekuatan 7 Skala Richter (SR) yang mengguncang kawasan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hingga pagi ini, tercatat sudah 14 kali terjadi gempa susulan.

"Update Gempa Bumi Lombok M (Magnitudo) 7 sampai pukul 06.00 WIB, Senin (6/8) tercatat sebanyak 124 gempa bumi susulan," kata Kepala Bagian Humas BMKG Harry Tirto Djatmiko kepada detikcom, Senin (6/8/2018).


Gempa tersebut terjadi pada Minggu (5/8) pukul 18.46 WIB. Sebelumnya, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hingga Senin (6/8) pukul 02.30 WIB, tercatat sudah ada 82 orang dinyatakan meninggal akibat gempa tersebut.

"Hingga Senin dini hari pukul 02.30 WIB, tercatat 82 orang meninggal dunia akibat gempa. Ratusan orang luka-luka dan ribuan rumah mengalami kerusakan," kata Sutopo.

"Ribuan warga mengungsi ke tempat yang aman. Aparat gabungan terus mengevakuasi dan penanganan darurat akibat gempa bumi," sambung dia.
Sutopo menambahkan, jumlah korban tersebut kemungkinan akan terus bertambah. "Diperkirakan korban terus bertambah. Jumlah kerusakan bangunan masih dilakukan pendataan," kata Sutopo.

Sutopo juga menambahkan, ribuan orang masih mengungsi akibat gempa ini. Aparat gabungan terus melakukan evakuasi dan penanganan darurat akibat gempabumi.

"Daerah yang terparah adalah Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur dan Kota Mataram. Berdasarkan laporan dari BPBD Provinsi NTB, dari 39 orang meninggal dunia, korban berasal dari Kabupaten Lombok Utara 65 orang, Lombok Barat 9 orang, Lombok Tengah 2 orang, Kota Mataram 4 orang, dan Lombok Timur 2 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat tertimpa bangunan yang roboh," katanya.

82 Orang Tewas dan Ribuan Warga Mengungsi Akibat Gempa 7 SR di NTB

82 Orang Tewas dan Ribuan Warga Mengungsi Akibat Gempa 7 SR di NTB

Jakarta - Gempa berkekuatan 7 Skala Richter (SR) mengakibatkan 82 orang tewas di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ribuan warga mengungsi untuk mencari tempat yang lebih aman dari tempat tinggal mereka.

"Hingga Senin dini hari pukul 02.30 WIB, tercatat 82 orang meninggal dunia akibat gempa. Ratusan orang luka-luka dan ribuan rumah mengalami kerusakan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam rilisnya, Senin (6/8/2018) subuh.

"Ribuan warga mengungsi ke tempat yang aman. Aparat gabungan terus mengevakuasi dan penanganan darurat akibat gempa bumi," sambung dia.

Berdasarkan data BNPB, Lombok Utara merupakan kabupaten yang paling terdampak gempa. Dari 82 korban tewas, 65 orang berasal dari Lombok Utara.

"Daerah terparah adalah Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur dan Kota Mataram. Berdasarkan laporan BPBD Provinsi NTB, korban berasal dari Lombok Utara 65 orang, Lombok Barat 9 orang, Lombok Tengah 2 orang, Kota Mataram 4 orang dan Lombok Timur 2 orang," jelas Sutopo.

Sebagian besar korban tewas karena tertimpa material bangunan yang roboh saat gempa mengguncang.

Gempa 7 SR terjadi pada Minggu (5/8) pukul 18.46 WIB. Lokasi gempa berada di titik 8.37 LS dan 116.48 BT. Gempa terjadi pada kedalaman 15 km dan sempat dinyatakan berpotensi tsunami oleh BMKG.