logo2

ugm-logo

Blog

Smart City Dassault Systemes Tawarkan Solusi 3D Mitigasi Bencana

TEMPO.CO, Jakarta - Dassault Systèmes menawarkan solusi aplikasi tiga dimensi (3D) untuk konsep smart city (kota cerdas) yang menyertakan informasi terintegrasi tentang mitigasi bencana. Solusi tersebut dibuat dengan menggunakan platform 3DExperience milik perusahaan asal Prancis itu.

Baca: Bangun Smart City, Padang Pariaman Kembangkan Kawasan Tarok

"Tujuan dari penerapan konsep smart city adalah agar warga kota bisa mendapatkan informasi apa pun, termasuk soal mitigasi bencana," kata Adi Aviantoro, Country Business Leader, Indonesia Dassault Systèmes, Asia Pacific, di Jakarta, Rabu, 23 Januari 2019.

Di negara-negara lain yang tidak berada dalam daerah Cincin Api Pasifik, informasi tentang mitigasi bencana mungkin hanya sebagian kecil yang dimasukkan ke dalam perencanaan smart city. Tapi di Indonesia, kata Adi, sebaiknya juga menyertakan informasi tentang bencana-bencana lokal.

 

Dengan 3DExperience, aplikasi 3D dapat dibuat untuk mensimulasikan bencana yang mungkin terjadi di sebuah kota. Warga di kota tersebut dapat mengaksesnya melalui Internet sehingga dapat mempersiapkan diri apabila bencana benar-benar terjadi.

Simulasi dengan permodelan tiga dimensi akan memberi rasa aman kepada warga karena mereka bisa mendapatkan gambaran langsung peristiwanya.

Mitigasi di Indonesia menjadi sangat penting setelah beberapa bencana besar melanda sejumlah daerah tahun lalu. Terkait gempa bumi di Palu, misalnya, ternyata sebelumnya sudah ada ahli yang mengingatkan tentang kemungkinan terjadinya gempa besar di wilayah tersebut.

"Alangkah baiknya jika data-data historis tentang bencana semacam itu dijadikan masukan untuk membuat simulasi bencana," tambah Adi.

Solusi 3D untuk penerapan kota cerdas yang menyertakan informasi mitigasi bencana sudah ditawarkan ke sejumlah pemerintah daerah, terutama daerah-daerah yang rawan bencana. Pemerintah Kota Padang Pariaman, misalnya, sudah menjalin kerja sama dengan Dassault Systèmes untuk membangun kota cerdas.

Konsep smart city yang menyertakan mitigasi bencana juga sudah diperkenalkan perusahaan tersebut di ajang GovNext 2019 di Jakarta pada 22 Januari.

ANTARA

Bencana Alam di NTT Merenggut Nyawa 12 Warga

Merdeka.com - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat sejak Desember 2018 hingga akhir Januari 2019, sedikitnya 12 orang meninggal dunia akibat bencana hidrometeorologi.

"Untuk korban jiwa sampai 24 Januari 2019, sudah tercatat 12 orang. Ada yang tertimbun tanah longsor dan ada yang terseret banjir," kata Kepala Pelaksana BPBD NTT Tini Tadeus di Kupang, Kamis (24/1).

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan dampak bencana alam akibat hujan disertai angin yang melanda seluruh wilayah di provinsi berbasis kepulauan itu sejak Desember 2018 hingga Januari 2019.

Dia menjelaskan hujan dengan intensitas tinggi disertai angin kencang selama lebih dari sebulan ini telah memicu terjadinya bencana hidrometeorologi di hampir semua daerah di NTT.

Bencana hidrometeorologi, seperti hujan lebat, banjir, genangan air, pohon tumbang, jalanan licin, rumah roboh, tanah longsor dan puting beliung.

Dia mengatakan korban yang meninggal dunia akibat bencana alam itu, antara lain di Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan, Manggarai Barat, serta Nagekeo.

Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Manggarai, kata Tini, mengakibatkan satu warga setempat meninggal akibat sambaran petir.

"Dalam kondisi cuaca ekstrem seperti ini dibutuhkan kewaspadaan masyarakat untuk tidak memaksakan diri tinggal di daerah yang rawan bencana. Apabila sudah ada tanda-tanda bencana maka sebaiknya segera mengungsi ke lokasi yang aman," katanya.

Dia mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan siaga menghadapi cuaca ekstrem yang masih akan berlangsung dalam beberapa waktu ke depan ini. [cob]

Deretan Daerah yang Mau Jadi Smart City soal Mitigasi Bencana

Adi Aviantoro, Country Head Indonesia, PT. Dassault Systemes Indonesia, saat memaparkan daerah-daerah yang berpotensi jadi smart city dalam hal mitigasi bencana. Foto: Muhamad Imron Rosyadi/detikINET

Jakarta - Smart city dan mitigasi bencana sekilas mungkin dua hal berbeda yang tidak bisa disatukan. Meski begitu, siapa sangka jika mitigasi bencana alam justru bisa memperkuat konsep smart city dalam perencanaan sebuah daerah.

Hal tersebut pun sudah disadari oleh sejumlah kawasan di Indonesia. Hal tersebut disampaikan oleh Adi Aviantoro, Country Head Indonesia, PT. Dassault Systemes Indonesia.

"Pemkot Kupang sudah mengundang kita untuk membahas lebih lanjut bagaimana membuat simulasi mitigasi bencana. Karena Kupang sendiri kalau dilihat riwayatnya pernah kena sejumlah bencana seperti gempa," ujarnya saat dijumpai dalam sebuah kesempatan.

"Lampung, karena punya pengalaman bencana tsunami baru-baru ini. Itu lebih ke arah waterfront. Nanti me-manage daerah pesisir," katanya melanjutkan.

Adi menambahkan, pemerintah setempat ingin membuat simulasi dalam mempercepat penanggulangan pascabencana. Untuk kendalanya, masalah utama yang dihadapi oleh Lampung adalah nelayan di sana yang tidak mau dipindahkan ke daerah lain.

"Sumatera utara dengan problematik shelter bencana dari Gunung Sinabung. Salah satu masalahnya adalah logistik. Misalnya, ada shelter yang pasokan bahan makanannya tidak sesuai dengan penghuninya. Ada shelter yang isinya mayoritas balita, tapi malah terus dikirimi mie instan," tuturnya.

Menariknya, bencana yang menjadi masalah daerah tertentu bukan cuma dari alam. 'Bencana' etnis pun bisa menjadi prahara tersendiri.

"Selain itu ada Kalimantan Barat. Sebenarnya Kalimantan Barat itu salah satu daerah yang paling aman di Indonesia untuk urusan gempa. Tapi mereka punya masalah yang lain. Mereka itu punya lima ribu desa yang populasinya macem-macem. Nah, mereka mau melakukan simulasi ketika perkampungan-perkampungan lintas etnis bersebelahan. Konflik-konflik apa aja yang bisa terjadi," ujar Adi.

Lalu, ada Makassar yang juga punya topiknya sendiri. Pemerintah setempat ingin potensi pertaniannya lebih dioptimalkan, seperti kopi dan cokelat.

Berangkat dari masalah-masalah tersebut, Adi mengatakan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan sejumlah pemerintah daerah untuk memberikan solusi. Salah satunya adalah dengan membuat model daerah tersebut secara 3D.

Lebih lanjut, dari situ bisa dibuat sebuah platform yang dapat diakses oleh publik sebagai sarana untuk mengetahui informasi-informasi mengenai daerah terkait.

Dalam keadaan darurat, misalnya, pengguna platform tersebut dapat menerima alarm bahaya. Hal ini dianggapnya sangat bermanfaat terutama dalam kondisi jaringan telekomunikasi yang mati.

Jalur evakuasi pun juga diatur dengan berlandaskan pada model 3D itu. Contohnya, ketika medan yang dilalui banyak jalan menanjak, maka evakuasi untuk orang tua atau kemampuan fisik terbatas bisa dialihkan ke shelter dengan jalur lebih terjangkau.

Bahkan, para pemandu wisata pun bisa mendapat sertifikasi tertentu terkait dengan penanganan bencana. Salah satu bentuk sertifikasinya adalah dengan melakukan simulasi bencana menggunakan virtual reality dan melatih mereka untuk mengambil keputusan berdasarkan kondisi yang terjadi.

sumber: detik.com

BPPT Kembangkan Teknologi Buoy Merah Putih untuk Mitigasi Bencana

BPPT Kembangkan Teknologi Buoy Merah Putih untuk Mitigasi Bencana

Jakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan sedang mengembangkan teknologi buoy Merah Putih untuk mitigasi bencana. Buoy itu bakal dilengkapi sensor untuk mengetahui keberadaannya serta mencegah buoy dicuri.

"Buoy yang kami namakan buoy Merah Putih ini nantinya akan dibuat dengan menggunakan bahan polimer. Kemudian kami lengkapi dengan berbagai instrumen, termasuk sensor lokasi dan tekanan (pressure gauge) supaya buoy bisa bekerja secara realtime," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) Hammam Riza dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/1/2019).

Dia menyatakan saat ini BPPT juga tengah merevitalisasi beberapa buoy agar bisa dipasang di berbagai lokasi. Hammam berharap semua pihak berkomitmen menjaga keberadaan buoy di perairan Indonesia demi kesiapsiagaan bencana.

"Kami harap dukungan berbagai pihak untuk bersama berkomitmen untuk menjaga buoy di perairan Nusantara. Demi kesiapsiagaan dan keselamatan kita bersama," ucapnya.

Selain berbicara tentang pengembangan buoy, dia menyinggung mitigasi bencana di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) zona pariwisata. Hammam menyebut mitigasi bencana di lokasi tersebut sangat dibutuhkan.

Pakar tsunami BPPT Widjo Kongko menyatakan perlu kajian secara lebih detail tentang konsep mitigasi bencana di KEK. Dia menyebut perlunya penyusunan mikrozonasi untuk potensi bencana di KEK.

"Diharapkan, dengan terpenuhinya aspek tersebut, KEK dapat lebih resilience terhadap potensi bencana," tutup Widjo.

Supermoon Dikaitkan dengan Bencana, Ini Kata Pegiat Astronomi

Bulan purnama supermoon terbenam di atas teleskop radio RT-70 di desa Molochnoye, Krimea, 2 Januari 2018. Menurut NASA, saat supermoon bulan tampak 30 persen lebih terang dan 14 persen lebih besar dari biasanya. REUTERS/Pavel Rebrov

TEMPO.CO, Bandung - Fenomena Supermoon 21 Januari 2019 berpotensi membuat pasang maksimum air laut di tujuh pesisir Indonesia. Selain itu, Supermoon sebelumnya sempat dikaitkan dengan bencana besar, di antaranya peristiwa gempa dan tsunami di Aceh serta di Jepang.

Pegiat astronomi dari Komunitas Langit Selatan Bandung, Avivah Yamani, mengatakan efek yang ditimbulkan Supermoon adalah terjadi pasang purnama yang lebih tinggi dari pasang purnama umumnya. "Bedanya sekitar 5 sentimeter lebih tinggi dari pasang purnama yang terjadi tiap bulan," katanya, Ahad, 20 Januari 2019.

Supermoon adalah purnama istimewa karena bulan tengah menuju pada posisi terdekatnya dengan bumi (perigee). Pada 22 Januari, jarak terdekat bulan dan bumi terentang 357.342 kilometer. Efek fenomena itu ke bumi yang jelas yaitu kenaikan pasang air laut.

Namun begitu pernah ada pihak yang mengaitkan Supermoon dengan peristiwa gempa. "Kenyataannya efek dari bulan saat di perigee itu masih terhitung lemah," ujar lulusan Astronomi ITB itu. Contoh buktinya kenaikan pasang air laut yang hanya beberapa sentimeter itu.

Peneliti Astronomi dan Astrofisika BMKG Rukman Nugraha mengatakan, para astrologer (bukan astronom) menyatakan bahwa saat terjadi Supermoon, maka akan terjadi bencana. Contoh bencana yang banyak diberitakan adalah peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 pukul 07:58 WIB. Selain itu gempa bumi dan tsunami Jepang 11 Maret 2011 pukul 14:46 waktu setempat.

Pernyataan yang banyak beredar adalah gempa bumi dan tsunami Aceh terjadi 2 minggu sebelum Supermoon pada Januari 2005. Adapun gempa bumi dan tsunami Jepang terjadi 8 hari sebelum Supermoon 19 Maret 2011.

Berdasarkan periode anomalistik, bulan selama kurun waktu 27,55 hari akan melalui titik terdekat (perigee) dan terjauh (apogee) masing-masing sekali. Dengan demikian, kata Rukman, saat gempabumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 bulan tengah hampir di titik terjauhnya. "Jarak Bulan saat itu adalah 402.046 kilometer dari bumi,"

Begitu pula dengan gempabumi dan tsunami Jepang. Pada saat gempabumi terjadi, jarak bumi-bulan adalah 396.132 kilometer. Jarak ini lebih jauh daripada jarak rata-rata bumi-bulan, yaitu 384.400 kilometer. "Jadi pernyataan yang mengaitkan dua bencana itu dengan Supermoon tidak berdasar," katanya.

Pada waktu tertentu, bisa jadi bencana berbarengan waktunya dengan Supermoon. Kemungkinannya, kata Rukman, ada dua, yaitu tidak saling terkait atau berkaitan namun belum diketahui. Untuk memastikannya perlu kajian mendalam tentang Supermoon dan struktur geofisika bumi.

Namun demikian, menurut Rukman, kewaspadaan untuk menghadapi bencana apa pun dan saat kapan pun tetaplah harus dikedepankan, terutama di daerah kawasan pesisir. Hal itu karena Supermoon ikut berpengaruh pada kondisi pasang surut air laut. Faktor lain yang bisa membuat tinggi pasang yaitu cuaca buruk.