logo2

ugm-logo

Selalu Banyak Korban, Perlu Mitigasi dan Literasi Bencana

FAJARONLINE.CO.ID, MAKASSAR,— Rata-rata bencana alam di Indonesia, khususnya gempa banyak menelan korban jiwa karena ketidak pahaman mitigasi bencana. Literasi bencana sebagai pendorong pun dinilai belum tersampaikan.

Hal tersebut terkuak pada Common Room dengan tema Lase, Disaster and Resilience pada pagelaran Makassar International Writers Festival 2019, di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Kamis, 27 Juni.

Maman Suherman membeberkan, bahwa bersadarkan data BNPB rata-rata per bulan 500 kali terjadi gempa di Indonesia. “Dengan skala yang berbeda-beda,” ujarnya.

Hanya saja, hingga saat ini belum ada pemahaman literasi yang tegas bagaimana memahami bencana secara ilmiah. Dengan tersampaikan langsung ke masyarakat.

Salah seorang peneliti dan penulis asal Palu, Neni Muhidin membenarkan hal tersebut. Kata dia, hal tersebut diketahui jelas usai bencana di Palu.

Justru, pada saat itu, masyarakat lari malah ke pusat gempat. Padahal, sejak 2014 lalu ilmuwan telah menyampaikan akan ada pergeseran lempek di ibu kota Sulawesi Tengah itu yang memang merupakan teluk.

Hingga saat ini, pemerintah hanya hadir sebagai pengambil kebijakan. Belum memetakan zonasi kondisi wilayah dan pemahaman terkait bencana ke masyarakat.

Kondisi yang sama disampaikan Penulis asal Lombok, Ilda Karwayu, hingga saat ini kondisi di Mataram, Lombok itu belum sama sekali stabil. “Kondisi membaik itu hanya saat kedatangan Presiden,” bebernya.

Bahkan, masih sering terjadi gempa-gempa kecil. Masyarakat masih kaget-kaget karena tidak mengetahui zonasi atau wilayah yang menjadi pusat gempa. Serta perilaku-perilaku untuk mengatisipasi. “Literasi bencana tidak dipahami,” tegasnya.  Sementara, penjarahan masi sesekali terjadi. Sebab, masyarakat yang di bukit-bukit bantuan mereka tidak sampai.

Salah satu pemantik, Khazuhiza Matsui, setelah membandingkan dengan Jepang, di Indonesia daerah yang siap menghadapi bencana alam terutama gempa hanya Padang.

“Di sana sudah ada zonasi, warna merah, kuning, dan hijau,” bebernya. Warna mewakili titik terparah jika ada bencana seperti gempa dan sebagainya.

Seperti di Jepang, setiap saat terjadi gempa. Tetapi karena masyarakat paham dan sudah bisa tahu untuk skala gemp jadi tidak panik lagi. Misalnya, untuk skala empat mereka sudah tidak keluar rumah. “Sebab justru lebih berbahaya di luar rumah,” kata dia.

Kecuali untuk skala enam hingga tujuh barulah mereka ke tempat yang sudah ditentukan. Pemahaman masyarakat atas bencana sudah begitu masif dipahami.

Sebab, literasi secara ilmiah sudah dipahami. Setidaknya menghindari kemungkinan besar bisa dirasakan dampak lebih besar.

Setelah melakukan riset dan beberapa karya sastra terkait bencana alam dan sebagainya, Fira Basuki pun menyampaikan, bahwa saat ini Indonesia perlu pemahaman tentang literasi bencana. (sal-ham)

Tren Wisata ke Bekas Lokasi Bencana Semakin Hits, Ini Sebabnya

Tren Wisata ke Bekas Lokasi Bencana Semakin Hits, Ini Sebabnya

Suara.com - Belakangan, kabar mengenai turis yang ramai mengunjungi situs bekas bencana nuklir Chernobyl di Pripyat, Ukraina sedang heboh dibicarakan.

Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana turis gemar berkunjung ke lokasi bencana hanya demi mengambil foto dan selfie.

Akibatnya, banyak yang menganggap jika ulah para turis ini sudah keterlaluan dan tidak menghormati tragedi yang pernah terjadi.

Meski begitu, fenomena turis berkunjung ke lokasi bekas bencana atau tragedi ternyata bukan cuma sekali atau dua kali terjadi.

Dirangkum dari laman CNN, fenomena ini lebih dikenal dengan nama dark tourism dan mengacu pada kegemaran turis mengunjungi lokasi seperti kamp konsentrasi Nazi hingga 9/11 Memorial and Museum. Sisa-sisa jenazah di Kota Kuno Pompeii. (Shutterstock)

Sisa-sisa jenazah di Kota Kuno Pompeii. (Shutterstock)

Dark tourism sendiri merupakan istilah yang dibuat pada tahun 1990-an silam oleh para akademisi.

Disebut juga dengan thanatourism yang diambil dari bahasa Yunani 'thanatos' atau 'kematian', dark tourism dideskripsikan sebagai aktivitas wisata yang memiliki asosiasi dengan kehancuran dan kematian.

Namun, budaya dark tourism atau thanatourism ini rupanya sudah ada bahkan sejak sebelum tahun 90-an.

Salah satu contohnya adalah Pompeii, kota di Roma yang hancur akibat bencana gunung berapi dan mulai ramai dikunjungi turis sejak 1700-an.

Lalu, ada pula Koloseum di Roma yang senantiasa ramai dikunjungi turis padahal dulunya merupakan tempat bertarung hingga mati.

"Tidak seperti yang terlihat, ini bukan tren wisata baru," ujar Peter Hohenhaus, salah satu travelers yang gemar melakukan dark tourism.

Tren Wisata ke Bekas Lokasi Bencana Semakin Hits, Ini Sebabnya - 2

Menanggapi minat wisatawan terhadap dark tourism yang sudah ada sejak dulu ini, seorang pakar dari Althone Institute of Technology di Irlandia pun menjelaskan motivasi para turis.

Disebutkan, beberapa turis mungkin hanya kebetulan berkunjung karena penasaran. Ada pula yang datang karena memang memiliki minat sejarah.

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri jika ada yang mengunjungi tempat wisata macam ini untuk "bersenang-senang" dan punya niat lain. Namun, hal macam ini ternyata tidak sering terjadi.

"Seringnya, niat para pengunjung adalah untuk mempelajari sejarah gelap yang ada, juga sebagai refleksi tentang apa yang salah di masa lalu dan apa yang dapat mereka pelajari agar tidak terulang di masa depan," ucap pakar dari Althone Institute of Technology.

Tetapi, menilik banyaknya turis yang datang demi selfie dan bersikap tidak sopan, ada pula yang menyarankan agar setiap turis memikirkan niat mereka sebelum berkunjung.

"Sebelum datang ke lokasi yang berasosiasi dengan kematian dan tragedi, penting untuk memikirkan niatmu. Apa kau datang untuk menghormati dan memahami, atau untuk mengambil selfie?"

 

More Articles ...