logo2

ugm-logo

Blog

Prediksi Bencana Alam di Indonesia Tahun 2019 Oleh BNPB

Prediksi Bencana Alam di Indonesia Tahun 2019 Oleh BNPB, Dari Gempa Bumi, Banjir, Hingga Tsunami

Prediksi bencana alam di Indonesia tahun 2019 diungkap BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). 

Prediksi bencana alam di Indonesia tahun 2019 oleh BNPB itu di antaranya seperti gempa bumi, banjir hingga tsunami

Seperti diketahui prediksi bencana alam di Indonesia tahun 2019 yang diungkap oleh BNPB itu sangat penting sebagai informasi kepada masyarakat untuk tetap waspada dan siaga. 

Bila diruntut di penghujung tahun 2018 ini Indonesia baru saja mengalami Tsunami yang menerjang pesisir Banten dan Lampung pada Sabtu (22/12) dan menewaskan lebih dari 260 orang.

Lepas dari itu, kita mesti mafhum bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi bencana alam terbesar di dunia.

Ariel Noah Lanjut Chatting Usai Dijodohkan dengan Maria Eka Kontestan Audisi, Ini Isi Perhatiannya

Hotman Paris Minta Mama Ella Ramal Syahrini & Reino Barack, Melaney: Mudah-mudahan Luna Gak nonton

Boy William Ajak Jokowi Nge-Vlog di Mobilnya, Gak Percaya Sampai Nampar Muka Sendiri: This Is Crazy

Hal ini disebabkan karena posisi Indonesia yang berada di daerah Cincin Api alias Ring of Fire.

Tsunami Banten 2018 ini seolah melengkapi sederetan bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang 2018.

Prediksi bencana di Indonesia oleh BNPB pada 2019.
Prediksi bencana di Indonesia oleh BNPB pada 2019. (Kompas.com)

Mulai dari gempa Lombok, meletusnya Gunung Agung di Bali, hingga tsunami yang menghantan Sulawesi Tengah.

Meski begitu, banyaknya bencana yang melanda Indonesia pada 2018 diperkirakan masih akan terus berlanjut pada 2019 mendatang.

Paling tidak, begitu hasil prediksi BNPB

Musim penghujan dan kemarau diprediksi akan bersifat normal karena tidak ada peningkatan El Nino dan La Nina yang terjadi.

Meski begitu, sebanyak 95 persen dari bencana yang terjadi diperkirakan merupakan bencana hidrologi.

Dilansir dari Kompas.com artikel berjudul 'Ini Prediksi BNPB Mengenai Bencana di Indonesia pada 2019' tayang (19/12/2018).

Berikut prediksi bencana alam di Indonesia tahun 2019, dari gempa bumi, banjir, hingga tsunami:

Bencana hidrometeorologi

Salah satu rumah warga di Kecamatan Sipungga-pungga, Kabupaten Dairi yang dihajar banjir bandang, Selasa (18/12/2018).
Salah satu rumah warga di Kecamatan Sipungga-pungga, Kabupaten Dairi yang dihajar banjir bandang, Selasa (18/12/2018). (KOMPAS.com/TIGOR MUNTHE)

Bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang dipengaruhi oleh faktor cuaca.

Misalnya banjir dan tanah longsor saat musim hujan, atau kekeringan dan kebakaran lahan saat musim kering.

Meskipun tidak dapat dipastikan, namun bencana-bencana hidrometeorologi cenderung dapat diprediksi.

Ini dikarenakan waktu dan faktor penyebabnya berdasarkan musim yang datangnya kurang lebih dapat diperkirakan.

Banjir, longsor dan puting beliung diprediksi akan mendominasi peristiwa bencana selama 2019.

Hal ini disebabkan masih luasnya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), lahan kritis, laju kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, dan perubahan penggunaan lahan di lingkungan dan masyarakat.

Peta potensi tsunami di Indonesia
Peta potensi tsunami di Indonesia (Suar.grid.id)

Secara spesifik, banjir dan tanah longsor akan terjadi sejak awal tahun hingga April 2019 dan di pengujung tahun saat memasuki musim penghujan.

Sementara, kebakaran hutan dan lahan diprediksi masih akan tetap terjadi.

Hanya saja, bencana ini dapat diatasi dengan lebih baik dengan kesiapan berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.

Kekeringan dan kebakaran hutan ini akan banyak terjadi sekitar bulan Juni hingga Oktober saat musim kemarau tiba.

Bencana geologi

Situasi Kota Palu yang dipenuhi puing-puing bangunan akibat bencana gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami pada akhir September 2018.
Situasi Kota Palu yang dipenuhi puing-puing bangunan akibat bencana gempa bumi, likuifaksi, dan tsunami pada akhir September 2018. ((Dok. Humas Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR))

Bencana geologi merupakan bencana yang dipengaruhi oleh faktor pergerakan di bawah bumi.

Masing-masing lempeng memiliki waktu pergerakan berbeda-beda, sehingga waktu terjadinya cenderung kurang bisa diprediksi.

Waktu terjadinya pun bisa sewaktu-waktu dalam waktu yang cepat. Misalnya, gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami.

Kemungkinan terjadinya bencana ini tersebar sepanjang tahun di semua wilayah Indonesia, baik daratan maupun lautan. Untuk gempa bumi, tahun depan diprediksi masih terjadi.

Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah Indonesia terletak di atas lempeng aktif yang selalu bergerak.

Namun, wilayah Indonesia bagian timur diminta untuk lebih waspada dan berhati-hati.

Sebab, di wilayah itu memiliki lempeng atau sesar yang lebih rumit dan rentan terjadi bencana.

Peta Indonesia di dalam Ruang Kemerdekaan di cawan Tugu Monas.
Peta Indonesia di dalam Ruang Kemerdekaan di cawan Tugu Monas. (KOMPAS.com/JESSI CARINA)

Sementara, potensi tsunami ada jika gempa tektonik terjadi dengan kekuatan di atas magnitude 7 dan terjadi di jalur subduksi dengan kedalaman kurang dari 20 kilometer.

Terakhir, potensi bencana gunung berapi, tidak dapat diprediksi terjadinya dan masa kebencanaannya.

Ini dikarenakan masing-masing gunung berapi memiliki tipikal yang berbeda-beda.

Namun, secara keseluruhan Indonesia sudah lebih siap untuk menghadapi bencana yang mungkin datang.

Ini dapat dilakukan dengan perbaikan berbagai sistem dan pengetahuan, juga kesiapsiagaan masyarakat yang lebih terlatih saat bencana menerpa. 

Hoax menghantui bencana di Indonesia

Kendati bencana bisa diprediksi dan kesiapsiagaan masyarakat yang bisa dilatih saat bencana menerpa, namun menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei Hoax masih "menghantui" bencana di Indonesia. 

"Hoaks ini selalu saja ada di dalam setiap kejadian bencana," ujar Kepala BNPB Willem Rampangilei saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu (19/12/2018) dikutip dari Kompas.com

Padahal, Willem menegaskan, hoaks memiliki dampak besar secara ekonomi. Bahkan, hoaks dikatakannya, juga dapat menghambat penanganan bencana.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu (19/12/2018).
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu (19/12/2018). ((KOMPAS.com/Devina Halim))

"Akibat dari hoaks sangat berpengaruh terhadap penanganan bencana," ujarnya.

"Yang lebih dari itu, menimbulkan rasa teror, rasa cemas, rasa takut karena hoaks ini," sambung dia.

Willem pun mencontohkan saat erupsi Gunung Agung di Bali, yang terjadi selama periode medio 2017 hingga 2018.

Saat itu beredar hoaks yang menyebut Gunung Agung akan meletus seperti tahun 1963.

Implikasinya, wisatawan Bali berkurang sebanyak 1 juta orang dan menimbulkan kerugian di sektor pariwisata sebesar Rp 11 triliun.

Hoaks juga menyebar saat bencana gempa bumi yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dampak dari hoaks itu adalah membludaknya jumlah orang yang ingin dievakuasi.

Willem menyebutkan, sekitar 8.000 orang meninggalkan wilayah tersebut.

Padahal, pada awalnya disebutkan bahwa tim hanya akan mengevakuasi sekitar 1.000 orang.

BNPB mencatat, kerugian materiil pada sektor pariwisata akibat beredarnya hoaks saat bencana di Lombok mencapai Rp 1,4 triliun dan mengurangi kunjungan wisatawan sebanyak 100.000 orang.

Untuk itu, Willem pun mengimbau masyarakat agar hanya percaya dari sumber-sumber yang valid, seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), BNPB atau lembaga-lembaga terkait jika terjadi bencana.

Artikel ini telah tayang di dengan judul Prediksi Bencana Alam di Indonesia Tahun 2019 Oleh BNPB, Dari Gempa Bumi, Banjir, Hingga Tsunami, http://suryamalang.tribunnews.com/2018/12/30/prediksi-bencana-alam-di-indonesia-tahun-2019-oleh-bnpb-dari-gempa-bumi-banjir-hingga-tsunami?page=all.
Penulis: Sarah Elnyora
Editor: eko darmoko

Deretan bencana alam mematikan yang menerjang Indonesia sepanjang 2018

Tim gabungan mengangkut jenazah yang ditemukan di laut sekitar Tanjung Lesung, 25 December kemarin.

Sepanjang tahun 2018, lebih dari lima bencana alam besar menimpa Indonesia. Sejumlah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, hingga fenomena likuifaksi, menelan banyak korban.

Indonesia yang terletak di kawasan Cincin Api Pasifik atau Pacific Ring of Fire memang memiliki potensi bencana alam yang tinggi. Berada di gugusan gunung api dan titik pertemuan sejumlah lempengan bumi membuat Indonesia rawan diterpa amukan alam.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, hingga 14 Desember 2018 -sepekan sebelum bencana tsunami di Selat Sunda menerjang- telah terjadi 2.436 kejadian bencana di Indonesia.

Secara umum, tren bencana meningkat selama satu dekade terakhir, dan didominasi oleh bencana banjir, longsor, dan puting beliung.

Meski demikian, bencana paling mematikan disebabkan gempa bumi dan tsunami.

Berdasarkan data BNPB, kejadian gempa bumi sendiri menyebabkan 572 nyawa melayang tahun ini. Sementara untuk kejadian gempa bumi yang diikuti tsunami, hingga 14 Desember lalu -sebelum tsunami Selat Sunda- memakan korban jiwa sebanyak 3.397.

Dibandingkan dengan tahun-tahun lain selama satu dekade terakhir, jumlah korban jiwa akibat bencana alam di tahun 2018 adalah yang terbanyak.

BBC News Indonesia merangkum beberapa bencana alam paling mematikan di Indonesia di tahun 2018.

Longsor di Brebes, Jawa Tengah

Para petani di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa tengah, dikejutkan longsoran tanah dari bukit di tepi sawah tempat mereka bekerja 22 Februari lalu.

Dalam video yang saat itu beredar, gelombang tanah tampak bergulung ambruk menuruni lereng bukit dan menerjang sawah di bawahnya.

Sebagian orang tak sempat menyelamatkan diri dari terjangan longsor. Akhirnya, sebelas orang dinyatakan tewas tertimbun logsor dalam peristiwa itu, sementara tujuh lainnya hilang, dan 14 orang luka-luka.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), longsor yang terjadi di area hutan produksi milik perhutani BKPH Salem tersebut, disebabkan oleh beban air tanah yang bertambah akibat hujan deras yang melanda kawasan tersebut.

Gempa bumi di Lombok, NTB

Memasuki paruh kedua tahun 2018, sejumlah gempa bumi dahsyat menyergap Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Pada tanggal 29 Juli 2018, gempa berkekuatan 6,4 Magnitudo melanda pulau seribu masjid. Getarannya terasa di seantero Pulau Lombok, Bali, hingga Pulau Sumbawa.

Akibatnya, belasan orang tewas, termasuk seorang wisatawan asal Malaysia. Selain itu, 400-an orang terluka, dan ribuan bangunan hancur berantakan. Ratusan pendaki dari berbagai negara di Taman Nasional Gunung Rinjani juga sempat terjebak sebelum akhirnya dievakuasi.

Nahas, belum selesai pemerintah menanggulangi dampak gempa tersebut, gempa lebih besar mengguncang Lombok sepekan kemudian, tepatnya pada 5 Agustus 2018.

Berpusat di Kabupaten Lombok Utara, gempa berkekuatan 7 Magnitudo itu terasa hingga ke Pulau Jawa dan Madura. Badan Meteorologi Klimatologi dan geofisika (BMKG) pun sempat mengeluarkan peringatan potensi tsunami, meski akhirnya tidak terjadi.

Ribuan bangunan roboh, termasuk yang sebelumnya telah rapuh akibat gempa awal. Lebih banyak korban jatuh.

BNPB mencatat 564 orang meninggal dunia akibat gempa tersebut. Hampir 1600 lainnya terluka, dan lebih dari 445 ribu orang harus mengungsi karena kehilangan tempat tinggal.

Meski sebagian pihak menilai skala kerusakan di Lombok tergolong parah, pemerintah tidak menetapkan status bencana nasional. Presiden Joko Widodo justru mengeluarkan Instruksi Presiden berisi perintah percepatan penanganan bencana untuk segera memulihkan kondisi di sana.

"Kalau kita nyatakan bencana nasional, berarti bencana itu adalah seluruh Republik Indonesia. Dan itu menjadi travel warning semua negara-negara bukan hanya ke Lombok, bisa ke Bali. Dampaknya luar biasa, yang tidak diketahui publik," ungkap Sekretaris Kabinet Pramono Anung kala itu.

Gempa, tsunami dan likuifaksi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah

Belum hilang dari ingatan suasana mencekam dan kepanikan warga saat gempa Lombok terjadi, bencana kembali datang menghantam bumi Sulawesi.

Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo mengguncang Donggala dan Palu Jumat sore, 28 September 2018 lalu. Tak berapa lama, BMKG mengeluarkan peringatan tsunami setinggi 0,5 hingga tiga meter.

Antara tiga hingga enam menit kemudian, gelombang setinggi enam meter menerjang habis sebagian kota Palu yang terletak di ujung Teluk Palu. Saat itu semua terjadi, masyarakat tengah menyambut malam peringatan ulang tahun Kota Palu dengan menggelar festival di pantai.

Tapi bencana tak berhenti sampai di situ. Di sisi lain kota Palu, di Kelurahan Petobo, tanah berubah seperti lumpur hisap, menelan segala sesuatu yang ada di atasnya: bangunan, kendaraan, pepohonan, dan manusia.

Fenomena alam yang disebut likuifaksi itu muncul pasca-gempa dan menenggelamkan kurang lebih 1.700 rumah di kawasan perumahan padat penduduk. Ratusan bahkan ribuan orang diperkirakan ikut ditelan bumi di lokasi tersebut.

BNPB mencatat 2.101 orang tewas, 1.373 orang hilang, dan 206.219 orang harus mengungsi akibat bencana alam itu.

Melihat skala kerusakan yang terjadi, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membuka keran bantuan dari dunia internasional. Sejumlah negara menawarkan bantuan dalam bentuk uang tunai maupun barang.

Berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik dari dalam maupun luar negeri, ikut serta dalam proses penyaluran bantuan.

Banjir bandang di Mandailing Natal, Sumatera Utara

Jumat sore 12 Oktober 2018 lalu menjadi malapetaka bagi warga di bantaran Sungai Aek Saladi di sembilan kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Air bah disertai gelondongan kayu dan bebatuan menerjang rumah warga yang berada di sisi sungai.

Banyaknya sampah berukuran besar yang turut hanyut dan menghalangi jalan sempat menghambat proses evakuasi korban.

BNPB mencatat 17 orang korban meninggal dunia, di mana 12 di antaranya adalah siswa SD yang tengah mengikuti kegiatan belajar bersama guru mereka. Sementara itu, dua orang dinyatakan hilang, dan 534 lainnya mengungsi akibat kehilangan tempat tinggal mereka.

Banjir bandang sendiri disebabkan oleh sungai yang tak mampu menampung debit air yang besar, seperti dikutip dari Kompas.com.

Tsunami Selat Sunda

Di penghujung tahun, tanpa peringatan, gelombang tsunami meluluhlantakkan pesisir barat Pulau Jawa dan ujung selatan Pulau Sumatera. Gelombang itu menghantam Sabtu lalu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.30 WIB.

Hingga Kamis (27/12), 430 orang dinyatakan meninggal dunia, 159 lainnya hilang, hampir 1.500 orang terluka, sementara hampir 22 ribu warga mengungsi.

Di antara para korban tewas adalah tiga personel grup band Seventeen yang saat kejadian tengah tampil di atas panggung dalam acara family gathering PLN di Tanjung Lesung Beach Resort, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Hal yang menjadi polemik dari bencana tersebut adalah tidak adanya peringatan dini yang diberikan kepada warga akan bahaya tsunami. Hal itu menyebabkan tak ada korban yang sempat menyelamatkan diri menjelang tsunami datang.

BMKG sendiri bahkan sempat menyatakan gelombang yang menerjang sebagai ombak pasang akibat fenomena bulan purnama, sebelum akhirnya mengoreksi pernyataan itu dan mengonfirmasi terjadinya tsunami.

Menurut BMKG yang bekerjasama dengan Badan Geologi, tsunami terjadi akibat adanya longsor di Gunung Anak Krakatau setelah gunung api tersebut erupsi Sabtu (22/12) malam.

Ketiadaan peringataan dini sendiri diakui BMKG diakibatkan oleh tidak adanya early warning system yang dipicu aktivitas vulkanik. Mereka mengaku bahwa sistem peringatan dini yang kini dimiliki baru sebatas yang dipicu oleh aktivitas seismik.

Sementara itu, jaringan buoy tsunami di perairan Indonesia sendiri diakui Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, sudah tak beroperasi sejak 2012.

"Vandalisme, terbatasnya anggaran, kerusakan teknis menyebabkan tidak ada tsunami buoy saat ini. Perlu dibangun kembali untuk memperkuat Indonesia Tsunami Early Warning System," ungkap Sutopo dalam akun Twitternya.

3 Bencana Alam dengan Fenomena Langka Terjadi Sepanjang 2018 di Indonesia

3 Bencana Alam dengan Fenomena Langka Terjadi Sepanjang 2018 di Indonesia

Merdeka.com - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, ada tiga bencana alam yang menimbulkan banyak korban jiwa selama 2018. Bahkan ketiganya dinilai sebagai bencana dengan fenomena langka.

"Ada tiga fenomena langka yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar, yaitu gempa beruntun di NTB, lalu Sulteng gempa disusul tsunami dan likuifaksi yang terbesar di dunia dan tsunami Selat Sunda yang dipicu longsor bawah laut," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dikutip dari Antara, Selasa (25/12).

Dari ketiga bencana tersebut yang terbesar adalah gempa yang disusul tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah yang menyebabkan 2.101 orang meninggal, 1.373 orang hilang dengan kerugian ekonomi Rp 18,47 triliun.

"Gempa memicu tsunami yang tiba sangat cepat hanya dalam waktu empat menit lalu terjadi likuifaksi yang merupakan peristiwa terbesar di dunia," ujar Sutopo.

Setelah itu adalah gempa bumi beruntun yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Lombok dan Sumbawa. Bencana tersebut menyebabkan 546 orang meninggal, 1.886 orang luka-luka dan Rp 17,13 triliun.

"Ketiga bencana ini aneh dan langka terjadi, sementara tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga fenomena yang langka karena dipicu oleh longsoran bawah laut dan erupsi dari gunung Anak Krakatau," katanya seraya menambahkan longsoran tersebut tidak begitu besar, tapi ternyata menimbulkan tsunami.

Hingga Selasa (25/12) pukul 13.00 WIB, tercatat 429 orang meninggal dunia, sebanyak 1.485 orang luka-luka, 154 hilang dan 16.082 orang mengungsi, sementara kerugian masih dalam pendataan. [rnd]

 

BNPB: Tsunami Capai Daratan 24 Menit Usai Anak Krakatau Longsor

Kondisi Gunung Anak Krakatau lewat udara yang terus mengalami erupsi pada Ahad, 23 Desember 2018. Pada Sabtu, 22 Desember 2018, secara visual teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 sampai 1.500 meter di atas puncak kawah. TEMPO/Syafiul Hadi

TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan ada tenggat waktu saat tsunami Selat Sunda mencapai daratan. Tsunami tersebut, kata dia, terjadi setelah adanya longsor bawah laut yang diduga akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

"Berdasarkan hasil penelitian, ada tenggat waktu 24 menit dari longsor pemicu tsunami, dan perjalanan gelombang sampai menghantam pantai," ujar Sutopo di kantor BNPB, Jakarta, Selasa, 25 Desember 2018.

Tsunami Selat Sunda terjadi pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. Tsunami diduga disebabkan oleh longsor bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat adanya erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.03 WIB. Kemudian, tsunami yang menghantam pesisir barat Banten dan Lampung Selatan itu terjadi sekitar pukul 21.30 WIB.

Alat pencatat gelombang atau tide gauge BMKG merekam ketinggian gelombang di beberapa daerah. Tide gauge wilayah Serang merekam ketinggian gelombang 0,9 meter pada 21.27 WIB, tide gauge Banten merekam ketinggian 0,35 meter pada pukul 21.33 WIB.

Sedangkan tide gauge Kota Agung, Provinsi Lampung, merekam gelombang pada pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0,36 meter, serta tide gauge Pelabuhan Panjang mencatat ketinggian 0,28 meter pada pukul 21.53 WIB.

Menurut Sutopo, berdasarkan penuturan masyarakat, ada gemuruh yang terdengar sebelum datangnya tsunami. Warga yang mendengar gemuruh langsung berlari menuju bukit untuk menghindari tsunami.

Dalam kejadian tsunami Selat Sunda, tidak ada peringatan dini yang terdengar di beberapa lokasi terdampak. Hal itu, disebabkan tidak adanya alat pendeteksi tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut akibat erupsi gunung api.

Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rachmat Triyono menjelaskan alat yang dimiliki oleh lembaganya saat ini hanya untuk melaporkan peringatan dini untuk tsunami yang diakibatkan gempa tektonik saja. "Tsunami ini diakibatkan oleh gempa vulkanik, saat ini belum ada alatnya," kata Rahmat di kantornya pada Ahad dini hari, 23 Desember 2018.

Tsunami Selat Sunda berdampak pada pesisir barat Banten serta Lampung Selatan. Dalam rilis BNPB per tanggal 25 Desember pukul 13.00, jumlah korban meninggal bertambah menjadi 429 jiwa. Selain itu 1.485 orang menjadi korban luka-luka, 154 masih hilang, dan 16.082 jiwa mengungsi

Tsunami Selat Sunda Sebagai Bencana Kabupaten, Begini Alasannya

Tsunami Selat Sunda Sebagai Bencana Kabupaten, Begini Alasannya

Jakarta, IDN Times - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan bencana tsunami Selat Sunda sebagai bencana kabupaten, bukan bencana nasional.

Pasca-tsunami, masa tanggap darurat di wilayah Banten dilakukan selama 14 hari dan wilayah Lampung Selatan tujuh hari. Hingga Selasa (25/12) pukul 13.00 WIB, jumlah korban jiwa akibat tsunami menjadi 

1. Pemerintah daerah sanggup menangani dampak bencana


IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pemerintah daerah masih sanggup menangani dampak bencana tsunami Selat Sunda.

"Jadi status bencananya bencana kabupaten, tidak ada wacana bencana nasional. Pemerintah kabupaten sanggup, menyanggupi. Kepala daerah betul-betul berada di lapangan. Pemerintah pusat memperkuat logistik," ujar Sutopo di kantornya, Jakarta, Selasa (25/12).

2. Tak ada wacana penetapan bencana nasional

Tsunami Selat Sunda Sebagai Bencana Kabupaten, Begini Alasannya
IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Sutopo menegaskan hingga kini tak ada wacana penetapan bencana nasional. Pemerintah daerah tak lumpuh, pemerintah pusat juga sepenuhnya membantu penanganan bencana ini.

"Pemda sanggup mengatasi, potensi nasional juga siap menangani bencana ini," ujar dia.

3. Korban meninggal dunia terus bertambah hingga 429 orang


IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Berikut data dampak tsunami Selat Sunda hingga Selasa (25/12) pukul 13.00 WIB:

Korban
- 429 Meninggal
- 1.485 Luka-luka
- 154 Hilang
- 16.082 Mengungsi

Kerusakan
- 882 Unit rumah
- 73 Penginapan
- 60 Warung
- 434 Perahu dan kapal
- 24 Kendaraan roda empat
- 41 Kendaraan roda dua
- 1 Dermaga
- 1 Shelter.

4. Lima kabupaten terdampak tsunami Selat Sunda


IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Sebelumnya, Sutopo mengatakan, tsunami yang disebut-sebut akibat fenomena naiknya gelombang laut dan erupsi Gunung Anak Krakatau itu, menghancurkan lima kabupaten di wilayah Provinsi Banten dan Lampung, yakni Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, Tanggamus dan Pesawaran.

Sementara, korban jiwa di masing-masing kabupaten yakni Pandeglang 290 orang, Serang 29 orang, Lampung Selatan 108 orang, serta Tanggamus dan Pesawaran masing-masing satu orang. Total korban meninggal hingga Selasa (25/12) pukul 13.00 WIB, 429 orang.

5. Dua faktor alam diduga menjadi penyebab tsunami


IDN Times/Ilyas Listianto Mujib

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan tsunami yang terjadi di wilayah pesisir barat Provinsi Banten dan Lampung Selatan itu disebut-sebut akibat dua faktor alam dan fenomena langka.

Pertama, karena naiknya gelombang akibat bulan purnama. Kedua, akibat erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, yang memicu terjadinya longsor tanah bawah laut.

Alat pendeteksi tsunami yang menjadi alarm peringatan dini tsunami tidak berfungsi, sehingga masyarakat tidak mengetahui datangnya tsunami. BMKG awalnya menyebut datangnya gelombang laut akibat laut pasang, namun pada Minggu (23/12) dini hari, meralat kejadian tersebut sebagai gelombang tsunami.

Sementara, BNPB maupun BMKG menyebutkan, Indonesia belum memiliki alat pendeteksi tsunami yang disebabkan erupsi gunung. Indonesia hanya memiliki alat pendeteksi tsunami akibat gempa bumi.