logo2

ugm-logo

Blog

Selama Mei, Merapi Sudah Muntahkan 74 Kali Lava Pijar

Aktivitas puncak Gunung Merapi mengeluarkan asap putih terlihat dari Balerante, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (19/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Gunung Merapi memang masih cukup aktif dengan tingkat aktivitas level dua atau berstatus waspada. Sejak 1 hingga 19 Mei 2019 saja, sudah terdapat 74 kali lava pijar dimuntahkan Gunung Merapi.

Jumlah itu memang masih terbilang tinggi jika melihat angka guguran selama beberapa bulan terakhir sepanjang 2019. Tapi, memang ada penurunan aktivitas sejak status waspada ditetapkan 21 Mei 2018.

Utamanya, dari aktivitas guguran awan panas. Sepanjang Mei saja, walau belum tutup bulan, baru ada dua guguran awan panas. Angka itu berkurang cukup signifikan dari April dan Maret 2019.

Guguran awan panas dengan jarak luncur terjauh terjadi pada 14 Mei 2019 dengan 1.200 meter. Sedangkan, guguran awan panas terdekat terjadi pada 17 Mei 2019 dengan 850 meter.

Jika melihat jarak luncur, awan panas pada Mei memang tidak sejauh guguran-guguran yang terjadi pada April. Sebab, jarak luncur April rata-rata di atas 1.000 dengan terjauh 1.450 meter pada 17 April 2019.

Secara kuantitas turut pula mengalami pengurangan mengingat pada April terjadi 18 guguran awan panas. Hal itu terjadi pula dari guguran lava pijar yang terjadi sebanyak 127 kali.

Penurunan kuantitas guguran terjadi pula sejak Maret ke April. Pasalnya, pada pekan terakhir Maret saja (25-31 Maret) terjadi 11 guguran awan panas dan 30 guguran lava pijar.

Untuk Mei, guguran lava pijar terjauh terjadi pada 8 dan 13 Mei 2019 dengan jarak luncur 1.400 meter. Sedangkan, guguran terdekat terjadi pada 14 Mei 2019 dengan jarak luncur 250 meter.

Selain itu, pada Mei, guguran harian memang lebih banyak terjadi jika dibandingkan April. Pada 7 dan 16 Mei saja dalam satu hari terjadi 10 kali guguran lava pijar.

Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG, Agus Budi Santoso menekankan, radius tiga kilomoeter dari puncak Gunung Merapi agar tetap dikosongkan dari aktivitas penduduk dan pendakian.

Sehubungan sudah terjadinya beberapa kali awan panas dengan jarak luncur yang semakin besar, masyarakat di sekitaran alur Kali Gendol diminta agar meningkatkan kewaspadaan.

"Guguran lava dan awan panas berpotensi menimbulkan hujan abu, masyarakat di sekitar diimbau untuk mengantisipasi gangguan akibat abu vulkanik," kata Budi, Jumat (17/5) lalu.

Untuk kegempaan lain, hingga 16 Mei 2019, tercatat enam gempa hembusan, tiga gempa vulkanik dangkal, 18 gempa fase banyak, 152 gempa guguran, 9 gempa low frekuensi dan 9 gempa tektonik. Hujan sekitar terjadi dengan intensitas curah hujan tertinggi sebesar 9 milimeter per jam selama 58 menit. Itu terukur dari Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Kaliurang pada 10 Mei 2019.

"Tidak dilaporkan terjadi lahar maupun penambahan aliran di sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi," ujar Budi.

 

Kaledonia Baru Diguncang Gempa 6,8 R

Kaledonia Baru Diguncang Gempa 6,8 R

Jakarta, CNN Indonesia -- Gempa berkekuatan 6.8 skala Richter melanda Pasifik Selatan sebelah Timur Kaledonia Baru pada Minggu (19/5). Namun, Survei Geologi AS (USGS) melaporkan tidak ada kerusakan maupun peringatan tsunami.

Seperti dilansir Reuters, pusat gempa tercatat 179 kilometer dari timur Tadine di Loyalty Island pada kedalaman 14 kilometer di bawah permukaan laut.

"Gempa itu tercatat 179 km (111 mil) timur Tadine di Loyalty Island dengan kedalaman 14 km (9 mil)," demikian pernyataan dari Survei Geologi AS (USGS).


Diketahui, pulau ini terletak di antara Australia dan Fiji. Pada bulan Desember lalu, pulau itu diguncang gempa 7,6 SR dan melahirkan peringatan tsunami.

Peringatan tsunami tersebut membuat para penduduk yang tinggal di sana langsung dievakuasi. Hal ini karena adanya kekhawatiran bahwa gelombang yang tingginya mencapai tiga meter dapat melanda Kaledonia Baru dan Vanuatu. Namun, sehari kemudian peringatan itu dicabut.

Diketahui gempa tahun lalu tidak menyebabkan kerusakan di kawasan Kaledonia Baru dan Vanuatu. (sha/rea)

Kemenpar Siapkan Magelang Jadi Destinasi Berbasis Mitigasi Bencana

Magelang dipersiapkan Kementerian Pariwisata sebagai destinasi wisata berbasis mitigasi bencana. Untuk itu Focus Group Discussion (FGD) digelar.

Namanya, FGD Mitigasi Bencana pada Destinasi Daya Tarik Wisata di Magelang dan Kawasan Borobudur. Kegiatan ini digelar di Hotel Grand Artos Magelang, Jumat 17 Mei 2019.

Asisten Deputi Pengembangan Destinasi Pariwisata Regional II Kementerian Pariwisata, Reza Fahlevi, menilai potensi pariwisata Magelang luar biasa. Baik itu potensi alam, buatan, dan budayanya.

Dengan segala potensi seperti itu Magelang menjadi salah satu destinasi unggulan tanah air. Maka dari itu dibutuhkan penanganan secara konprehensif untuk membuat wisatawan semakin nyaman.

"Fasilitasi mitigasi bencana seperti ini sangat penting untuk mendukung meningkatnya kewaspadaan dan kepedulian terhadap risiko bencana. ApalagiApalagi Magelang kini telah menjadi destinasi unggulan yang selalu menjadi pilihan wisatawan. Kami ingin seluruh pihak paham betul bagai mana meminimalkan dampak bencana sehingga wisatawan pun yakin berwisata di Magelang," ujar Reza.

Reza menambahkan, industri pariwisata rentan terkena ancaman bencana. Namun hal ini juga memiliki nilai positif. Salah satunya menjadikan risiko bencana sebagai atraksi wisata.

"Dalam konteks yang lebih maju, dengan kesiapsiagaan yang terukur, efektif dan efisien, kondisi ancaman dapat saja dijadikan atraksi wisata. Contohnya Hawaii yang memiliki Volcano Tourism atau Lava Tour Merapi. Ini yang menjadi landasan digelarnya FGD ini," ungkapnya.

FGD diisi dengan diskusi panel. Hadir berbagai narasumber yang berkompeten dibidangnya. Ada Kadisparpora Kabupaten Magelang Iwan Sutiarso, Kepala Seksi Mitigasi Struktur BNPB Elfina Rozita, serta Staf Ahli Pusat Pengkajian Strategi dan Humanitarian Project Manager CBM Indonesia Tanty S. Reinhart Thamrin.

Ada juga Hanik Humaida dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Iptu Sutarman dari Polres Kabupaten Magelang. FGD juga diikuti oleh seluruh stakeholder pariwisata Magelang.

Kadisparpora Kabupaten Magelang Iwan Sutiarso menyambut baik digelarnya FGD tersebut. Menurutnya ini menjadi langkah yang baik untuk membuat pariwisata Magelang semakin berkembang lagi.

"Sebagai salah satu daerah destinasi pariwisata super prioritas, pariwisata sudah menjadi nadi penting bagi Magelang. Diharapkan melalui FGD ini sharing knowledge dari para narasumber akan menambah pengetahuan pelaku industri pariwisata dan pemerintah dan dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kualitas pariwisata di Kabupaten Magelang demi mencapai target 2 juta wisatawan mancanegara," ujar Iwan.

Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenpar Dadang Rizki Ratman ikut angkat bicara. Menurutnya Indonesia dikaruniai alam yang begitu indah. Namun, di balik keindahan alam tersebut posisi Indonesia yang berada di daerah ‘cincin api’ atau ring of fire.

Atau, merupakan negara yang rawan bencana. Hampir setiap tahun, Indonesia mengalami bencana alam. seperti gempa bumi, erupsi, maupun tsunami yang kerap kali berdampak pada pariwisata.

“Oleh karenanya, mitigasi bencana ini merupakan hal penting karena merupakan landasan dimana kita melakukan pembangunan wilayah kedepan. Kalau kita tarik pada bidang pariwisata, nah ini yang harus kita cermati karena bagaimanapun juga wisatawan itu sangat sensitif dengan hal yang terkait dengan safety dan security,” ujar Dadang Rizki

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, bencana kapan saja bisa terjadi, tidak bisa diprediksi dan relatif tidak bisa dihindari. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mengatasinya dan bagaimana meminimalisir risiko yang ditimbulkan.

“Jika berbagai ancaman krisis ini tidak tertangani secara baik akan berdampak signifikan bagi kepariwisataan nasional dengan menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Maka dari itu Kemenpar terus mendorong seluruh destinasi agar siap mengahadapi segala tantangan yang ada,” ucap Menpar.(*)

sumber Tribunnews.com

Erupsi Awal Krakatau Jadi Sinyal untuk Bencana Maha-dahsyat

Liputan6.com, Ujung Kulon - Tahun 1883 menjadi waktu yang tak bisa dilupakan sejarah dunia. Bencana alam besar terjadi, Gunung Krakatau yang terletak di Selat Sunda meletus dan berimbas ke hampir seluruh Bumi.

Erupsi awal, terjadi pada 20 Mei 1883. Kejadian ini pertama kali disadari oleh Kapten Kapal Elizabeth dari Jerman yang tengah berlayar dekat Selat Sunda.

Dilansir dari Livesciene, Senin (20/5/2019), pria tersebut melihat awan berabu setinggi 9,6 kilometer keluar dari kawah Krakatau.

Selama dua bulan beberapa kapal komersial yang berlayar dekat perairan tersebut mendengar gemuruh yang berasal dari Gunung Krakatau dan melihat awan panas mulai keluar.

Kejadian buruk akhirnya terjadi pada 27 Agustus 1883. L meledakkan diri dan hancur berkeping-keping.

Hari itu, pada pukul 10.20, letusan dahsyat Krakatau diperkirakan setara dengan 150 megaton TNT. Jika dibandingkan kekuatannya lebih besar 10 ribu kali dari bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.

Akibat ledakan tersebut, dua pulau lenyap. Tsunami dengan tinggi 40 meter pun terjadi.

Tak ada data valid berapa jumlah korban jiwa letusan tersebut. Tapi beberapa laporan menyebut korban tewas lebih 35 ribu orang.

Lebih mengerikannya lagi, kerangka manusia ditemukan di Samudera Hindia sampai Pantai Timur Afrika.

Gemuruh letusan juga tidak cuma terdengar di daerah dekat Krakatau saja. Namun, sampai 4.600 kilometer jauhnya.

Letusan tersebut masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka bumi. Siapapun yang berada dalam radius 10 kilometer niscaya menjadi tuli. The Guiness Book of Records mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah.

"Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandek perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad," demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.

JK Ajak Dunia Internasional Perkuat Kerja Sama Kurangi Risiko Bencana

JK Ajak Dunia Internasional Perkuat Kerja Sama Kurangi Risiko Bencana

Jenewa - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memastikan Indonesia berperan aktif dalam menjajaki kerja sama internasional dalam upaya pengurangan risiko bencana. JK menyebut tak ada satu negara pun yang bisa menghadapi sendiri bencana.

"Saya ingin menegaskan kembali kesiapan dan komitmen Indonesia untuk mendukung perwujudan kerja sama internasional dalam pengurangan risiko bencana," ujar JK dalam pernyataan resmi pada forum Global Platfor for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di International Conference Center Geneva (CICG) Swiss, Kamis (16/5/2019).

Menurut JK, penguatan penerapan pengurangan risiko bencana tidak bisa mengabaikan pentingnya kerja sama internasional. Indonesia, sambung JK, membuka penjajakan kerja sama bidang riset, ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi bencana.

"Kami yakin bahwa multilateralisme tetap memainkan peranan penting dalam upaya bersama dalam memperkuat upaya pengurangan risiko bencana," ujarnya.

JK mencontohkan kerja sama internasional dalam penanganan bencana tsunami di Aceh tahun 2004. Kerja sama internasional dilakukan dengan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.

"Kita memahami bahwa tidak ada satu pun negara yang dapat menghadapi sendiri dampak dari bencana, karenanya Indonesia percaya bahwa kerja sama internasional memainkan peranan yang sangat penting," tutur JK.

Dalam pernyataannya, JK memaparkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani bencana termasuk penyiapan mitigasi. Mengutip instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), JK menyebut dilakukannya implementasi kemitraan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

"Mengintegrasikan rencana pembangunan yang mencakup pengurangan risiko bencana; koordinasi pemerintah daerah dan nasional; serta penerapan pengurangan risiko bencana yang berbasis ilmu pengetahuan," sambungnya.

Untuk memperkuat kemitraan tersebut, pemerintah Indonesia dipaparkan JK menerapkan pendekatan penthalix di tingkat lokal dan nasional yang meliputi pemerintah daerah, akademisi, tokoh masyarakat, sektor swasta serta organisasi masyarakat sipil.

Sementara dalam upaya integrasi pengurangan risiko bencana dalam agenda pembangunan, pemerintah Indonesia menurut JK sudah membuat perspektif pengurangan risiko bencana dalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang.
(fdn/haf)