logo2

ugm-logo

Blog

Musim Penghujan, BPBD Gunung Kidul Petakan Lokasi Rawan Longsor

https: img.okeinfo.net content 2018 10 24 510 1968463 musim-penghujan-bpbd-gunung-kidul-petakan-lokasi-rawan-longsor-s2LxJlY57z.jpg

GUNUNG KIDUL - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta menjelang musim hujan mulai melakukan pemetaan lokasi rawan bencana alam, khususnya longsor.

Kepala Pelaksana BPBD Gunung Kidul, Edy Basuki mengatakan, jika merujuk data bencana longsor pada 2017, ada empat kecamatan dengan jumlah kejadian terbanyak, yakni Kecamatan Gedangsari, Nglipar, Patuk, dan Ponjong.

"Di Gedangsari ada 34 kejadian, Patuk dan Nglipar 14 kejadian, kemudian Ponjong 23 kejadian. Ada juga longsor di Tepus, Semin, Karangmojo tapi jumlahnya sedikit," katanya.

 longsor

Ia mengatakan, untuk mengantisipasi terjadinya korban jiwa, sejumlah Early Warning System (EWS) atau alat peringatan dini bencana alam telah dipasang di 30 titik sehingga peringatan yang nantinya muncul dapat segera direspons masyarakat.

"Seluruh kecamatan mempunyai EWS, rata-rata dua EWS di satu kecamatan," kata dia.

Selain pemasangan EWS, pihaknya juga mengimbau masyarakat yang tinggal di lokasi rawan longsor untuk selalu waspada. Bahkan, jika kondisi tanah labil, disarankan mengungsi ke tempat yang lebih aman.

 Selain tanah lomgsor, Edy juga menyampaikan bahwa menjelang musim hujan ada bencana lain yang patut diwaspadai, seperti banjir dan angin kencang.

"Kasus banjir ada 246 pada 2017 sedangkan bencana yang disebabkan angin ada sembilan kasus," kata dia.

Ia menyebut selama kurun waktu satu tahun kemarin, bencana alam yang terjadi berdampak kepada 2.459 kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwa 5.271 orang.

Ia berharap masyarakat dapat lebih waspada dan selalu siap siaga menghadapi bencana alam.

"Kami juga terus memberikan pelatihan kepada warga melalui Desa Tangguh Bencana (Destana)," pungkasnya.

sumber: okezone.com

Mendorong Daerah Memulai Mitigasi Bencana

Mendorong Daerah Memulai Mitigasi Bencana

RANGKAIAN gempa bumi yang sempat mengguncang sejumlah daerah pascagempa dan tsunami di Palu serta Donggala mengharuskan semua daerah antisipatif. Pengalaman juga mengajarkan bahwa pergantian musim sering diwarnai gangguan alam tak hanya gempa bumi, melainkan juga banjir, angin puting beliung hingga tanah longsor.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ), pada Minggu (21/10) harus menanggapi informasi yang menyebutkan gempa akan mengguncang Surabaya dan Madura. Tidak berusaha mementahkan atau membantah informasi itu,  Kepala BMKG Dwikorita Karnawati justru mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat lebih proaktif mempersiapkan mitigasi bencana. Dwikorita memang mengatakan bahwa potensi gempa tidak hanya ada di wilayah Surabaya dan Madura tapi di sebagian besar wilayah Indonesia. Sebab, Indonesia berada di lingkaran Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang terbentuk oleh gerak lempeng tektonik aktif.

Memang, menurut BMKG, secara geologis dan tektonik, Surabaya dan Madura berada pada jalur zona sesar aktif. Surabaya berada pada jalur zona Sesar Kendeng, sedangkan Madura berada pada jalur zona Sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, dan Sakala). Dan, berdasarkan catatan sejarah kegempaan (Visser 1922), jalur Sesar Kendeng pernah memicu terjadinya gempa bumi merusak di Mojokerto (1836,1837), Madiun (1862, 1915) dan Surabaya (1867).

Sebelum dan sesudah tragedi Lombok, Palu, Donggala serta Sigi, gempa bumi, banjir dan tanah longsor juga terjadi di sejumlah daerah, akhir-akhir ini. Jumat (19/10) pekan lalu, gempa berkekuatan 5,1 skala richter mengguncang Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebelumnya, gempa bumi juga mengguncang Maluku Barat Daya, Situbondo di Jawa Timur, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta gempa yang mengguncang Bitung di Sulawesi Utara.

Pada pekan kedua Oktober, terjadi banjir serta longsor di Kabupaten Mandailing Natal dan Sibolga di Sumatera Utara akibat curah hujan yang tinggi. Ada korban tewas akibat bencana itu. Banjir dan tanah longsor juga  terjadi di Sumatera Barat. Rangkaian gempa, banjir dan tanah longsor itu hendaknya dilihat sebagai sebuah kecenderungan menjelang pergantian musim. Apalagi, menurut data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), sampai pertengahan Oktober 2018, setidaknya ada 1.230 frekuensi kejadian bencana.

Karena itu, semua BPBD perlu dikonsolidasi dan disiagakan untuk segera melakukan mitigasi bencana.  Efektivitas mitigasi bencana pada tingkat daerah harus segera ditingkatkan untuk meminimalkan korban dan kerugian. Belajar dari tragedi akibat gempa dan tsunami di Palu serta Donggala, meningkatkan efektivitas mitigasi bencana menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia.  Semua pemerintahan kabupaten serta kota hendaknya mulai mengonsolidasi dan menyiagakan semua unsur di dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Mendekati pergantian musim sekarang ini, sangat penting bagi semua BPBD untuk melakukan komunikasi yang intens dengan BMKG setempat untuk mengetahui berbagai kemungkinan.  BPBD di semua kabupaten/kota diharapkan mampu menjadi kekuatan terdepan ketika warga membutuhkan bantuan, baik akibat gempa bumi, banjir maupun tanah longsor.

Mitigasi bencana yang efektif menjadi sebuah keharusan sekaligus kebutuhan tak terelakkan, karena sebagian besar wilayah Indonesia berada di jalur cincin api yang rawan  bencana.  Jangan lagi menyederhanakan persoalan, dan mulailah memperbarui strategi penanggulan bencana dengan berfokus pada upaya meningkatkan efektivitas mitigasi bencana.

Bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala dengan segala akibatnya sudah memberi gambaran tentang kelemahan langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk meminimalikan jumlah korban maupun kerugian material. Sirine tsunami sebagai peringatan dini tidak berfungsi atau tidak bunyi. Pun, diketahui juga bahwa  peralatan pendeteksi Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys untuk mendeteksi perubahan permukaan air sudah rusak dan sebagian hilang karena dicuri.  Sebagian besar sensor gempa diduga rusak karena perawatannya tidak maksimal.


Puluhan alat deteksi tsunami terapung yang bersumber hibah dari Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia itu tak dapat dioperasikan lagi. Peralatan Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys rusak karena vandalisme dan hilang dicuri. Faktor ini otomatis sudah mengurangi efektivitas mitigasi maupun langkah preventif  lainnya.

Maka, dalam konteks mengantisipasi sekaligus mitigasi terjangan tsunami, efektivitasnya mendekati titik nol. Kini, efektivitas mitigasi bencana memang harus dipersoalkan lagi karena aspek efektivitas itu menjadi keharusan sekaligus kebutuhan tak terelakkan bagi Indonesia. Mitigasi bencana masih terlihat sebagai upaya atau kerja minimalis.

Kecenderungan menyederhanakan persoalan itu harus dihentikan. Perlu disegarkan lagi kesadaran bahwa posisi geografis negara ini menjadikan Indonesia wilayah rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami. Rangkaian buktinya lebih dari cukup. Sebab, hampir setiap tahun, sejumlah daerah menghadapi ragam bencana. Mulai dari gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung hingga tsunami dan kekeringan.

Selain kecenderungan menyederhanakan persoalan, terdapat cukup bukti bahwa mitigasi bencana masih jauh dari efektif karena perilaku ego sektoral. Memang, sebagaimana tampak di permukaan selama ini, bencana akibat cuaca ekstrim atau gempa bumi hanya dibebankan sebagai persoalan BNPB dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).  Padahal, dalam rangkaian upaya meminimalkan risiko bencana, kerja sama lintas sektoral menjadi sebuah kebutuhan. Sayang, dalam praktiknya, kerja sama lintas sektoral itu baru terwujud ketika bencana telah menelan korban jiwa dan menimbulkan kerugian material.

Pengrusakan dan hilangnya alat pendeteksi tsunami setidaknya menjelaskan ketidakpedulian baik aparat keamanan maupun aparat pemerintah daerah. Seperti diketahui sirine dan alat pendeteksi tsunami telah ditempatkan pada belasan provinsi yang berdasarkan catatan historis layak dikategorikan daerah rawan bencana. 

Wajib Peduli

Tentu saja yang harus dipersoalkan adalah bagaimana mengelola dan merawat semua peralatan itu. Pemerintah sempat memiliki 21 buoy. Sebanyak 10 unit buoy diberikan oleh pemerintah Jerman dalam paket German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS).  Nilai paket itu per 2014 sekitar Rp 610 miliar.Tiga buoy lainnya didapat Indonesia dari Amerika Serikat. Semua peralatan ini tidak mendapatkan perawatan dan perlindungan maksimal karena masalah minimnya anggaran.  Selain itu, buoy yang pernah terpasang di Indonesia tidak dikelola BMKG,  melainkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sementara itu, dari 170 sensor gempa milik BMKG, alokasi anggaran pemeliharaan hanya cukup untuk 70 sensor.

Mau tak mau, pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh menyikapi potensi bencana alam yang selalu membayangi sejumlah daerah. Cepat atau lambat, efektivitas mitigasi bencana alam harus segera ditingkatkan. Untuk keperluan itu, pimpinan DPR akan mendorong pemerintah segera menginisiasi sebuah program berskala nasional untuk meningkatkan efektivitas mitigasi bencana alam. Jumlah korban jiwa pada dasarnya bisa diminimalkan jika mitigasi bencana alam berjalan efektif. Bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala telah menelan korban jiwa  2.256 hingga per Minggu 21 Oktober 2018.

Ratusan orang lainnya dinyatakan hilang, sementara  ribuan jiwa lainnya juga dikhawatirkan tewas akibat likuifaksi. Berdasarkan perkiraan sementara, kerugian material mencapai Rp 10 triliun lebih. Seperti diketahui, Kawasan Balaroa, Petobo dan Jono Oge amblas dan terkubur tanah akibat proses likuifaksi.

Baik korban tewas maupun korban luka terlambat meloloskan diri atau terperangkap dalam amuk bencana akibat tidak efektifnya fungsi peringatan dini (early warning). 

Sekali lagi, kecenderungan menyederhanakan persoalan mitigasi bencana harus dihentikan.  Belajar dari tragedi akibat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, meningkatkan efektivitas mitigasi bencana menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia.

Berdasarkan kecenderungan itu, pimpinan DPR meminta pemerintah segera memperbarui strategi penanggulan bencana dengan berfokus pada peningkatan efektivitas mitigasi bencana. Pembaruan strategi ini harus berskala nasional, dalam arti melibatkan semua pemerintah daerah, khususnya belasan provinsi yang rawan bencana.

Pengrusakan dan pencurian alat pendeteksi tsunami dan sirine peringatan tsunami menjadi bukti kurangnya kepedulian aparatur daerah di wilayah rawan bencana. Seharusnya, berkoordinasi dengan BNPB dan BMKG, pemerintah daerah menunjukan kepedulian dengan ikut menjaga dan merawat alat-alat tersebut.

sumber: sindo

Masuk Zona Merah Rawan Bencana, Bengkulu Butuh Banyak Alat Deteksi Tsunami

Kapolda Bengkulu Brigjen Coki Manurung didampingi Plt. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah melakukan inspeksi kesiapan pasukan apel siaga bencana, Selasa (23/10/2018)

BENGKULU,- Kapolda Bengkulu Brigjen (Pol) Coki Manurung mengungkapkan Bengkulu masih membutuhkan sejumlah alat pendeteksi tsunami (buoy). "Saat ini ada delapan alat deteksi tsunami milik BMKG kondisinya masih bagus tapi itu masih kurang perlu penambahan," kata Coki Manurung usai memimpin apel siaga bencana di Mapolres Bengkulu, Selasa (23/10/2018).

Kapolda Bengkulu menerangkan letak Bengkulu masuk dalam zona merah daerah rawan bencana, oleh sebab itu perlu dilakukan langkah antisipasi seperti kesiapan peralatan bencana.

"Apel seperti ini perlu dilakukan setiap bulan, agar kita tahu apa yang kurang dan akan melakukan apa disaat terjadi bencana," jelasnya.

Tambah anggaran Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menegaskan, pada 2019 akan ada penambahan anggaran secara signifikan pada bidang penanggulangan bencana daerah.

Termasuk juga, koordinasi lintas sektor terkait kesiapan peralatan antisipasi kebencanaan akan terus dilakukan. "Lintas sektor bersinergi bersama, menentukan langkah antisipasi bencana. Pengadaan alat berat juga akan ditambah pada anggaran tahun depan," ujar Rohidin.

Dia menambahkan, pemerintah juga menganggarkan langkah mengedukasi masyarakat melalui simulasi terkait bencana, agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan sebelum dan setelah bencana terjadi.

"Antisipasi dini secara langsung ke masyarakat juga terus dilakukan, untuk meminimalisir risiko dampak bencana," jelasnya. Sebagai informasi, Apel siaga bencana tersebut diikuti sejumlah instansi vertikal dan sejumlah unsur seperti TNI, Polri, BPBD, Tagana, PLN, dan lainnya

sumber: KOMPAS.com

Gempa Magnitudo 3,3 Goyang Palu, Warga Panik Berhamburan

Potret Kehidupan Pengungsi Korban Gempa dan Tsunami Palu

Jakarta - Gempa dengan magnitudo 3,3 mengejutkan warga Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (24/10/2018). Padahal, warga baru saja mulai kembali ke rumah mereka dari sejumlah lokasi pengungsian.

Gempa bumi yang terjadi pada pukul 09.42 WITA itu sempat mengusik ketenangan warga Kota Palu yang selama beberapa hari terakhir ini mulai bangkit. Meski gempa berkekuatan kecil, namun getarannya terasa cukup keras sehingga membuat warga, termasuk para siswa di sejumlah sekolah terpaksa berhamburan keluar tenda.

Seperti yang terlihat di SD VI Inti Lolu yang terletak di bilangan jalan RA Kartini Palu Timur, siswa dan guru keluar karena masih trauma dengan gempa magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 yang memporak-porandakan bangunan dan perekonomian masyarakat dan menelan korban jiwa ribuan orang.

Dikutip dari Antara, suasana sama juga terlihat di SD II Lolu berdekatan dengan SD VI tersebut. Guru dan siswa juga berhamburan keluar saat gempa.

Bahkan, pihak sekolah langsung menginstruksikan siswa untuk pulang lebih awal ke rumah. Hingga kini siswa-siswa di Palu dan Kabupaten Sigi masih belajar di tenda-tenda bantuan dari pemerintah Indonesia dan juga Unicef salah satu bidang di Perseritakan Bangsa Bangsa (PBB).

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan lokasi pusat gempa berada di Teluk Palu, 11 km arah utara Palu pada koordinat 0,80 LS - 119,86 BT dengan kedalaman 5 km. Ditinjau dari lokasi episentrum dan kedalaman sumber gempa, penyebab lindu diperkirakan akibat aktifitas sesar Palu Koro.

Getaran gempabumi diperkirakan dirasakan pada skala III-IV MMI di Palu, dan daerah disekitarnya yang berdekatan dengan lokasi sumber gempabumi.

Pada skala ini digambarkan getaran dirasakan oleh orang banyak tetapi tidak menimbulkan kerusakan, benda-benda ringan yang digantung bergoyang, jendela kaca bergetar, kata Cahyo Nugroho, Kepala Stasiun Geofisika Klas I Palu.

Berdasarkan informasi masyarakat yang diterima di BMKG, getaran gempabumi dirasakan lemah-sedang (II SIG BMKG / III-IV MMI) di Palu.

Terkait dengan peristiwa gempa bumi tersebut, masyarakat disekitar lokasi sumber gempabumi diimbau tetap tenang mengingat gempa bumi yang terjadi berkekuatan relatif kecil dan tidak berdampak merusak.

sumber: Liputan6.com

BMKG Pasang 20 Sensor Gempa Portabel di Pulau Sulawesi

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20181017/bc-60f0c74917e2d40170320992e61c5385_600x400.jpg

Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dam Geofisika (BMKG) memasang 20 sensor gempa atau seismograf portabel di Sulawesi. Pemasangan alat ini tak lain untuk mengamati aktivitas seismik di pulau tersebut.

"Sensor dipasang untuk mendapatkan data akurat terkait aktivitas seismik di Sulawesi," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya di Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (17/10/2018).

Rincian lokasi sensor portabel itu di antaranya, 1 buah di perbatasan Gorontalo dan Sulawesi Utara, 1 buah di perbatasan Gorontalo dan Sulawesi Tengah, 9 buah di Provinsi Sulawesi Tengah, 5 buah di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, 2 buah di Sulawesi Barat, dan 2 buah di Sulawesi Tenggara.

Tiar menjelaskan, sensor portabel tersebut digunakan untuk mendukung data sensor yang sudah ada sebelumnya, yakni sebanyak 15 unit yang tersebar di seluruh Sulawesi.

Sebagian besar sensor portabel tersebut dipasang di Sulawesi Tengah yang diguncang gempa bumi bermagnitudo 7,4 sehingga menimbulkan tsunami dan likuefaksi pada Jumat 28 September 2018. Sejak peristiwa tersebut hingga Selasa kemarin BMKG mencatat telah terjadi 543 kali gempa bumi susulan di mana 20 gempa bumi berkekuatan di atas 5 M.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kamis, 11 Oktober lalu, jumlah korban meninggal dunia mencapai 2.073 jiwa. Proses pencarian korban meninggal sendiri telah dihentikan pada Jumat, 12 Oktober 2018 sesuai dengan prosedur standar Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Prosedur baku menetapkan, pencarian korban bencana berlangsung selama tujuh hari dengan perpanjangan tiga hari. Pencarian dan pertolongan korban gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah sendiri memakan waktu 14 hari.

Sementara itu, masa tanggap darurat bencana di Sulawesi Tengah diperpanjang 14 hari terhitung mulai Sabtu, 13 Oktober 2018 hingga Jumat, 26 Oktober 2018.

Liputan6.com