logo2

ugm-logo

Blog

Masuk Zona Merah Rawan Bencana, Bengkulu Butuh Banyak Alat Deteksi Tsunami

Kapolda Bengkulu Brigjen Coki Manurung didampingi Plt. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah melakukan inspeksi kesiapan pasukan apel siaga bencana, Selasa (23/10/2018)

BENGKULU,- Kapolda Bengkulu Brigjen (Pol) Coki Manurung mengungkapkan Bengkulu masih membutuhkan sejumlah alat pendeteksi tsunami (buoy). "Saat ini ada delapan alat deteksi tsunami milik BMKG kondisinya masih bagus tapi itu masih kurang perlu penambahan," kata Coki Manurung usai memimpin apel siaga bencana di Mapolres Bengkulu, Selasa (23/10/2018).

Kapolda Bengkulu menerangkan letak Bengkulu masuk dalam zona merah daerah rawan bencana, oleh sebab itu perlu dilakukan langkah antisipasi seperti kesiapan peralatan bencana.

"Apel seperti ini perlu dilakukan setiap bulan, agar kita tahu apa yang kurang dan akan melakukan apa disaat terjadi bencana," jelasnya.

Tambah anggaran Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menegaskan, pada 2019 akan ada penambahan anggaran secara signifikan pada bidang penanggulangan bencana daerah.

Termasuk juga, koordinasi lintas sektor terkait kesiapan peralatan antisipasi kebencanaan akan terus dilakukan. "Lintas sektor bersinergi bersama, menentukan langkah antisipasi bencana. Pengadaan alat berat juga akan ditambah pada anggaran tahun depan," ujar Rohidin.

Dia menambahkan, pemerintah juga menganggarkan langkah mengedukasi masyarakat melalui simulasi terkait bencana, agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan sebelum dan setelah bencana terjadi.

"Antisipasi dini secara langsung ke masyarakat juga terus dilakukan, untuk meminimalisir risiko dampak bencana," jelasnya. Sebagai informasi, Apel siaga bencana tersebut diikuti sejumlah instansi vertikal dan sejumlah unsur seperti TNI, Polri, BPBD, Tagana, PLN, dan lainnya

sumber: KOMPAS.com

Gempa Magnitudo 3,3 Goyang Palu, Warga Panik Berhamburan

Potret Kehidupan Pengungsi Korban Gempa dan Tsunami Palu

Jakarta - Gempa dengan magnitudo 3,3 mengejutkan warga Kota Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (24/10/2018). Padahal, warga baru saja mulai kembali ke rumah mereka dari sejumlah lokasi pengungsian.

Gempa bumi yang terjadi pada pukul 09.42 WITA itu sempat mengusik ketenangan warga Kota Palu yang selama beberapa hari terakhir ini mulai bangkit. Meski gempa berkekuatan kecil, namun getarannya terasa cukup keras sehingga membuat warga, termasuk para siswa di sejumlah sekolah terpaksa berhamburan keluar tenda.

Seperti yang terlihat di SD VI Inti Lolu yang terletak di bilangan jalan RA Kartini Palu Timur, siswa dan guru keluar karena masih trauma dengan gempa magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 yang memporak-porandakan bangunan dan perekonomian masyarakat dan menelan korban jiwa ribuan orang.

Dikutip dari Antara, suasana sama juga terlihat di SD II Lolu berdekatan dengan SD VI tersebut. Guru dan siswa juga berhamburan keluar saat gempa.

Bahkan, pihak sekolah langsung menginstruksikan siswa untuk pulang lebih awal ke rumah. Hingga kini siswa-siswa di Palu dan Kabupaten Sigi masih belajar di tenda-tenda bantuan dari pemerintah Indonesia dan juga Unicef salah satu bidang di Perseritakan Bangsa Bangsa (PBB).

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan lokasi pusat gempa berada di Teluk Palu, 11 km arah utara Palu pada koordinat 0,80 LS - 119,86 BT dengan kedalaman 5 km. Ditinjau dari lokasi episentrum dan kedalaman sumber gempa, penyebab lindu diperkirakan akibat aktifitas sesar Palu Koro.

Getaran gempabumi diperkirakan dirasakan pada skala III-IV MMI di Palu, dan daerah disekitarnya yang berdekatan dengan lokasi sumber gempabumi.

Pada skala ini digambarkan getaran dirasakan oleh orang banyak tetapi tidak menimbulkan kerusakan, benda-benda ringan yang digantung bergoyang, jendela kaca bergetar, kata Cahyo Nugroho, Kepala Stasiun Geofisika Klas I Palu.

Berdasarkan informasi masyarakat yang diterima di BMKG, getaran gempabumi dirasakan lemah-sedang (II SIG BMKG / III-IV MMI) di Palu.

Terkait dengan peristiwa gempa bumi tersebut, masyarakat disekitar lokasi sumber gempabumi diimbau tetap tenang mengingat gempa bumi yang terjadi berkekuatan relatif kecil dan tidak berdampak merusak.

sumber: Liputan6.com

BMKG Pasang 20 Sensor Gempa Portabel di Pulau Sulawesi

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20181017/bc-60f0c74917e2d40170320992e61c5385_600x400.jpg

Jakarta - Badan Meteorologi, Klimatologi dam Geofisika (BMKG) memasang 20 sensor gempa atau seismograf portabel di Sulawesi. Pemasangan alat ini tak lain untuk mengamati aktivitas seismik di pulau tersebut.

"Sensor dipasang untuk mendapatkan data akurat terkait aktivitas seismik di Sulawesi," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya di Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (17/10/2018).

Rincian lokasi sensor portabel itu di antaranya, 1 buah di perbatasan Gorontalo dan Sulawesi Utara, 1 buah di perbatasan Gorontalo dan Sulawesi Tengah, 9 buah di Provinsi Sulawesi Tengah, 5 buah di perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, 2 buah di Sulawesi Barat, dan 2 buah di Sulawesi Tenggara.

Tiar menjelaskan, sensor portabel tersebut digunakan untuk mendukung data sensor yang sudah ada sebelumnya, yakni sebanyak 15 unit yang tersebar di seluruh Sulawesi.

Sebagian besar sensor portabel tersebut dipasang di Sulawesi Tengah yang diguncang gempa bumi bermagnitudo 7,4 sehingga menimbulkan tsunami dan likuefaksi pada Jumat 28 September 2018. Sejak peristiwa tersebut hingga Selasa kemarin BMKG mencatat telah terjadi 543 kali gempa bumi susulan di mana 20 gempa bumi berkekuatan di atas 5 M.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kamis, 11 Oktober lalu, jumlah korban meninggal dunia mencapai 2.073 jiwa. Proses pencarian korban meninggal sendiri telah dihentikan pada Jumat, 12 Oktober 2018 sesuai dengan prosedur standar Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Prosedur baku menetapkan, pencarian korban bencana berlangsung selama tujuh hari dengan perpanjangan tiga hari. Pencarian dan pertolongan korban gempa, tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah sendiri memakan waktu 14 hari.

Sementara itu, masa tanggap darurat bencana di Sulawesi Tengah diperpanjang 14 hari terhitung mulai Sabtu, 13 Oktober 2018 hingga Jumat, 26 Oktober 2018.

Liputan6.com

Waspada, Hasil Studi Sebut Kawasan Jateng Rawan Gempa

Jawa Tengah - Hasil penelitian Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (PUSGEN) mengatakan, wilayah Jawa Tengah berada pada jalur sesar atau patahan gempa. Masyarakat perlu mewaspadai potensi gempa meski berskala kecil dan jarang, tapi mampu berujung pada munculnya bencana sampingan.

Seperti diketahui, sesar Baribis-Kendeng memanjang di bagian utara Pulau Jawa, mulai dari Timur Jawa Barat hingga Jawa Timur. Di mana di Jawa Tengah yang berada di jalur ini antara lain adalah Tegal dan Brebes. Serta beberapa kabupaten/kota lain posisinya di atas percabangan dari sesar ini.

Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan, bahwa bencana sampingan atau collateral damagemerupakan istilah digunakan untuk dampak yang ditimbulkan akibat gempa. Dalam hal ini, bisa saja jatuhnya korban lantaran kurangnya pemahaman akan karakteristik lingkungan sekitar. 

"Karena sebenarnya gempa tidak membunuh. Dampak itu muncul karena kita saja yang mungkin kurang peduli dalam mengakomodir lingkungan. Seperti misalnya ketika kita membangun struktur bangunan, apakah sudah aman dari lokasi sesar," ungkap Setyoajie seperti dikutip laman Jawapos.

Selain itu, memahami unsur maupun kaidah bangunan tahan gempa juga disebutkannya mampu mengurangi dampak dari bencana sampingan tadi.

"Misal rumah sudah terlanjur kebangun nih di wilayah rawan, paling tidak bisa diambil antisipasi dengan perabotnya dipatek atau bagaimana saja yang bisa meminimalisir," sambungnya.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa munculnya bencana sampinganberujung jatuhnya korban tidak melulu akibat keberadaan sesar dan gempa itu tadi. Melainkan permasalahan bisa juga dari ketidakpahaman atau ulah manusia itu sendiri.

Pasalnya, ia juga tak menampik jika daerah-daerah yang berada di jalur sesar gempa ini bisa terjadi pergeseran tanah maupun longsor. Tergantung struktur tanahnya saja. Apakah masih bagus, atau sudah rusak sehingga rawan karena campur tangan manusia.

Dalam hal ini, Aji sapaan Setyoajie, menyebut dari BMKG sudah mengambil langkah. Seperti melalui sosialisasi serta edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk stakeholder. Melalui setiap kegiatannya, pihaknya tak lupa menyisipkan imbauan agar tak mengabaikan bencana sampingan ini.

"Misal di Banjarnegara itu kan tanahnya memang bagus untuk menanam sayuran, akar pendek. Tapi akan lebih aman, bisa mencegah longsor dan sebagainya apabila ditanami pinus misalnya. Akarnya jauh ke dalam menahan tanah. Yang perlu ditekankan memang kearifan lokal, jadi ketika mereka tahu tanahnya rawan, ya tidak dibuat pemukiman," terangnya.

Terpenting, menurutnya, adalah upaya mitigasi bencana itu sendiri. Dengan diketahuinya wilayah Jawa Tengah berada di sesar gempa, perlu disadari ada banyak potensi kebencanaan yang harus diwaspadai.

"Masalah utamanya itu di grassroot, apakah info BMKG itu diterima masyarkat atau tidak. Makanya BMKG itu sekarang juga mengembangkan sistem diseminasi informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami berbasis komunitas. Dalam hal ini komunitas radio. Bersama ORARI dan RAPI. Prototype sudah kita pasang di Kebumen," jelasnya.

Harapannya, sistem ini bisa menjadi solusi alternatif kala bencana macam gempa dan tsunami terjadi. Segera dipastikan bahwa informasi kebencanaan tersampaikan kepada seluruh masyarakat agar korban bisa diminimalisir.

sumber: liputan 6

Warga Surabaya Dilatih Siap Hadapi Gempa

SURABAYA - Sikap siap siaga menghadapai bencana alam, termasuk gempa harus  dimiliki oleh semua anggota masyarakat. Hal itu ditegaskan ahli geologi Amien Widodo. Gempa bumi bisa terjadi kapan saja. Tidak perlu panik atau ketakutan. Ada cara untuk mengurangi dampak gempa, yaitu persiapan menghadapinya.

Amien Widodo menyampaikan hal itu saat menyosialisasikan potensi gempa di Surabaya dan kesiapsiagaannya di Rungkut Mapan Barat Senin (15/10). Menurut dia, gempa sebenarnya selalu terjadi. ''Tapi, kita tidak merasakannya. Intensitasnya kecil,'' ujar pakar Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.

Posisi Indonesia, lanjut Amien, memang rawan gempa bumi. Sebab, posisi Indonesia diapit tiga lempeng. Yakni, lempeng Australia (Samudra Hindia), Eurasia, dan Pasifik. ''Seakan ditumpuk tiga buldoser,'' tuturnya.

Surabaya juga berpotensi mengalami gempa. Ada dua sesar aktif di wilayah Surabaya dan Waru. Masyarakat perlu tahu. Sekitar 1867 sejarah mencatat Surabaya pernah mengalami gempa. Gereja Santa Perawan di Jalan Kepanjen menjadi saksi bisu peristiwa tersebut.

Menurut Amien, efek yang timbul dari gempa bersifat domino. Selain menimbulkan likuefaksi (pencairan tanah), gempa itu bisa mengakibatkan bencana alam lainnya. ''Misalnya, longsor dan kebakaran. Yang lebih parah bisa tsunami,'' jelasnya. Hanya, masyarakat bisa meminimalkan efek domino itu.

Untuk kemungkinan tsunami, di Surabaya nyaris tidak ada peluang. Menurut Kepala Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya Mohammad Nurhuda, Surabaya memiliki mangrove yang cukup luas. Sangat berguna untuk memecah gelombang tsunami.

Ada batas minimal kekuatan gempa yang berefek tsunami. Yakni, kurang dari 7 skala Richter. Sementara itu, potensi kekuatan gempa di Surabaya tidak sebesar itu. ''Tapi, kita tetap harus bersiap diri menghadapi segala kemungkinan,'' ucapnya. Nurhuda menegaskan, masyarakat tidak perlu panik dan khawatir. Efek gempa bisa dikurangi. Salah satu caranya melakukan pelatihan tanggap bencana.

Kepala Basarnas Surabaya Prasetya Budiarto juga meminta masyarakat tidak perlu takut menghadapi gempa. ''Kita tingkatkan pelatihan-pelatihan seperti cara menghadapinya,'' katanya. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk melatih kesiapsiagaan menghadapi gempa. Baik sebelum maupun saat terjadinya.

Pertama, memperbaiki konstruksi bangunan menjadi tahan gempa. Menurut Amien, gempa tidak membunuh. Yang perlu diwaspadai adalah bangunan buminya. Mendekatkan lemari pada dinding dan menaruh barang berat, besar, serta pecah belah di bagian bawah lemari penting dilakukan.

Selain itu, jauhkan benda-benda yang membahayakan seperti cermin dari tempat tidur. ''Mengenalkan tempat yang aman di sekitar lingkungan juga penting. Jadi, saat terjadi gempa, tinggal njujug ke tempat itu,'' ungkapnya.

Alat pendeteksi dini gempa di wilayah Surabaya sudah disiapkan. Penyebarannya meliputi 15 titik. ''Sebagai warning jika akan terjadi gempa. Bulan ini sudah siap,'' jelasnya.

sumber: jpnn

Ketua RW 08 Jalan Rungkut Mapan Barat Wahyu P. Kusnanda mengatakan, sosialisasi soal bencana, khususnya gempa, sangat penting untuk warganya. Terutama masyarakat Surabaya. ''Pengetahuan kesiapsiagaan menghadapi gempa perlu ditingkatkan,'' paparnya. (dan/c15/roz)