logo2

ugm-logo

BPBD Ungkap Alasan Tak Ada Peringatan Dini saat Bencana Semeru

Merdeka.com - Manager Pusat Pengendalian Ops Penanggulangan Bencana (Pusdalops) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur Dino Andalananto mengungkap, alasan tak ada peringatan dini awan panas guguran (APG) Gunung Api Semeru, Kabupaten Lumajang pada Sabtu (4/12). Menurutnya, aktivitas Gunung Semeru saat itu masuk kategori rapid-onset.

"Nah kebetulan ini kemarin kan awan panas guguran yang sifatnya rapid-onset. Jadi tiba-tiba. Kayak longsor, longsor itu juga bencana yang tiba-tiba, rapid-onset," katanya kepada merdeka.com, Senin (6/12).

Dino menyebut, ada dua kategori bencana, yaitu rapid-onset dan slow-onset. Bencana rapid-onset merupakan bencana yang terjadi secara mendadak sehingga tidak bisa diamati tanda-tandanya, seperti awan panas guguran.

Sedangkan bencana slow-onset ialah bencana yang terjadi perlahan dan dapat dilihat gejalanya, misalnya erupsi. Bencana slow-onset bisa diprediksi dan diikuti peringatan dini.

"Makanya saya bilang tadi, ini bukan erupsi. Kalau erupsi bisa diamati karena ada kegempaan yang meningkat, kemudian ada parameter-parameter yang bisa dilihat lainnya," jelasnya.

Sementara ahli vulkanologi, Surono menilai, tak semua bencana harus disampaikan peringatan dini sebelum kejadian. Sebab, Gunung Semeru sudah menunjukkan tanda-tanda aktivitas jauh-jauh hari.

"Kalau tinggal di daerah rawan kan risikonya banyak sekali," ujarnya.

Surono megibaratkan tinggal di kaki Gunung Semeru seperti hidup di tengah jalan tol. Masyarakat tidak bisa menyalahkan pemerintah soal peringatan sebelum kecelakaan. Masyarakat seharusnya sudah tahu tinggal di tengah jalan tol bisa menjadi korban kecelakaan.

Menurutnya, bencana yang terjadi pada Gunung Semeru itu bukan aktivitas baru. Guguran kubah yang menghasilkan awan panas itu sudah sering terjadi. Bahkan, laharnya selalu melewati Besuk Kobokan.

"Sudah sering terjadi makanya Besuk Kobokan itu menjadi ajang pencarian pasir karena di situ-situ juga," ucapnya.

Surono mendorong pemerintah Jawa Timur dan masyarakat terdampak awan panas guguran Gunung Semeru duduk bersama. Membahas jalan keluar bagi daerah yang rawan bencana Gunung Semeru.

"Kita evaluasi saja yang terdampak di situ tempatnya bahaya atau enggak. Kalau daerah bahaya ada jalan enggak untuk mengurangi risiko bahaya. Kalau enggak ada hanya satu pilihan relokasi, enggak usah marah-marah lah," kata dia.

 

Peringatan Dini PVMBG

Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani mengaku telah mengeluarkan peringatan dini sebelum Gunung Semeru mengeluarkan awan panas guguran pada Sabtu 4 Desember 2021. Peringatan itu dikeluarkan bersamaan dengan 69 gunung api aktif lainnya.

"Peringatan dini untuk bahaya erupsi gunung api sudah dilakukan bukan hanya di Semeru, tetapi juga di 69 gunung api aktif yang dipantau oleh PVMBG melalui pemasangan peralatan pemantauan, serta pengamatan visual selama 24 jam," kata Andiani kepada merdeka.com dalam pesan singkat, Senin (6/12).

Dia menjelaskan pada 1 Desember 2021 sudah terjadi guguran lava pijar di lereng Gunung Semeru. Bahkan, pada 2 Desember, Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Semeru sudah mengeluarkan peringatan agar masyarakat tidak beraktivitas di sekitar Besuk Kobokan, Besuk Kembar, Besuk Bang, dan Besuk Sarat, untuk mengantisipasi kejadian awan panas guguran.

15 Orang Meninggal

Jumlah korban meningggal dunia akibat guguran awan panas Gunung Api Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, bertambah satu. Sehingga total keseluruhan menjadi 15 orang.

"Ada tambahan satu korban meninggal dunia, jadi total 15. Cuma tambahan satu belum dirilis," kata Manager Pusat Pengendalian Ops Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD Provinsi Jawa Timur Dino Andalananto saat dihubungi merdeka.com, Senin (6/12).

Dino menjelaskan, peristiwa yang terjadi di Gunung Semeru pada Sabtu (4/12) merupakan guguran awan panas . Bukan erupsi. Erupsi merupakan aktivitas gunung vulkanik aktif yang mengeluarkan gas dan lava dari lubang vulkanik.

Sementara guguran awan panas merupakan peristiwa ketika suspensi dari material gunung berupa batu, kerikil, abu, pasir dalam suatu massa gas vulkanik panas keluar dari gunung berapi.

"Masih banyak yang belum memahami ini padahal kita sudah kasih pengertian di awal. Makanya di keadaan darurat itu kan awan panas guguran," jelasnya.

Diberitakan sebelumnya, guguran awan panas Gunung Semeru mengakibatkan 10 kecamatan terdampak dan 8 kecamatan terdampak debu vulkanik. Total jiwa dari 4 kecamatan terdampak yaitu 5.205 jiwa. Namun hanya 1.300 jiwa memilih untuk mengungsi di tempat pengungsian yang telah disediakan.

BPBD Kabupaten Lumajang melaporkan terdapat 902 warga mengungsi yang tersebar di beberapa titik kecamatan, antara lain :

305 orang mengungsi di beberapa fasilitasi pendidikan dan balai desa di Kecamatan Pronojiwo dengan rincian :

- SDN Supiturang 04 ± 80 orang
- Masjid Baitul Jadid Dsn. Supiturang ± 50 orang
- SDN Oro-Oro Ombo 3, ± 20 orang
- SDN Oro-Oro Ombo 2, ± 35 orang
- Masjid Pemukiman Dusun Kampung Renteng Desa Oro-oro Ombo ± 20 orang
- Balai Desa Oro-Oro Ombo ± 40 orang
- Balai Desa Sumberurip ± 25 orang
- SDN Sumberurip 2, ± 25 orang
- Sebagian masyarakat mengamankan diri di rumah keluarganya di sekitar ketinggian Dusun Kampung Renteng dan Dusun Sumberbulus, Desa Oro-Oro Ombo.

409 orang di lima titik balai desa di Kecamatan Candipuro dengan rincian :

- Balai desa Sumberwuluh
- Balai desa Penanggal
- Balai desa Sumbermujur
- Dusun Kampung Renteng, Desa Sumberwuluh
- Dusun Kajarkuning, Desa Sumberwuluh

188 orang mengungsi di empat titik yang terdiri dari rumah ibadah dan balai desa di Kecamatan Pasirian dengan rincian :

- Balai desa Condro
- Balai desa Pasirian
- Masjid Baiturahman Pasirian
- Masjid Nurul Huda Alon² Pasirian.

sumber: https://www.merdeka.com

BNPB usung konsep mitigasi bencana tsunami berbasis ekosistem

Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengusung konsep mitigasi bencana tsunami berbasis ekosistem dengan merawat vegetasi mangrove untuk menjamin fungsi proteksi dalam jangka waktu hingga ratusan tahun.

"Salah satu pilihan dalam penanganan bencana adalah hidup berdampingan dengan bencana. Salah satunya dengan menanam mangrove, sebagai upaya preventif untuk mengurangi dampak dari terjangan tsunami," kata Sekretaris Utama BNPB Lilik Kurniawan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Menurut dia, hidup berdampingan dengan bencana juga mengharuskan semua pihak untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapinya, baik melalui infrastruktur maupun kultur, seperti pengetahuan tentang potensi risiko bencana sehingga mampu meminimalisasi dampak ketika bencana terjadi.

"Penanaman mangrove merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesiapsiagaan akan tsunami. Kemudian masyarakat diharapkan mengetahui apa yang harus dilakukan, sehingga kita bisa paham bagaimana menyelamatkan diri dari tsunami," ujar dia.

Hal itu pula yang BNPB lakukan, dengan melakukan mitigasi berbasis vegetasi yang sejalan dengan kegiatan Rumah Zakat Indonesia di mana pada saat yang sama membina Desa Kembang di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, untuk dijadikan desa wisata berbasis "eco-tourism" melalui kawasan Watu Mejo Mangrove Park.

"Dengan adanya lahan mangrove Desa Kembang yang berlokasi di sepanjang bantaran Sungai Grindulu, maka jika terjadi tsunami yang masuk dari muara sungai, energi limpasannya dapat direduksi oleh keberadaan mangrove," ujar dia.

BNPB, BPBD Provinsi Jawa Timur, BPBD Kabupaten dan Kota se-Jawa Timur, DPRD Kabupaten Pacitan, unsur TNI dan Polri, forkopimda, Forum PRB Jawa Timur, dan Kabupaten Pacitan, organisasi kemanusiaan wilayah Jawa Timur dan Kabupaten Pacitan, kelompok relawan, perwakilan sekolah, madrasah, Pramuka dan perwakilan masyarakat desa pesisir selatan melakukan penanaman mangrove bersama pada Minggu (28/11).

Kegiatan yang juga ditujukan untuk memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia itu diawali dengan peresmian lokasi wisata Watu Mejo Mangrove Park oleh Sekretaris Utama BNPB Lilik Kurniawan, Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji, Wakil Bupati Pacitan Gagarin dan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur Budi Santosa, serta CEO Rumah Zakat Nur Effendi.

Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jawa Timur Budi Sentosa mengatakan upaya penanganan yang dilakukan oleh berbagai pihak harus dimulai dari saat prabencana.

"Salah satunya dengan menanam mangrove, mangrove dapat mencegah abrasi laut, mengurangi gelombang tsunami dan dapat dimanfaatkan secara ekonomi," katanya.

Vegetasi dapat mengurangi gelombang tsunami, maka dari itu diperlukan perawatan serta pemeliharaan setelah ditanam sehingga dapat berfungsi optimal jika bencana datang.

Seperti di Pantai Teleng Ria Kabupaten Pacitan, ia mengatakan sejak tahun 2010 sudah ada vegetasi cemara, ketapang dan trembesi di sepanjang pantai yang penting untuk dijaga, karena keberadaan vegetasi di sepanjang pantai bisa mereduksi tsunami dengan signifikan pada batas-batas tertentu.

Pemerintah daerah perlu memperhatikan kondisi vegetasi yang membentuk hutan pantai.

"Jika pada setiap batang pohon, jarak antara muka tanah dengan tinggi ranting pertama sudah lebih dari 1,5 meter, maka perlu ditanami vegetasi baru diantara tegakan yang sudah ada agar fungsi reduksi tsunami bisa optimal," ujar dia.

More Articles ...