logo2

ugm-logo

Jumlah korban tewas akibat hujan di Sudan bertambah jadi 53 orang

Khartoum (ANTARA) - Jumlah korban tewas akibat hujan lebat yang melanda banyak negara bagian di Sudan bertambah menjadi 53 orang, seperti disampaikan oleh Kementerian Kesehatan Sudan pada Sabtu (10/8).

Banjir, yang merupakan peristiwa tahunan di Sudan, biasanya terjadi antara Juni dan Oktober. Dalam tiga tahun terakhir, hujan lebat telah merenggut ratusan nyawa dan menghancurkan lahan pertanian yang sangat luas.
 

Foto yang diambil pada 10 Agustus 2024 menunjukkan pemandangan setelah banjir akibat hujan di kota Abu Hamad di Negara Bagian Sungai Nil di Sudan utara. ANTARA/Xinhua/HO-Dewan Kedaulatan Transisi Sudan

 

Perempuan dan anak-anak digambarkan di dalam sebuah rumah yang sebagian hancur akibat hujan lebat di kota Abu Hamad di Negara Bagian Sungai Nil di Sudan utara, pada 10 Agustus 2024. ANTARA/Xinhua/HO-Dewan Kedaulatan Transisi Sudan

BPBD Beberkan Penyebab Krueng Kala Sering Meluap setiap Tahun

ACEH BESAR - Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD Aceh Besar, Iqbal membeberkan penyebab Krueng Kala di Kecamatan Lhoong,  Aceh Besar sering meluap setiap tahunnya.

“Krueng Kala sering terjadi  luapan setiap musim penghujan, karena kapasitas sungai tidak memadai untuk menampung debit air dari pegunungan,” kata Iqbal, Senin, 12 Agustus 2024.

Iqbal menjelaskan banjir luapan biasa terjadi satu hingga dua kali setahun, ketika wilayah itu dilanda hujan dengan intensitas tinggi. Namun banjir luapan tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu hingga dua jam karena muara sungai mengalir ke laut.

“Hulu krueng Kala berada di pegunungan Lhoong. Lhoong merupakan kecamatan berada di pinggir pegunungan dan juga di pesisir pantai. Sehingga ketika banjir, maka tak akan lama karena air mengalir ke laut,” jelasnya.

Ia menyebutkan banjir luapan biasa menggenangi empat gampong dan dapat meluas ke Gampong lainnya. Biasanya banjir melanda Gampong Kala namun juga dapat meluas hingga ke Desa Pudeng, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar.

Dikatakan Iqbal kondisi itu diduga karena kerusakan  lingkungan, seperti perambahan hutan dan sebagainya. Sehingga berdampak kepada ketidakmampuan sungai menahan curah hujan. 

“Selain itu, abrasi dan terkikisnya tebing sungai juga menjadi faktor banjir luapan,” sebutnya.

Iqbal menceritakan beberapa tahun silam, banjir luapan di Krueng Kala pernah menyebabkan terkikisnya tebing sungai di pasar Lhoong. Sehingga membuat beberapa rumah toko di bantaran  ikut ambles.

“Di samping itu, berdampak juga ke lahan pertanian masyarakat sehingga gagal panen seperti palawija, cabai dan lainnya jika banjir melanda Kecamatan Lhoong,” ucapnya.

Meski demikian, kata Iqbal, masyarakat setempat telah beradaptasi dengan kondisi tersebut. Ketika musim hujan tiba, warga berada di daerah aliran sudah mempersiapkan diri, waspada dan siaga. 

“Di sana mungkin masyarakat sudah mengamankan dokumen penting karena sering banjir luapan hanya dalam hitungan jam sangat cepat surut,” ucapnya.

Iqbal menyebutkan  pemerintah telah membuat areal resapan seperti waduk. Di samping itu pernah melakukan normalisasi dan membuat anak sungai kecil. Namun melihat kondisi alam saat ini dan beberapa tahun setelah dinormalisasi, material-material seperti kerikil dan lumpur kembali menimbun sehingga membuat sungai dangkal.

Selain itu, Sungai Kala sendiri sangat berarti bagi masyarakat setempat. Di mana menjadi salah satu sumber rezeki, sungai Kala dimanfaat untuk mencari ikan. 

“Sumber airnya pun digunakan untuk kehidupan sehari-hari, seperti mencuci dan mengairi lahan pertanian masyarakat setempat,” imbuhnya.***

More Articles ...