logo2

ugm-logo

Navigasi: Pengantar || Sesi II

Pengaruh “Perubahan Iklim (Climate Change)”
pada Manajemen Bencana dan Dampaknya di Sektor Kesehatan
dengan Kasus Penanggulangan Bencana Banjir Jakarta

Sesi I
Pemaparan Materi

Sesi I seminar membahas mengenai dampak dan strategi adapatasi dalam menghadapi climate change yang berdampak pada kesehatan serta pemanfaatan e-health sebagai salah satu strategi dan adaptasi di sektor kesehatan. Di sesi I, Dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS (K) sebagai moderator langsung mempersilahkan pembicara pertama untuk memaparkan materinya.

gb-pengantarJoacim Rocklöv beraffiliasi di Epidemiologi Gobal Halsa, Umeå University. Ia juga tergabung dalam Climate Change and Global Health Group, Umeå University. Joacim merupakan peneliti yang berfokus mendalami hubungan perubahan iklim, cuaca, dan kesehatan dengan menggunakan pendekatan metode epidemiologi. Selama 30 menit, Joacim memaparkan tentang dampak dan strategi adaptasi perubahan iklim terhadap kesehatan.

Berikut ini merupakan empat poin penting yang disampaikan Joacim, pertama ia menjelaskan mengenai cuaca, iklim, dan apa perubahan iklim tersebut. Hujan, suhu, kecepatan angin, dan kemarau ini disebut cuaca. Statistik dari cuaca dalam waktu yang cukup lama kemudian disebut iklim. Sedangkan climate change terjadi akibat ketidakseimbangan energi di sistem iklim. Climate change merupakan interaksi yang kompleks dari atmosfer, matahari, vegetasi, lautan, dan aktivitas manusia. Seluruh elemen tersebu berpengaruh terhadap perubahan iklim, seperti gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia.

Kedua, mengenai dampak climate change pada hampir seluruh sektor kehidupan. Peningkatan suhu bumi satu derajat saja telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan apalagi jika proyeksi global mengenai kanaikan suhu bumi ekstrim benar-benar terjadi. Maka, akan terjadi peningkatan kematian spesies tanaman dan meningkatnya permukaan air laut yang menyebabkan banyak daratan akan tenggelam.

Ketiga, mengenai dampak climate change terhadap kehidupan manusia. Climate change berdampak langsung dan secara tidak langsung pada kehidupan manusia. Beberapa diantaranya : meningkatnya jumlah serta perubahan vektor penyakit, kekurangan makanan akibat kekeringan, dan penyakit tidak menular. Dampak secara langsung dan tidak langsung ini berakibat pada menurunnya fungsi sosial dan ekonomi. Kesemua dampak ini berpengaruh buruk bagi kesehatan manusia. Pada titik inilah kita memerlukan sistem kesehatan dalam menghadapi climate change.

Keempat, mengenai adaptasi sebagai salah satu cara dari manajemen risiko. Caranya dengan meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan terhadap dampak climate change. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan, kebijakan, dan intervensi kepada masyarakat luas. Selain itu, diperlukan juga prespektif yang tepat baik kebijakan dari bawah atau dari atas mengenai pencegahan terhadap dampak climate change secara bersama-sama. Contoh yang sudah dilakukan di Swedia seperti membangun sistem kewaspaadan, meningkatkan tindakan survailans, dan penggunaan sinar UV untuk air permukaan yang dikonsumsi/diminum masyarakat, serta banyak penelitian dan kajian mengenai dampak climate change.

Sementara, tiga hal penting dalam menghadapi dampak climate change adalah Risk Perception, Risk Assessment, dan Risk Management. Persepsi seseorang terhadap risiko bencana berdampak pada sikapnya dalam menghadapi risiko, waspada atau biasa saja. Begitu juga dengan kemampuan mengidentifikasi risiko bencana sehingga bisa mempersiapkan atau bahkan mencegah dampak climate change. Materi selengkapnya silahkan klik-disini

Video Dokumentasi Sesi 1:

gb4-asmPembicara kedua adalah Åsa Holmner-Rocklöv berasal dari University Hospital of Umeå Department of Biomedical Engineering and Informatics, Umeå  Sweden. Selama 30 menit, Åsa berbicara mengenai strategi mitigasi dan adaptasi di sektor kesehatan menghadapi perubahan iklim. Beberapa hal penting yang disampaikan Åsa adalah konsep mengenai adaptasi, mitigasi, dan penggunaan sistem informasi kesehatan, serta tantangannya penerapannya.

Adaptasi merupakan strategi yang bertujuan untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan masyarakat untuk menahan dampak tertentu. Sedangkan Mitigasi merupakan strategi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

gb5-asm

Penyumbang emisi terbesar adalah energi dan transportasi. Di titik inilah, peran kita melakukan mitigasi terhadap climate change dengan mengurangi perjalanan sehingga akan sedikit emisi yang terbuang serta mampu melampaui jarak yang jauh, salah satu sistem informasi tersebut adalah e-health.

e-health menurut WHO merupakan transfer sumber daya kesehatan dan perawatan kesehatan dengan cara elektronik. Contoh sistem informasi dalam perawatan kesehatan yang bisa dikatakan green strategi antara lain, meminimalkan penggunaan energi dari pencahayaan dengan menggunakan sensor gerakan, mencegah perjalanan yang tidak perlu menggunakan video konferensi, dan lebih efisien perawatan proses menggunakan sistem informasi kesehatan (Model care). Macam-macam e-health seperti telemedicine, e-learning yang kerap digunakan untuk pendidikan tenaga kesehatan jarak jauh, dan sistem manajemen kesehatan menggunakan elektronik.

Penggunaan telemedicine  di California, Skotlandia, dan Kanada terbukti mampu mengurangi jarak perjalanan perawat yang harus mengunjungi pasien ke rumah-rumah sebanyak 4,7 juta mil hingga 120 juta Km hanya dengan melakukan telecare/ telemedicine yang artinya mengurangi emisi CO2 hingga 33.220 ton. Penggunaan telemedicine sangat berguna bagi daerah yang jauh dari pusat kota, daerah yang memiliki sumber terbatas, mobilitas yang rendah, serta penduduk yang jarang. Telemedicine ini juga dikembangkan pada sektor bencana. Dengan penggunaan telemedicine maka pemetaan potensi dan daerah bencana menjadi lebih mudah.

Aplikasi dan keberhasilan telemedicine tergantung banyak hal seperti kemampuan alat telemedicine tersebut, ketersediaan dana, kelengkapan inprastruktur, isu budaya, dan terpenting adalah komitmen politik. Tantangan multisektoral dan multinasional harus dihadapi misalnya dengan advokasi pada pengambil keputusan dengan merekomendasikan kebijakan berdasarkan bukti empiris. Materi Asa  selengkapnya silahkanklik-disini

Video Rekaman :


Pembahasan

gb-6

Pembahasan dilakukan oleh Prof. Sudibyakto, M.S dari Pusat Studi Bencana UGM dan Penasehat BNPB menarik dan membuat peserta antusias. Sudibyakto menekankan bahwa Indonesia merupakan daerah bencana tetapi kesadaran akan hal tersebut masih rendah. Indonesia merupakan daerah yang sensitif menyumbang dan merasakan dampak climate change. Betapa tidak, iklim Indonesia yang berada di darah tropis berpengaruh pada iklim dunia dan begitu juga sebaliknya.

Video Dokumentasi Sesi 1 Pembahas 1

Indonesia lebih merasakan dampak climate change seperti kemarau yang berkepanjangan atau pun musim penghujan yang berkepanjangan. 80 persen bencana terjadi akibat hidrometeorologi, di beberapa daerah di Indonesia telah mengalami kehilangan banyak daratan akibat peningkatan air laut.  Jika benar proyeksi yang di paparkan Joacim terkait peningkatan suhu bumi pada puluhan tahun akan datang maka tidak ada cara lain mencegahnya selain dengan merubah perilaku. Hal yang penting dalam hal ini adalah mitigasi dan adaptasi. Sejauh mana sebuah daerah mampu memanfaatkan data wilayahnya untuk mendeteksi hazard dan kerentanan wilayah dalam menghadapi risiko tersebut. Materi Sudibyakto selengkapnya silahkan klik-disini

gb-7 
Lima belas menit berikutnya, dilanjutkan pembahasan oleh Prof. Hari Kusnanto, Dr. PH mengenai dampak climate change terhadap kesehatan di Indonesia :  dari beberapa penelitian. Pembahas kedua tertarik pada paparan Joacim mengenai dampak climate change terhadap kesehatan karena baik langsung maupun tidak langsung ataupun karena penurunan fungsi ekonomi akibat climat change, semuanya akan berdampak pada kesehatan manusia.

Saat ini, misalnya kenaikan suhu dan permukaan air laut menyebabkan hilangnya beberapa pulau, terumbu karang, dan menurunnya jumlah ikan. Hal ini berdampak pada menurunnya konsumsi ikan masyarakat otomatis gizi masyarakat terganggu. Hal yang serupa terjadi ketika bencana banjir juga menimbulkan penyakit pasca banjir seperti meningkatnya kolera dan leptospirosis.

Begitu pula dengan wilayah yang mengalami kekeringan berkepanjangan dan menyebabkan pertanian terganggu sehingga konsumsi masyarakat menurun. Kemudian, terjadilah kekurangan gizi pada masyarakat daerah tersebut. Hal ini menambah masalah baru, dimana masalah klasik tentang gizi buruk belum juga bisa dituntaskan Indonesia.

Kesimpulan yang diberikan pembahas bahwa pencegahan climate change harus berdasarkan sumbernya, jika climate change diakibatkan emisi dari energi maka emisi harus ditekan, begitu juga dengan sumber-sumber lainnya.

Video Dokumentasi Pembahas 2:


Diskusi

gb-8Sesi diskusi berlangsung secara aktif, secara umum peserta mepertanyakan mengenai pengalaman daerah asal pemateri (Swedia) dalam menerapkan telemedicine dan pengalaman Swedia dalam sosialisasi kewaspadaan masyarakat terhadap bencana sebab hal ini menjadi tantangan tersendiri kedepannya bagi Indonesia dalam mitigasi dan adaptasi sektor kesehatan dalam menghadapi perubahan iklim.
Joacim dan Åsa bergantian menjawab pertanyaan tersebut. Mereka menuturkan bahwa memang awalnya tidak mudah dalam menerapkan telemedicine terutama dalam hal menjalin kesepahaman dengan stakeholder yang terkait. Namun, di Swedia banyak terdapat kelompok-kelompok yang peduli terhadap lingkungan dan climate change sehingga banyak dari kami bergerak dengan memberikan rekomendasi berdasarkan data empirik hasil diskusi dan penelitian yang dilakukan. Sehingga advokasi terhadap stakeholeder berjalan lebih lancar.

Sebuah tantangan ketika melakukan promosi kewaspadaan bencana akibat climate change, dimana sebenarnya keberadaan climate change di Swedia dirasakan sebagai dampak positif, dimana daerah Swedia dirasakan menjadi lebih hangat. Namun, ini hanya sebuah “perasaan” dan kami terus menyebarkan informasi melalui media kepada seluruh masyarakat. Kami juga gencar melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa dampak climate change bisa dikatakan seperti penyakit yang diam-diam kemudian menimbulkan kematian “the silent killer” sehingga masyarakat mengerti dan kesadaran timbul dengan sendirinya.

Pertanyaan juga diberikan kepada pembahas mengenai keterlibatan Indonesia dalam pengurangan emisi dan sosialisasi kesepakatan Bali Action Plan pada Conference of Parties United Nations Climate Change Convention (COP UNFCCC) ke-13 di Bali, Desember 2007 oleh pemerintah. Pada kesempatan ini pembahas menjawab bahwa Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 26%. Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia adalah mengenai pengukuran penurunan emisi tersebut. Selain itu, nilai tukar apa yang di dapat Indonesia atau negara-negara yang berhasil menurunkan emisinya. Masalah ini yang belum terjawab hingga saat ini. 

Sesi I berakhir dengan kesepahaman bersama bahwa climate change merupakan tantangan akan potensi bencana sehingga penggunaan manajemen informasi dan teknologi sangat diperlukan dalam menghadapinya.

gb-9