logo2

ugm-logo

Blog

Melalui Inovasi, Indonesia Bisa Jadi Negara Tangguh Bencana

Jakarta, Gatra.com - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menilai saat ini Indonesia membutuhkan kebijakan dan strategi inovasi teknologi yang mampu mewujudkan Indonesia sebagai negara yang tangguh, dan tanggap akan bencana, baik bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. 

Melalui kebijakan inovasi teknologi, Hammam yakin bahwa kerentanan dan potensi resiko bencana di tanah air akan makin terkurangi. Oleh karenanya, upaya peningkatan kapasitas melalui program penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) teknologi pada bidang kebencanaan adalah sesuatu yang harus terus dilakukan.

“Salah satu solusinya adalah dengan menggiatkan ekosistem inovasi di bidang ini bersama dengan stakeholders lainnya. Upaya tersebut yang akan diimplementasikan pada Kebijakan dan Strategi Riset, dan Inovasi Teknologi Kebencanaan,” kata Hammam dalam sambutannya dalam Webinar Kebijakan dan Strategi Inovasi Teknologi Kebencanaan secara virtual, Kamis (19/8).

Hammam juga menyebut, peningkatan frekuensi bencana di Indonesia nyatanya mempunya dampak besar terhadap kerugian berupa perlambatan ekonomi. Hal ini tentunya akan menggangu langkah pemerintah di masa pandemi covid-19 yang belakangan memiliki program besar untuk melakukan pemulihan ekonomi di semua sektor.

Awan panas guguran Gunung Merapi meluncur sejauh dua kilometer

Yogyakarta (ANTARA) - Gunung Merapi di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta meluncurkan awan panas guguran sejauh dua kilometer ke arah barat daya pada Jumat pukul 07.20 WIB.

"Awan panas guguran tercatat di seismogram dengan amplitudo 64 mm dan durasi 158 detik," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida dalam keterangan pers BPPTKG yang diterima di Yogyakarta, Jumat.

Pada periode pengamatan pukul 00.00 sampai 06.00 WIB, Gunung Merapi tercatat 39 kali meluncurkan ​​​​​​
guguran lava pijar dengan jarak luncur maksimum dua kilometer ke arah barat daya.

Gunung api aktif itu juga mengalami 75 kali gempa guguran dengan amplitudo 3-40 mm selama 16-149 detik, dua kali gempa hembusan dengan amplitudo 8 mm selama 24-29 detik, serta 21 kali gempa tektonik jauh dengan amplitudo 4 mm selama 43 detik.

Menurut BPPTKG, status aktivitas Gunung Merapi masih berada pada Level III atau siaga.

Guguran lava dan awan panas Gunung Merapi diperkirakan bisa berdampak ke wilayah sektor selatan-barat daya yang meliputi Sungai Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng, dan Putih.

Saat terjadi letusan, lontaran material vulkanik dari Gunung Merapi diperkirakan dapat menjangkau daerah dalam radius tiga kilometer dari puncak gunung.

Perubahan Iklim dan Kaitannya dengan Perubahan Muka Laut dalam Perspektif Masa Lampau

Pemanasan global selain berdampak pada perubahan iklim juga berdampak pada perubahan muka laut.

Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, angin, frekuensi badai tropis, fenomena iklim dan lain lain.

Indonesia merupakan benua maritim yang memiliki laut (65 %) lebih luas daripada daratan dengan garis pantai yang terpanjang kedua di dunia, yaitu 108.000 km.

Hampir sebagian besar kota besar di Indonesia merupakan kota pesisir Medan, Padang, Surabaya, Makasar, Semarang bahkan ibukota Jakarta. Jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi sebagian besar dijumpai di wilayah pesisir.

Wilayah pesisir ini merupakan wilayah yang rentan terhadap kenaikan muka air laut. Kenaikan muka laut merupakan potensi ancaman bencana bagi wilayah pesisir dan tentu akan memiliki konsekuensi ekonomi.

Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.

Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dengan penduduk yang sebagian besar tinggal di wilayah pesisir, sudah seharusnya menyadari akan ancaman bencana dari kenaikan muka air laut.

Pengetahuan dan pemahaman tentang perubahan permukaan laut menjadi sangat perlu untuk mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi.

Perubahan permukaan laut disebabkan karena faktor alamiah seperti tektonik, pemuaian air laut karena kenaikan suhu permukaan laut, karena badai tropis dan mencairnya es, selain juga faktor antropogenik seperti eksploitasi air tanah yang berlebihan.

Memahami perubahan permukaan laut memerlukan pemahaman historis perubahan permukaan laut. Data instrumental terlalu pendek untuk sepenuhnya memahami hal tersebut dan menangkap terjadinya peristiwa langka, tetapi paling merusak.

Hal ini dapat diatasi melalui studi iklim dan oseanografi masa lampau (paleoseanografi dan paleoklimatologi) yang mampu menghasilkan data oseanografi maupun klimatologi dari kisaran waktu masa kini sampai masa lampau sampai jutaan tahun lalu.

Sehingga, dapat sepenuhnya dipahami kaitan antara perubahan iklim, mencairnya es dan perubahan muka air laut.

Sedimen laut merupakan salah satu arsip alam mampu merekam perubahan iklim dan permukaan laut dalam kisaran waktu dari ribuan hingga jutaan tahun dengan resolusi puluhan hingga ratusan ribu tahun.

Objek penelitian dalam sedimen laut adalah foraminifera, organisme bersel satu (protista) dengan komposisi cangkang kalsit (CaCO3) berukuran 100 μm hingga 20 cm.

Kandungan foraminifera plankton mampu memberikan informasi suhu dan salinitas sedangkan batimetri masa lampau dapat diperoleh dari hasil interpretasi berdasarkan data foraminifera bentos, yang selanjutnya digunakan untuk interpretasi perubahan muka air laut.

Foraminifera bentos yang dijumpai dalam sedimen laut sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan ataupun ekologi termasuk perubahan muka laut.

Kelimpahan spesies foraminifera bentos tertentu dapat menunjukkan kisaran kedalaman air laut tertentu, dengan tambahan analisis isotop oksigen foraminifera bentos tersebut yang kemudian dikoreksi dengan perubahan volume air laut global dan perubahan suhu air laut dalam didapatkan nilai perubahan muka laut relatif di suatu daerah penelitian.

Berdasarkan rekaman sedimen laut dari wilayah paparan Sunda menunjukkan pada kondisi lampau, yaitu pada pada periode glasial terakhir maksimum atau dikenal dengan last glacial maximum (LGM) (yaitu periode 21.000-18.000 tahun yang lalu), wilayah bagian barat Indonesia pernah merupakan daratan yang luas atau lebih dikenal sebagai Sunda daratan (Sundaland).

Pada periode glasial terakhir maksimum ini, perubahan muka laut global berkurang hingga ± 120 m dibandingkan tinggi muka laut sekarang.

Pada periode 18.000 hingga 10.000 tahun lalu atau deglasiasi terakhir, tinggi muka laut global naik akibat pencairan es di kutub karena dampak pemanasan global dengan kondisi Sunda daratan mulai tenggelam secara bertahap yang kemudian dikenal paparan Sunda (Sunda Shelf).

Pada Holosen (10.000 hingga 0 tahun yang lalu, 0 tahun lalu merupakan awal masa pra-industri tahun 1950) sebagian Sunda daratan ada dibawah muka laut seperti sekarang.

Pada saat ini (1.500 tahun lalu), kondisi sebagian paparan Sunda yang sebelumnya laut kembali menjadi daratan seperti contohnya di Belitung.

Perbandingan wilayah Indonesia sekarang (present) dan pada periode Last Glacial Maximum (LGM).
agupubs Perbandingan wilayah Indonesia sekarang (present) dan pada periode Last Glacial Maximum (LGM).

Rekaman iklim dari sedimen laut di Selat Makassar menunjukkan Sunda daratan pada saat LGM merubah pola salinitas permukaan laut di wilayah Indonesia.

Perubahan salinitas air laut terjadi akibat adanya peningkatan curah hujan menyebabkan aliran air tawar dari sungai-sungai di paparan Sunda mengalir secara langsung ke lautan, berdasarkan rekaman ini dapat dipahami mengenai perubahan stratifikasi dan sirkulasi Arlindo pada saat belum ada pengaruh aliran air tawar dari Laut Cina Selatan (LCS).

Pada kondisi masa sekarang Sunda daratan sebagian sudah tenggelam akibat kenaikan muka laut global dan terbentuknya koneksi laut cina selatan dengan laut jawa, sehingga input air tawar dari LCS juga mempengaruhi salinitas air laut di wilayah Indonesia.

Rekaman sedimen laut dari Laut Timor dan Selat Makassar menunjukkan pada 9.500 tahun yang lalu, pengaruh aliran air tawar dari Laut Cina Selatan masuk ke wilayah perairan Indonesia melalui Laut Jawa ketika sebagian paparan Sunda sudah tergenang.

Berdasarkan data ini maka akan dipahami dinamika Arlindo dimana ketika paparan sunda membentuk daratan yang luas dan dimana ketika paparan sunda tenggelam yang akhirnya aliran air tawar dari laut cina selatan mempengaruhi variabilitas salinitas di perairan Indonesia.

Hasil rekaman stalagmit menunjukkan bahwa pada periode LGM perubahan muka laut memberikan suplai uap air yang lebih banyak naik ke atmosfer dan menyebabkan hujan lebih tinggi ketika muka air laut global naik berdasarkan studi stalagmit di Flores.

Namun, studi terkait perubahan iklim yang dihubungkan dengan perubahan muka laut pada LGM memberikan hasil yang berbeda antara arsip terrestrial (sedimen danau dan stalagmit) dan arsip sedimen laut.

Arsip sedimen danau dan stalagmit di Flores, Sulawesi, dan Kalimantan menunjukkan kondisi kering di wilayah Indonesia.

Hasil tersebut dianggap mirip dengan model iklim pada LGM yang mana paparan Sunda yang luas menyebabkan berkurangnya awan konveksi pembentuk hujan di wilayah paparan Sunda akibat dari melemahnya sirkulasi Walker.

Namun, hasil dari sedimen laut di Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Flores, dan bagian barat Sumatra menunjukkan bahwa pada periode LGM curah hujan tinggi di wilayah paparan Sunda karena menguatnya sirkulasi Walker.

Terdapatnya perbedaan hasil dari rekaman arsip alam yang berasal dari darat (stalagmit, sedimen danau) dan laut (sedimen laut) di wilayah Indonesia menunjukkan, masih diperlukan penelitian dan pengkajian lebih banyak dan mendalam mengenai paleoseanografi dan paleoklimatologi di wilayah Indonesia pada periode LGM, sehingga sejarah perubahan iklim terkait perubahan muka laut dapat semakin dipahami.

Marfasran Hendrizan

Peneliti muda Kelompok Penelitian Iklim dan Lingkungan Purba Geoteknologi LIPI, kandidat doktor sains Kebumian ITB

5 Skenario PBB Baik-Buruk Dampak Perubahan Iklim hingga 2100

Jakarta, CNN Indonesia --  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis lima skenario kemungkinan di masa depan terkait dengan perubahan iklim.

Skenario ini merupakan hasil dari perhitungan kompleks yang bergantung pada seberapa cepat manusia mengekang emisi gas rumah kaca. Tapi perhitungan juga dimaksudkan untuk perubahan sosial ekonomi di berbagai bidang seperti populasi, kepadatan kota, pendidikan, penggunaan lahan, dan kekayaan.

Misalnya, peningkatan populasi diasumsikan menyebabkan permintaan yang lebih tinggi untuk bahan bakar fosil dan air. Kemudian pendidikan dapat mempengaruhi laju perkembangan teknologi. Sementara emisi meningkat ketika lahan dikonversi dari hutan menjadi lahan pertanian.

Setiap skenario diberi label untuk mengidentifikasi tingkat emisi dan apa yang disebut Jalur Sosial Ekonomi Bersama, atau Shared Socioeconomic Pathway (SSP) yang digunakan dalam perhitungan ini. Berikut lima model masa depan menurut PBB:

SSP1-1.9

Skenario paling optimis menurut PBB ini menggambarkan dunia di mana emisi CO2 global dikurangi menjadi nol sekitar tahun 2050. Kemudian masyarakat beralih dari pertumbuhan ekonomi ke kesejahteraan secara keseluruhan.

Kemudian investasi pada bidang pendidikan dan kesehatan meningkat. Ketimpangan terhapus, sementara cuaca ekstrem lebih sering terjadi, tapi dunia telah menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim.

Skenario pertama ini satu-satunya yang memenuhi tujuan Perjanjian Paris atau Paris Agreements untuk menjaga pemanasan global sekitar 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri.

SSP1-2.6

Dalam skenario terbaik berikutnya, emisi CO2 global sangat berkurang, tapi tidak secepat mencapai nol setelah 2050.

PBB membayangkan pergeseran sosial ekonomi yang sama menuju keberlanjutan seperti SSP1-1.9. Tetapi suhu stabil sekitar 1,8 Celcius lebih tinggi pada akhir abad ini atau tahun 2100.

SSP2-4.5

Ini merupakan skenario "jalan tengah". Emisi CO2 tetap turun pada tahun 2050, namun tidak mencapai nol bersih pada tahun 2100.

Kemajuan disebut melambat, pembangunan dan pendapatan juga tumbuh tidak merata. Dalam skenario ini, suhu naik 2,7 Celcius pada akhir 2100.

SSP3-7.0

Di skenario ini, emisi dan suhu meningkat dengan dan emisi CO2 kira-kira dua kali lipat pada 2100.

Negara-negara menjadi lebih kompetitif satu sama lain, bergeser ke arah keamanan nasional dan memastikan pasokan makanan mereka sendiri. Pada akhir tahun 2100, suhu rata-rata telah meningkat sebesar 3,6 Celcius.

SSP5-8.5

Ini adalah masa depan yang harus dihindari. Tingkat emisi CO2 pada skenario ini kira-kira dua kali lipat meningkat di tahun 2050.
Ekonomi global tumbuh dengan cepat, tetapi pertumbuhan ini didorong oleh eksploitasi bahan bakar fosil dan gaya hidup yang intensif.
Pada tahun 2100, suhu rata-rata global mencapai 4,4 Celcius lebih tinggi.

Apa yang Haurs Dipelajari?

Laporan iklim tidak dapat memberi tahu kita skenario mana yang paling mungkin karena semua tentu akan ditentukan oleh berbagai faktor termasuk kebijakan pemerintah. Tapi itu menunjukkan bagaimana pilihan semua negara atau individu pada hari ini yang akan mempengaruhi masa depan.

Dalam setiap skenario, pemanasan akan berlanjut setidaknya selama beberapa dekade. Permukaan laut akan terus naik selama ratusan atau ribuan tahun, dan Arktik akan praktis bebas dari es laut setidaknya dalam satu musim panas 30 tahun ke depan.

Tetapi seberapa cepat laut akan naik dan seberapa berbahayanya cuaca masih tergantung pada jalan mana yang dipilih dunia.

Dunia Bersiap soal Ancaman yang Lebih Ngeri dari Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda, dunia harus dihadapkan pada sebuah ancaman baru. Ancaman itu yakni soal perubahan iklim.

Ancaman bencana baru ini mulai digaungkan lagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan internasional itu mengatakan ini adalah "kode merah untuk kemanusiaan".

Tak hanya PBB, beberapa ilmuwan dan pemimpin dunia juga memberikan alarm yang sama. Mereka menyebut bahwa situasi global saat ini sudah memprihatinkan dan harus mendapatkan penanganan segera.

Ini setidaknya tertuang dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Disebutkan bahwa suhu dunia mungkin memanas hingga 1,5°C pada awal 2030-an.

Kenaikan ini disebut sangat mengancam negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik.Dengan meningkatnya suhu di atas 1,5°C, masyarakat Pasifik kemungkinan besar akan mengalami dampak perubahan iklim yang semakin menghancurkan.

Salah seorang profesor penelitian itu, Mark Howden yang juga Wakil Ketua Panel IPCC menyebut bahwa fenomena perubahan iklim ini akan memancing beberapa bencana berat yang akan dialami negara seperti Vanuatu dan Fiji. Mereka saat ini disebut mengalami ancaman dibanjiri air laut dan badai besar.

"Meskipun Pasifik diproyeksikan secara umum menghadapi lebih sedikit topan di bawah pemanasan di masa depan, mereka cenderung menjadi lebih intens," katanya.

"Ini, ditambah dengan kenaikan permukaan laut, akan memperburuk peristiwa gelombang badai mematikan di negara-negara seperti Fiji dan Vanuatu."

Tak hanya itu, kenaikan suhu dunia yang menaikkan ketinggian air laut juga disebut akan mengancam cadangan air bersih negara-negara seperti Mikronesia. Misalnya, penurunan 20% dalam ketersediaan air tanah diproyeksikan pada tahun 2050 di pulau atol karang Negara Federasi Mikronesia (FSM).

"Di bawah skenario kenaikan permukaan laut yang tinggi, ketersediaan air tanah segar di FSM dapat menurun lebih dari setengahnya karena intrusi air laut dan peristiwa kekeringan," tambanya.

Ancaman perubahan iklim juga dialamatkan ke Indonesia. Hal ini diingatkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa pekan lalu.

Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, presiden negara adidaya itu menyebut bahwa Jakarta terancam tenggelam dikarenakan perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia.

"Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahaniklim," tegasnya dalam pidato itu sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov akhir bulan lalu

"...Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?"

Lalu apakah dunia sudah siap dengan ini?

Pekan lalu, China, yang selama ini dianggap jadi biang kerok kemunculan pandemi Covid-19 dan juga penghasil emisi karbon terbesar, justru mulai makin waspada soal masalah perubahan iklim.

Negeri Tirai Bambu ini akan merilis rencana terbaru untuk mengurangi emisi karbon. Langkah ini sebagai upaya konkret dari negara ini dalam menekan masalah perubahan iklim.

Utusan China mengatakan akan merilis rencana terbaru pengurangan emisi karbon itu dalam waktu dekat, menjelang acara global United Nations (UN) Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 mendatang.

"Dalam waktu dekat makalah kebijakan yang relevan akan ada di luar sana, akan ada rencana implementasi terperinci," kata Xie Zhenhua dalam webinar online yang diselenggarakan oleh Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, dikutip AFP.

"Kemudian kita akan berbicara tentang dukungan itu untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow," tambahnya.

Pertemuan COP26 merupakan langkah penting untuk membuat negara-negara di dunia menyetujui jenis pengurangan emisi karbon guna mencegah bencana perubahan iklim.

Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara dimaksudkan untuk menyerahkan target iklim 2030 yang diperbarui sebelum COP26. Tetapi hampir setengahnya belum melakukannya, termasuk penghasil emisi global utama seperti China dan India.

PBB mendorong koalisi global yang berkomitmen untuk nol emisi karbon bersih pada tahun 2050 yang akan mencakup semua negara. China telah mengatakan akan bertujuan untuk netralitas karbon pada tahun 2060.

Perjanjian Paris 2015 mengadopsi janji kolektif untuk membatasi kenaikan suhu permukaan planet pada "jauh di bawah" dua derajat celcius dan batas aspirasi pada 1,5 derajat.

Sebelumnya China enggan berkomitmen Perjanjian Paris. Negeri Tirai Bambu berpendapat negara-negara industri, terutama di Barat, bisa menjadi kaya sebelum kontrol pengurangan karbon disahkan.