logo2

ugm-logo

Blog

Mempercepat Pembentukan UU Geologi dalam Penanganan Pra Bencana

Dalam kurun waktu satu tahun di 2018, Indonesia diguncang dengan berbagai musibah. Mulai gempa bumi yang bertubi-tubi di Nusa Tenggara Barat, Palu Donggala, hingga tsunami di Tanjung Lesung, Pandeglang Banten dan dataran Lampung. Sayangnya, berulang kali digulung bencana alam, Indonesia tak memiliki UU khusus sebagai payung hukum dalam penanganan pra bencana. Karenanya, perlunya segera dilakukan percepatan dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Geologi.

Wakil Ketua Komisi III Ridwan Hisyam mengatakan pentingnya akan kebutuhan regulasi soal penanganan pra bencana. Ditambah lagi, jutaan orang Indonesia hidup di daerah rawan terkena bencana. Sehingga, sewaktu-waktu bencana dapat mengancam kehidupan masyarakat setempat. Dua wilayah yakni dataran tinggi Karo Sumatera Utara dan Yogyakarta yang menjadi kawasan zona berbahaya akibat terdapat dua gunung yang masih aktif. Bahkan daerah lain yang berada di patahan bumi mengakibatkan rawan gempa bumi.

Berdasarkan hasil temuan Komisi VII DPR, kata Ridwan, di sejumlah daerah terdapat banyak laporan terkait dengan minimnya manajemen kebencanaan di Indonesia, khususnya terkait dengan geologi. Karena itulah Ridwan meminta pemerintah khususnya Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dapat memberikan perhatian khusus soal geologi. Sehingga pencegahan dapat dilakukan sehingga meminimalisir korban akibat bencana.

“Kami Komisi VII menyesalkan pemerintah menganggap enteng dalam menangani persoalan kebencanaan padahal wilayah kita sangat rawan,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Komplek Gedung Parlemen di Jakarta, Senin (11/2).

Lebih lanjut Ridwan berpandangan pemerintah dalam menghadapi bencana alam, kerapkali fokus pada penanganan pascabencana. Itu pun dinilai belum maksimal penanganannya. Dia menilai persoalan bencana tak melulu di atas bumi, namun perlu diperhatikan pergerakan di dalam bumi. Nah ilmu yang dapat mendeteksi bakal terjadinya bencana alam di dalam perut bumi melalui geologi.

Sayangnya, pemerintah dinilai masih kurang maksimal dalam memberikan perhatian  soal geologi. Berbeda halnya dengan Jepang. Negara matahari terbit itu meski sama rawannya bencana dengan Indonesia, namun acapkali terjadi gempa minim korbannya. Pasalnya pemerintah Jepang fokus terhadap geologi dan penanganan pra bencana.

Politisi Partai Golkar itu menilai, melalui ilmu geologi, pemerintah dapat memetakan daerah yang rawan terjadinya bencana. Kendati terdapat Badan Geologi yang terletak di Bandung untuk mengawasi kebencanaan dari Sabang hingga Merauke, namun tempat tersebut sudah terlampau tua dan butuh peremajaan. Maklum saja tempat tersebut merupakan peninggalan Belanda.

Indonesia sedianya telah memiliki peta wilayah yang rawan terkena dampak bencana alam. Gempa Palu dan tsunami di Selat Sunda misalnya. Menurutnya, Badan Geologi telah memberikan peringatan, namun masih saja terdapat banyak korban.  Nah atas dasar itulah pembentukan RUU tentang Geologi mesti dipercepat.

Sebagaimana diketahui, keberadaan RUU tentang Geologi terdapat dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka lima tahunan dengan nomor urut 99. Sayangnya, RUU tentang Geologi tak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas tahunan 2019. Penggagas RUU tentang Geologi adalah DPR dan DPD.

Anggota DPD Permanasari menambahkan, Indonesia berada di kawasan ring of fire yang besar berpotensi mengalami bencana akibat kondisi geologi. Ketiadaan payung hukum di bidang geologi acapkali menjadi permasalahan pada penanggulangan bencana. Karena itulah kondisi tersebut perlu disikapi dengan membentuk payung hukum yang efektif dan komprehensif sebagai pijakan dalam pengambilan kebijakan, khususnya di bidang geologi.

Terpisah, Kepala Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar menilai, Pemda sedianya memang telah diberikan rekomendasi soal wilayah rawan bencana. Yakni tidak bolehnya mendirikan bangunan  di sekitar pantai. Sayangnya, lantaran tidak adanya UU yang menjadi payung hukum, akibatnya rekomendasi kerap kali diacuhkan. Maklum saja, rekomendasi tidak memiliki konsekuensi hukum dan bersifat tidak mengikat.

“Jadi begitu bencana terjadi sudah pasti banyak memakan korban. Ini bedanya kita dengan negara-negara seperti Jepang,” katanya.

Dia berharap  DPR, pemerintah dan DPD dapat bersinergi untuk segera mewujudkan terbentuknya UU Geologi. Terlebih lagi, Indonesia masuk dalam lingkaran api pasifik sehingga membutuhkan perhatian besar dari pemerintah pusat dan daerah atas pentingnya keberadaan UU tentang Geologi.

Pemerintah Siapkan Anggaran Buat Beli Alat Canggih Deteksi Bencana

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, menerima kedatangan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati ke kantornya Jakarta. Kedatangan Kepala BMKG tersebut guna membahas rencana perbaikan peralatan mitigasi bencana untuk di laut dan udara.

Luhut mengatakan, beberapa hari terakhir Indonesia memang sempat mengalami cuaca ekstrem. Dengan kondisi tersebut, maka memerlukan peralatan yang lebih canggih untuk mendeteksi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Itu kan kemarin cuaca ekstrem dan kedua ada peralatan mereka (BMKG) juga yang perlu ada perbaikan. untuk udara dan laut masih perlu perbaikan atau masih perlu di-upgrade lebih canggih lagi," kata Luhut saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Senin (11/2/2019).

Terkait dengan anggarannya, Luhut mengaku akan membahas lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan. Dengan begitu, rencana perbaikan sistem mitigasi tersebut dapat segera selesai pada tahun ini.

"Ya ini mau kita (bahas) tadi saya sudah bicara sama Wamenkeu (Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo) bagaimana bisa dibantu. Kita mau dalam setahun ke depan," imbuhnya.

Sementara itu, Staf Khusus Kemenko Maritim Atmaji menambahkan saat ini fokus pengadaan alat penanggulangan bencana berada pada sektor laut dan udara. Sebab, selama ini fokus tersebut hanya berada di darat saja, padahal sektor udara juga menjadi bagian penting.

"Ya prioritas kan laut kan, berupa tsunami dan gempa laut dalam dan udara juga penting Jadi mesti dibicarakan," katanya.

JK: Bencana Hanya Bisa Diprediksi, Tidak Diketahui Kapan Datangnya

JK: Bencana Hanya Bisa Diprediksi, Tidak Diketahui Kapan Datangnya

Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mengemukakan negara mana pun di dunia tidak bisa mengetahui kapan terjadinya bencana. Yang bisa dilakukan hanya prediksi.

“Seahli apa pun itu hanya bisa memprediksi,” kata JK usai membuka Mukernas Palang Merah Indonesia (PMI) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (11/2).

Atas kondisi tersebut, JK menegaskan, yang perlu ditingkatkan adalah mitigasi bencana. Menurutnya, mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Selain itu, dilakukan berbagai kegiatan dengan mempersiapkan masyarakat jika terjadi bencana.

“Yang dibutuhkan kesiapsiagaan dan mitigasi. Artinya kesiapsiagaan masyarakat dan pengetahuan masyarakat bahwa kalau terjadi bencana begini, apa yang harus dilakukan. Kita semua tentu ikut serta dalam mengupayakan mereka siap siaga,” tutur JK.

Dia menjelaskan Indonesia sudah menyadari sebagai negara yang dilalui cincin api. Artinya, potensi bencana untuk negara ini sangat tinggi. Namun tidak ada yang tahu kapan terjadi bencana, kecuali hanya mempredikasi yang bakal terjadi.

“Kita tahu sebagai cincin api, cuma kapannya itu tidak ada yang bisa tahu. Maka mitigasi, mengajar masyarakat, menyiapkan, dan juga melatih mereka (masyarakat) itu sangat penting,” tutup JK.

BNPB Sebut 7 Objek Sarana yang Harus Tahan Bencana Alam

JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) memaparkan ada tujuh objek sarana yang harus ditata lebih kuat dalam mencegah banyaknya korban dan kerusakan akibat bencana alam. Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Lilik Kurniawan menyebutkan, tujuh objek itu adalah rumah, sekolah, rumah sakit/puskesmas, pasar, rumah ibadah, gedung perkantoran, dan objek strategis seperti stasiun, terminal, dan bandara. "Ini tujuh objek sarana yang perlu dibangun dengan tata kelola bangunan yang kuat menghadapi bencana. Soalnya, banyak korban bencana alam yang berasal dari tempat-tempat ini," ujar Lilik saat ditemui di Gedung BMKG, Jakarta, Jumat (8/2/2019). Lilik menyatakan, tujuh objek itu sangat melekat dengan kegiatan dan aktivitas masyarakat setiap harinya. Baca juga: 5 Fakta Bencana Alam di Sulsel, Korban Meninggal 69 Orang hingga Cuaca Buruk Menjadi Kendala Tim SAR “Rumah itu harus tangguh bencana. Kalau di rumahnya itu daerah gempa bumi, berarti harus tahan terhadap gempa bumi,” katanya. Tempat pendidikan atau sekolah, lanjut Lilik, juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, anak-anak, guru, dan pegawai acap menghabiskan waktu minimal 6 jam di sekolah. “Tidak pernah ada jaminan pada saat mereka berada di lingkungan sekolah ketika ada bencana,” ungkapnya kemudian. Dia menuturkan, rumah ibadah juga semestinya menjadi sarana yang tahan akan bencana alam. Ia mencontohkan, banyak korban bencana gempa yang terjadi Lombok, Nusa Tenggara Barat, terjadi ketika mereka sedang sholat. sumber: KOMPAS.com

Palu, Pantai Selatan Jawa, dan Barat Sumatera Rawan Bencana

Palu, Pantai Selatan Jawa, dan Barat Sumatera Rawan Bencana

Jakarta, CNN Indonesia -- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memetakan kawasan rawan bencana geologi. Daerah rawan bencana yang dimaksud meliputi daerah rawan gempa bumi dan gunung berapi di seluruh Indonesia.

Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, Hendra Gunawan mengatakan pihaknya mencatat ada pergeseran daerah rawan bencana.

Jika sebelumnya pada tahun 1990-an hingga 2004 gempa bumi banyak melanda kawasan timur, sejak 2004 hingga kini yang terbanyak justru ke arah barat.

Hasil kajian Badan Geologi untuk wilayah Palu, Sulawesi Tengah tercatat sebagai kawasan gempa dan berpotensi tsunami hingga likuefaksi.

"Beberapa daerah memang kita bisa menghindari. Daerah-daerah rawan tsunami seluruh daerah sudah dipetakan terutama di pantai selatan Jawa dan barat Sumatera memang rawan," imbuh Hendra seperti dilansir Antara.

Sebagian wilayah Jawa Barat juga dikategorikan memiliki risiko tinggi tanah longsor terutama curah hujan tinggi. Ditambah banyak warga yang mendiami area lereng bukit dan pegunungan.


Badan Geologi memonitor 70 dari 127 gunung api aktif berpotensi erupsi dari barat hingga timur Indoneis. Pemetaan kawasan rawan bencana ini dilakukan untuk mengurang jumlah korban dan kerusakan infrastruktur.

"Badan Geologi melakukan hal ini sebagai bagian dari mitigasi bencana geologi seperti gempa bumi, gunung berapi dan tanah longsor," ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan pihaknya bekerja sama dengan BMKG membuat network application berupa peta bencana yang bisa diunduh lewat Google Play Store dan diakses melalui situs https://www.geologi.esdm.go.id/. (Antara/evn)