logo2

ugm-logo

Blog

5 Hal Wajib Dipersiapkan Saat Wisata di Kawasan Rawan Bencana

VIVA – Di balik keindahan alam yang dimiliki, Indonesia juga menjadi daerah dengan cincin api sehingga menjadikannya sebagai wilayah dengan banyak jenis bencana alam, mulai dari gempa bumi, erupsi hingga tsunami. Terjadinya bencana tak dimungkiri turut mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara.

Padahal sebenarnya, hal tersebut bukan sesuatu yang perlu ditakuti, asalkan mengetahui apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi. Selain itu, juga mengetahui jenis bencana yang mungkin dihadapi selama berada di lokasi wisata tersebut.

Dalam acara Diskusi dan Sosialisasi Mitigasi di Tempat Wisata dengan tema Be Aware, Be Prepare Before Travelling di Hotel A One Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Februari 2019, Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Akhmad Taufan Maulana menyampaikan pentingnya mengetahui langkah selamat saat berwisata di lokasi rawan bencana.

1. Memahami potensi bencana di kawasan wisata

"Jadi bagaimana masyarakat tahu yang dilakukan di sekitar itu. Kami tidak melarang masyarakat melakukan aktivitas tapi yang paling penting, masyarakat sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika potensi bahaya terjadi," ujarnya.

Langkah konkret lainnya adalah dengan membuat rambu sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Terpenting masyarakat sadar untuk update info dari BMKG dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) setempat.

2. Memperhatikan jalur evakuasi

Saat berlibur di wisata rawan bencana, perlu memperhatikan rambu evakuasi. Selain itu, tempat evakuasi di hotel dan wilayah tersebut.

3. Memilih hotel dengan kondisi bangunan yang baik

4. Mempersiapkan diri sebelum, sesaat dan sesudah gempa atau tsunami

5. Memahami informasi gempa bumi

Hal lain yang juga sangat penting adalah mengetahui dan memehami informasi gempa dan peringatan dini tsunami dari BMKG. Ini untuk mengantisipasi agar Anda terhindar dari potensi mengalami hal yang tak diinginkan saat bencana tiba.

Bogor Masih Berstatus Siaga Bencana, Berikut Daftar Wilayah Rawan

Bogor Masih Berstatus Siaga Bencana, Berikut Daftar Wilayah Rawan

BOGOR - Warga Kabupaten Bogor diimbau mewasdapai bencana alam akibat cuaca ekstrem, baik itu tanah longsor maupun banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor masih menetapkan status siaga bencana banjir dan tanah longsor hingga Maret mendatang.

"Maka dari itu, masyarakat kami imbau agar selau waspada terhadap cuaca ekstrem yang dapat memicu banjir, tanah longsor, dan, puting beliung," ujar Sekretaris BPBD Kabupaten Bogor, Budi Pranowo, saat dikonfirmasi Selasa (26/2/2019).

Diketahui, hujan deras disertai angin kencang yang melanda wilayah Bogor pada Senin (25/2/2019) petang hingga malam kemarin membuat sejumlah titik dilanda beragam bencana. Mulai dari puting beliung yang mengakibatkan pohon tumbang, tanah longsor, hingga banjir.

Budi menjelaskan, status siaga bencana di Kabupaten Bogor merupakan penilaian Pemprov Jawa Barat yang menyebut ada beberapa kota dan kabupaten rawan bencana di wilayahnya, termasuk wilayah Kabupaten Bogor. "Dengan demikian, instruksi berlaku di setiap wilayah Kabupaten Bogor," tutur Budi.

Ia menyebutkan, dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor terdapat 23 kecamatan yang masuk dalam zona merah rawan bencana alam, baik banjir maupun tanah longsor pada saat curah hujan tinggi seperti sekarang ini.

"Cuaca ekstrem itu membuat Kabupaten Bogor masuk dalam kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat sebagai daerah yang berstatus siaga bencana banjir dan longsor," tandasnya.

Potensi bencana di wilayah Kabupaten Bogor yang paling besar yakni longsor. Hujan dengan intensitas tinggi berpeluang terjadinya pergeseran tanah sehingga menyebabkan longsor.

Pihaknya sudah mengidentifikasi 15 dari 40 kecamatan berpotensi longsor yang cukup tinggi, di antaranya Kecamatan Sukaraja, Tamansari, Megamendung, Cisarua, Sukamakmur, dan Cariu.

"Wilayah Barat Kabupaten Bogor paling berpeluang terjadinya longsor, daerah seperti Cigudeg, Leuwiliang, atau Tamansari, secara geografis memang lokasinya dataran tinggi dan perbukitan," pungkasnya.

(thm)

Mitigasi Indonesia belum jauh tertinggal dari Jepang

Demikian disampaikan koordinator Advokasi dan Akuntabilitas serta Pengembangan Kapasitas, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Iskandar Leman pada acara Ngobrol Pendidikan Indonesia (Ngopi) bertema 'Kajian Pendidikan di Wilayah Bencana' di Jakarta, baru-baru ini.

Pembicara lainny yang hadir yaitu peneliti Geofisika Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Nugroho Dwi Hananto dan Arif Haryono selaku General Manager Pendidikan Dompet Dhuafa.

"Memangnya kita sangat ketinggalan dengan Jepang? Tidak juga sebenarnya, karena negara kita itu jadi tempat di mana orang mencontoh," ujar Iskandar.

Sifat mencontoh itulah yang membuat Indonesia cepat bergerak mengikuti, sehingga tidak tertinggal jauh.

Selanjutnya, Iskandar juga menjelaskan tentang perbedaan antara mitigasi dengan pencegahan bencana.

"Mitigasi adalah bagaimana kita mengurangi dampaknya, sedangkan pencegahan, bagaimana kita mengelola bencananya sedemikian rupa sehingga tingkat kekuatannya berkurang,” papar pria yang banyak berpengalaman merancang beragam pelatihan kebencanaan ini.

Untuk melakukan mitigasi bencana, perlu kerja sama berbagai pihak. Karenanya menurut Iskandar ada tujuan bersama yang harus diwujudkan.

"Tujuan bersamanya adalah mengurangi jumlah korban dan jumlah aset yang menjadi rusak karena itu," terang Iskandar.

Pada konteks pendidikan, menurut Iskandar, mitigasi yang harus dilakukan mencakup tiga hal utama. "Pertama, fasilitas. Kedua, bagaimana manajemen rencananya. Dan ketiga adalah pendidikan pengurangan risiko bencana," sebut Iskandar.

Diskusi ini juga bertujuan untuk mengadvokasi konsep pendidikan di wilayah bencana agar dapat masuk dalam kurikulum pendidikan nasional. [wid]

TNI Kirim Pasukan Bantu Atasi Karhutla di Riau

Jakarta - TNI mengirim ratusan pasukannya untuk membantu mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau yang semakin meluas. Pasukan yang tergabung dalam Satuan Tugas Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan (Satgas Karhutla) itu dipimpin oleh Lettu Arm Imam Wahyudi.

Pasukan Satuan Setingkat Kompi (SSK) prajurit dari Batalyon Artileri Medan (Yonarmed) 10/Brajamusti Kostrad itu diberangkatkan oleh Asisten Operasi (Asops) Panglima TNI, Mayjen TNI Ganip Warsito, mereka berangkat dari Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Minggu (24/2/2019). Mereka berangkat menggunakan pesawat Hercules C-130, A-1316 TNI AU menuju Pekanbaru di bawah BKO Korem 031/Wirabima di Riau.

Mayjen TNI Ganip Warsito dalam sambutannya menyemangati ratusan prajurit yang akan berangkat menuju Riau. Dia mengingatkan para prajurit TNI harus sigap hadir di tengah masyarakat dalam keadaan apapun.

"Kurang dari waktu 24 jam para prajurit sudah siap untuk diberangkatkan, hal ini menunjukkan bahwa kalian semua memiliki kesiapan operasional yang tinggi. Itu semua membuktikan kepada masyarakat kita bahwa TNI akan hadir di tengah-tengah kesulitan rakyat dan TNI selalu siap mengawal negara dan bangsa ini dari berbagai bentuk ancaman," ucap Ganip, dalam keterangan tertulis, Minggu (24/2/2019).

Menurutnya, bencana karhutla ini dapat menimbulkan dampak yang sangat luas terutama ekonomi. Sebab, penanggulangan kebakaran hutan dapat menyedot anggaran negara yang begitu besar.

Ganip juga mengatkan karhutla dapat berdampak ke aspek sosial budaya hingga kesehatan masyarakat. Dia juga menyebut bencana karhutla ini juga bisa menyebabkan penyakit pernapasan.

"Karhutla juga berdampak terhadap aspek sosial budaya dan kesehatan masyarakat, karena akan mempengaruhi aktivitas mata pencaharian masyarakat serta menimbulkan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) serta penyakit lainnya menjadi akibat dari kebakaran hutan dan lahan," tuturnya

Garnip juga mengingatkan para prajurit untuk ikhlas dalam mengerjakan setiap kegiatan. Dia juga meminta para prajurit untuk selalu berdoa agar meminta perlindungan Tuhan.

"Saya berpesan kepada seluruh prajurit bahwa tugas yang kalian lakukan menjadi ladang amal ibadah kepada sesama kita, sehingga melahirkan sikap yang tulus ikhlas dalam melaksanakan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa," pungkas Garnip.
(zap/mae)

Alih Fungsi Lahan Picu Bencana

BENCANA datang silih berganti menerjang Provinsi Lampung. Bencana terbesar datang pada 22 Desember 2018 lalu berupa tsunami akibat letusan Gunung Anak Krakatau.

Ratusan penduduk di kawasan pesisir meninggal dan ribuan lainnya terdampak bencana. Hingga kini proses recovery bencana masih terus berlangsung. Kerugian material mencapai triliunan rupiah. Usai tsunami, pekan lalu hampir seluruh wilayah Lampung dikepung banjir yang disertai longsor. Ribuan rumah terdampak banjir.

Ribuan hektare lahan pertanian terendam. Banjir juga merusak infrastruktur, seperti jalan dan jembatan. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, ribuan penduduk terkena dampak langsung banjir setelah tempat tinggal mereka terendam.

Ada berbagai faktor pemicu bencana, antara lain curah hujan yang tinggi. Namun, faktor terbesar bencana terjadi karena campur tangan manusia, antara lain alih fungsi lahan. Ihwal alih fungsi lahan itulah yang dibahas Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan Lampung bersama Pemprov Lampung, pekan lalu.

Pemerintah Pusat menyoroti alih fungsi lahan di Lampung yang kurang terkendali dan berdampak pada rusaknya keseimbangan ekosistem dan memicu bencana alam. Proses pembangunan yang dibarengi dengan pertumbuhan penduduk memang selalu lapar akan lahan. Tetapi penggunaan lahan jika tidak melalui perencanaan jangka panjang yang matang justru akan menimbulkan dampak di kemudian hari.

Hutan bakau yang berfungsi sebagai benteng tsunami banyak yang berubah fungsi sebagai tambak dan lokasi wisata. Demikian pula kawasan hutan lindung yang berubah menjadi lahan perkebunan penduduk. Belum lagi lahan rawa yang kini telah disulap menjadi kawasan permukiman. Tidak heran, ketika curah hujan tinggi, air akan meluap dan meluber ke segala arah. Di musim kemarau, bencana kebakaran hutan dan lahan juga menjadi ancaman serius. Termasuk bencana kekeringan lahan maupun kesulitan air bersih selama musim kering.

Di Bandar Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Lampung mencatat kerusakan bukit dan gunung mencapai 80%. Sedikitnya, terdapat 32 bukit dan gunung di Kota Tapis Berseri dan hampir seluruhnya telah mengalami alih fungsi lahan. Hanya tinggal berapa bukit atau gunung yang belum terjamah. Kerusakan gunung dan bukit ini menjadi salah satu pemicu banjir.

Untuk mencegah terulangnya bencana di masa depan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah yang permanen hingga puluhan tahun mendatang. Pembangunan kawasan industri dan perumahan itu perlu, tetapi harus melalui perencanaan yang baik. Pembangunan kawasan wisata juga sangat perlu untuk mendorong perekonomian Lampung, tetapi tetap harus memperhatikan keseimbangan ekosistem.

Untuk itulah sudah saatnya semua pemangku kepentingan duduk bersama merumuskan kembali tata ruang provinsi Lampung ke depan. Dokumen tata ruang wilayah itu harus mampu menampung seluruh kepentingan tanpa harus merusak lingkungan. Pemerintah daerah, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kehutanan, pengusaha lokasi wisata, perwakilan petani perkebunan, dan lembaga masyarakat lain harus segera duduk bersama membahas tata ruang terbaik untuk Lampung.