logo2

ugm-logo

BPBD: Wilayah terdampak bencana kekeringan di Trenggalek meluas

Trenggalek, Jawa Timur (ANTARA) - Badan Pengendali Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek, Jawa Timur (Jatim), mengonfirmasi wilayah terdampak bencana kekeringan di kabupaten tersebut hingga pertengahan Oktober ini meluas di 17 desa/kelurahan pada 10 kecamatan.

Hal itu mengacu pada  pemantauan lapangan dan data penambahan desa yang mengajukan permintaan bantuan air bersih.

"Awal Oktober lalu jumlah desa yang terdampak tercatat ada 11 desa/kelurahan pada tujuh kecamatan. Saat ini permintaan air bersih naik menjadi 17 desa/kelurahan di 10 kecamatan," kata Kepala pelaksana BPBD Trenggalek Traidi Atmono di Trenggalek, Kamis.

Bertambahnya jumlah warga terdampak itu, kata dia, karena kekeringan di Bumi Menak Sopal saat ini terus meluas.

Berdasar data wilayah per desa itu, BPBD Trenggalek mencatat ada 7.845 warga dari 2.468 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak langsung dan mengalami krisis air bersih.

Untuk menanggulangi hal itu, pihaknya bersama dengan stakeholder lainnya berjibaku menggelontorkan air bersih ke daerah terdampak kekeringan.

Trenggalek, kata dia, mengalami kekeringan meteorologi kategori Awas yang membuat sumur-sumur air warga mengering. Hingga saat ini ada sebanyak 163 tangki berisi air bersih yang sudah digelontorkan.

"Kemudian upaya penanganan bersama, ada sebanyak 42 tandon, 335 jeriken, dan 26 terpal yang sudah didistribusikan ke masyarakat," katanya.

Selain itu pemerintah daerah (pemda) tengah mengusulkan bantuan pembuatan sumur bor kepada BNPB melalui Pemprov Jatim dengan estimasi anggaran mencapai lebih dari Rp8 miliar.

"Berkaca pada dampak kekeringan 2019 lalu, titik sumur bor itu direncanakan ada di 66 desa," katanya.

BMKG Prediksi Bencana Alam Kian Ekstrem Apabila tidak Ada Transisi Energi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi akan terjadi peningkatan bencana ekstrem dalam 10 tahun mendatang, jika transisi energi tidak dilakukan secara masif. Bencana ekstrem yang kemungkinan terjadi di antaranya suhu semakin memanas, hujan ekstrem, banjir dan longsor, El Nino, La Nina, hingga kekeringan ekstrem.

“Selain itu, akan terjadi juga perubahan curah hujan yang bervariasi di masing-masing lokasi. Lalu akan terjadi kenaikan muka air laut yang akan meningkatkan bencana rob khususnya di pesisir,” kata Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, saat dihubungi Republika, Rabu (18/10/2023).

Hingga saat ini, bauran energi primer di Indonesia memang masih didominasi oleh sumber energi fosil. Menurut data Kementerian ESDM tahun 2022, penggunaan sumber energi fosil yaitu sekitar 87,7 persen, sementara energi baru terbarukan (EBT) masih berkisar 12,30 persen.

Ardhasena menjelaskan, suhu permukaan akan terus meningkat jika tidak ada perubahan atau transisi energi ke sumber yang lebih hijau. Pasalnya, transisi energi ke sumber yang lebih hijau merupakan bagian dari adaptasi atau mitigasi perubahan iklim.

Ardhasena menjelaskan, transisi energi sangat berpengaruh pada pola cuaca di Indonesia. Penggunaan sumber energi hijau secara menyeluruh akan mengurangi penggunaan energi berbahan bakar fosil sehingga emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari penggunaan energi berbahan bakar fosil akan berkurang.

Berkurangnya emisi GRK secara menyeluruh akan mengurangi peningkatan suhu udara global akibat pemanasan global. Sebagai contoh, telah terjadi kenaikan rata-rata 0,3 derajat celcius dalam rentang 2000-2023 yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (CO2) dari bahan bakar energi fosil seperti batubara, minyak bumi dan sejenisnya.

Pengukuran GRK khususnya CO2 oleh BMKG juga terus menunjukkan tren yang meningkat. Contohnya pengamatan selama kurun waktu Mei 2020-2022 di tiga lokasi yaitu kawasan hutan Bukit Kototabang (3,12 ppm), Palu (2,2 ppm), dan Sorong (1,8 ppm) yang secara umum mengalami kenaikan setiap tahunnya.

“Memang transisi energi memerlukan waktu yang tidak singkat. Tapi yang pasti, transisi energi yang dilakukan secara menyeluruh dan global akan mengurangi emisi GRK yang tiap tahun terus meningkat,” tegas Ardhasena.

More Articles ...