logo2

ugm-logo

Blog

Jepang akan Buat Sistem Pemetaan Bencana Menggunakan Drone

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Badan Penanggulangan Kebakaran dan Bencana Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang memperkenalkan sistem untuk mengambil gambar lokasi bencana dengan menggunakan drone.

Badan Penanggulangan Kebakaran dan bencana juga akan membuat peta di kantor pusat pemadam kebakaran di seluruh tempat di Jepang untuk mengarah pada kegiatan penyelamatan yang lebih cepat.

"Kami telah mengkonsolidasikan dan memasukkan biaya pemeliharaan dalam permintaan perkiraan kasar untuk anggaran tahun fiskal berikutnya guna pembuatan sistem pemetaan pakai drone," papar sumber Tribunnews.com, Selasa (31/8/2021).

Menurut Badan Penanggulangan Kebakaran dan Bencana Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, sejumlah besar tanah dan pasir mengalir ke bawah sekitar 2 km dalam aliran puing-puing yang terjadi di Kota Atami, Juli lalu.

Akibatnya operasi penyelamatan sulit dilakukan, tetapi gambar yang diambil dari langit dengan drone efektif dalam menangkap situasi.

Untuk alasan ini, jika terjadi bencana skala besar, pemerintah nantinya memutuskan untuk memperkenalkan sistem yang membuat peta di tempat berdasarkan gambar yang diambil oleh drone untuk segera memahami situasi di lokasi dan mengarah ke prompt kegiatan penyelamatan.

Caranya dengan meminta petugas pemadam kebakaran beroperasi sendiri di lokasi bencana dan mengambil banyak foto dan membandingkannya dengan foto sebelum bencana.

Hal ini bertujuan untuk memahami situasi dan tingkat bencana dan untuk mengarah pada kegiatan penyelamatan yang lebih efektif seperti menentukan area yang menjadi prioritas untuk segera dilakukan.

Badan Penanggulangan Kebakaran dan Bencana Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi ingin memasukkan 390 juta yen dalam permintaan anggaran untuk tahun fiskal berikutnya.

Termasuk pesawat tak berawak dan peralatan transmisi video, dan untuk melanjutkan pemeliharaan di 47 prefektur.

Sementara itu beasiswa (ke Jepang) dan upaya belajar bahasa Jepang yang lebih efektif melalui aplikasi zoom terus dilakukan bagi warga Indonesia secara aktif dengan target belajar ke sekolah di Jepang. Info lengkap silakan email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. dengan subject: Belajar bahasa Jepang.

Langkah Mitigasi Bencana Kekeringan, Waspada Dampak Hari Tanpa Hujan

KOMPAS.TV - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis daftar wilayah Indonesia yang disebut akan mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH).

Sejumlah wilayah mengalami Hari Tanpa Hujan dengan kategori sangat panjang (31-60 hari) dan ekstrem panjang (lebih dari 60 hari berturut-turut).

Dengan kondisi tersebut, BMKG memperkirakan adanya potensi kekeringan meteorologis di beberapa kabupaten/kota.

Kekeringan merupakan bencana yang disebabkan oleh minimnya ketersediaan air yang ditandai dengan penurunan curah hujan di suatu kawasan atau di bawah normal, serta berkurangnya pasokan air di suatu daerah.

Kekeringan sangat berdampak pada berkurangnya persediaan air untuk rumah tangga dan pertanian, meningkatnya potensi kebakaran semak, hutan, lahan, serta kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan yang menjadi rentan penyakit.

Menurut BMKG, pemerintah setempat dan masyarakat harus segera mempersiapkan langkah mitigasi dan penanganan dari dampak kekeringan meteorologis ini.

Melansir BPBD DIY, upaya mitigasi bencana kekeringan diawali dengan langkah-langkah pemerintah, seperti:

- Penyusunan peraturan daerah berupa penetapan skala prioritas penggunaan air.
- Pembentukan posko kekeringan di tingkat pusat dan daerah.
- Pengembangan jaringan pengamatan iklim di kawasan rawan kekeringan.

Sebelum terjadi bencana, masyarakat dapat memanfaatkan sumber air yang ada secara efektif dan efisien, menanam kembali pohon, memperbanyak resapan air, serta melakukan konservasi air.

Saat terjadi bencana, yang dapat dilakukan adalah membuat sumur bor untuk mendapatkan air,  menyediakan air bersih dengan mobil tangki yang sudah di sediakan oleh dinas terkait,  melakukan penyemaian hujan buatan di daerah tangkapan hujan, serta mengatur pemberian air bagi pertanian secara darurat seperti gilir giring.

Sri Mulyani Buat Skema Dana Cadangan Bencana, Intip Aturannya

JAKARTA - Pemerintah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) , melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana pada 13 Agustus 2021.

Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan PFB merupakan upaya Pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam.

“PFB ini merupakan milestone penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana khususnya pendanaan mitigasi bencana dan transfer risiko. PFB ini khas Indonesia dengan model gotong royong pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta. Tidak banyak negara yang memiliki institusi PFB dan melakukan ini dengan baik,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu di Jakarta, Selasa (24/8/2021).

Analisis Bank Dunia (2018) menempatkan Indonesia di peringkat ke-12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsong, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kekeringan, dan likuifaksi. Bahkan saat ini Indonesia menghadapi bencana non-alam akibat pandemi COVID-19.

Untuk itu, kebutuhan pendanaan sangat penting dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan dari bencana. Dari hasil kajian Kementerian Keuangan (2020), rata-rata nilai kerusakan langsung yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp20 triliun per tahun. Namun, dana cadangan bencana di dalam APBN untuk mendanai tanggap darurat dan hibah rehabilitasi dan rekonstruksi kepada pemerintah daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut, yaitu Rp5-10 triliun per tahun sejak 2004.

“PFB hadir untuk menutup celah pendanaan atau financing gap tersebut dan mempercepat proses penanganan bencana. Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp7,3 triliun,” jelas Febrio.


PFB dikelola secara otonom oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) di Kemenkeu. Dengan menggunakan prinsip kerja BLU, PFB tidak hanya memobilisasi dana, tetapi juga melakukan investasi dan akumulasi atas dana yang dihimpun.

Sebagai bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana, PFB memungkinkan pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat. Adanya PFB diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan melindungi masyarakat yang paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan.

“Dalam 2-3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi seluruh gedung/bangunan milik Kementerian/Lembaga dan bergotong-royong untuk co-financing dengan pemerintah daerah untuk pengasuransian aset daerah. Sehingga, nilai kerusakan akibat bencana alam yang ditanggung pemerintah dapat ditekan,” pungkas Febrio

Skema pooling fund bencana akan dikelola secara otonom oleh badan layanan umum

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021) pada 13 Agustus 2021 lalu, dengan dana kelolaan awal sebesar kurang lebih dari Rp 7,3 triliun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, PFB tersebut akan dikelola secara otonom oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan yang juga merupakan milestones tersendiri.“Bentuk BLU ini adalah ciri khas Indonesia dengan model quasi government dan berbeda dengan pengelolaan PFB negara lain’, ujar Febrio dalam laporannya, Senin (23/8).

Dengan menggunakan prinsip kerja BLU yang berasaskan praktik bisnis sehat dan memiliki rencana bisnis anggaran yang standar pelayanan minimal, PFB tidak hanya bisa memobilisasi dana dari berbagai sumber seperti alokasi APBN, hibah Pemerintah Daerah, mitra pembangunan, swasta dan masyarakat, trust fund, dan filantrofi, tetapi juga melakukan investasi dan akumulasi atas dana yang dihimpun tersebut untuk meningkatkan kesiapan pemerintah.

Febrio menjelaskan, dengan karakteristik bisnis tanpa mengutamakan keuntungan, PFB juga diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan membangun kembali dengan lebih baik dengan fokus melindungi masyarakat paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan. BLU pengelola PFB diantaranya dapat memberikan fasilitas pendanaan bergulir yang sangat murah untuk UMKM terdampak bencana, selain memberikan bantuan tunai.

Selain itu, PFB juga dapat meningkatkan kapasitas pendanaan untuk kegiatan transfer risiko dalam rangka mengurangi kerugian yang ditanggung pemerintah dan masyarakat akibat bencana, yang semula didanai oleh APBN dan APBD saja.

Hal ini terkait dengan peran PFB yang memfasilitasi pembelian premi asuransi perlindungan aset pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, dengan memanfaatkan hasil pengelolaan dana (investment proceeds).

“Dalam 2-3 tahun ke depan, PFB akan mendanai pembelian premi asuransi seluruh gedung/bangunan milik Kementerian/Lembaga dan bergotong royong untuk co-financing dengan Pemerintah Daerah untuk pengasuransian aset daerah. Sehingga, nilai kerusakan akibat bencana alam yang ditanggung pemerintah dapat ditekan”, tambah Febrio.

Lebih lanjut, Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat akan bersinergi dalam operasionalisasi PFB, mulai dari pengusulan pendanaan sampai dengan penyaluran dana PFB agar lebih tepat waktu dan sasaran. 

PFB tersebut, dijelaskan Febrio akan dikelola secara kredibel untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat Indonesia dan internasional.

“Dengan meningkatnya kepercayaan ini, PFB tidak hanya akan menjadi kantong kedua Menteri Keuangan dalam pendanaan bencana, melainkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana ke depannya. BKF akan terus mengawal guna memastikan terwujudnya hal tersebut,” pungkasnya

Pemerintah luncurkan skema dana bersama bencana dengan modal awal Rp 7,3 triliun

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah meluncurkan pendanaan inovatif berupa dana bersama atau Pooling Fund Bencana (PFB) melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana (Perpres 75/2021) pada 13 Agustus 2021 lalu, dengan dana kelolaan awal sebesar kurang lebih dari Rp 7,3 triliun.

Dari dana tersebut, PFB akan menambah kapasitas pendanaan bencana pemerintah dari semula hanya terdiri dari dua sumber utama yaitu APBN dan APBD. Dana kelolaan ini juga diharapkan akan terus berkembang dari tahun ke tahun, melalui kegiatan pengumpulan maupun pengembangan dana.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengatakan, PFB merupakan bagian dari Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI).

“Strategi DRFI ini memungkinkan Pemerintah untuk mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga, melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat,” kata Febrio dalam laporannya, Senin (23/8).

PFB juga merupakan instrumen pendanaan utama pada Strategi DRFI yang merupakan skema pengumpulan dana dari berbagai sumber, yakni dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan mitra pembangunan, untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi pendanaan penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam.

Febrio mengatakan, adanya PFB juga sebagai upaya pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam secara efektif, guna selangkah lebih dekat menuju masyarakat tangguh menghadapi bencana (disaster preparedness).

Selain itu, PFB juga sangat penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana khususnya pendanaan mitigasi bencana dan transfer risiko.

Dengan begitu PFB bisa menjadi instrumen pendanaan utama pada Strategi DRFI yang merupakan skema pengumpulan dana dari berbagai sumber, yakni dari Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, swasta, masyarakat dan mitra pembangunan, untuk diakumulasikan dan dikembangkan bagi pendanaan penanggulangan bencana, baik alam maupun non-alam.