logo2

ugm-logo

Blog

Kabupaten Kudus Tambah Dua Desa Tangguh Bencana

REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS--Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, segera menambah dua desa tangguh bencana. Sebelumnya, hanya ada tiga desa yang dinobatkan sebagai desa tangguh bencana. Desa tangguh bencana ini sebagai antisipasi dini penanggulangan bencana serta meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana.

"Tiga desa yang sebelumnya ditetapkan sebagai desa tangguh bencana, yakni Rahtawu, Menawan dan Desa Japan. Sedangkan desa baru yang dipersiapkan menjadi desa tangguh bencana, yakni Kesambi (Kecamatan Mejobo) dan Wonosoco (Kecamatan Undaan)," kata Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kudus Budi Waluyo di Kudus, Senin (4/10).

Ia mengungkapkan dari dua desa yang dipersiapkan menjadi desa tangguh bencana (Destana), hingga kini sudah mulai dipersiapkan. Termasuk melakukan survei lapangan serta mempersiapkan sumber daya manusia (SDM)-nya. Targetnya, bulan Oktober 2021 sudah ditetapkan sebagaidesa tangguh bencana karena penganggarannya untuk Desa Kesambi dari APBD Kudus dan Desa Wonosoco dari APBD Provinsi Jateng.

"Kami juga menargetkan setiap tahun ada tambahan satu desa tangguh bencana, sehingga nantinya semua desa di Kudus memiliki kemampuan mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir SDM untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana alam," ujarnya.

Dengan menjadi desa tangguh bencana, setidaknya penanggulangan bencana di desa-desa rawan dapat dilakukan dengan cepat serta warganya juga mudah beradaptasi dalam menghadapi bencana. "Kalaupun terjadi bencana yang merusak, tentunya mereka bisa pulih lebih cepat untuk bangkit," ujarnya.

BPBD Kabupaten Kudus sendiri menargetkan semua desa setempat menjadi desa tangguh bencana. Sehingga, nantinya desa yang minim permasalahan bencana alam bisa membantu mengirimkan personel yang sudah dilatih soal kebencanaan untuk membantu penanganan bencana di desa lain yang dilanda bencana. Hal itu, imbuh dia, mempertimbangkan keterbatasan anggaran daerah, sehingga perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah desa untuk bantu membantu dalam penanganan bencana alam.

sumber : Antara

Damkar Makassar Kirim Tim Rescue Bantu Korban Bencana di Luwu

MAKASSAR - Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Makassar, mengirim Tim Recue ke Kabupaten Luwu. Mereka akan membantu proses evakuasi korban banjir dan tanah longsor.

Bencana alam tersebut terjadi pada Minggu (3/10/2021). Banjir dan tanah longsor membuat permukiman warga terubrak-abrik. Ketinggian air mencapai kurang lebih satu meter.

Duka dalam peristiwa ini pun ikut dirasakan Pemkot Makassar. Makanya, Tim Rescue dikirim ke lokasi bencana untuk ikut melakukan evakuasi korban. Ada satu regu.

Plt Kepala Dinas Damkar Kota Makassar, Hasanuddin menyampaikan, satu regu yang dikirim tersebut terdiri dari 10 personel. Mereka merupakan regu khusus untuk melakukan evakuasi korban bencana.

Hasanuddin menyebut, pengiriman satu regu Tim Rescue ini menjadi panggilan kemanusiaan. Sebab dalam kondisi bencana, biasanya butuh tenaga ekstra. Terutama dalam proses evakuasi korban bencana.

“Panggilan kemanusiaan hari ini melihat duka yang sedang menimpa saudara kita di Luwu. Satu regu tanpa batas waktu kami lepas hari ini,” ujarnya usai pelepasan di kediaman pribadi Wali Kota Makassar, Senin (4/10/2021).

Personel yang dikirim tersebut merupakan tahap pertama. Jika dianggap masih butuh tenaga ekstra, maka Dinas Damkar Kota Makassar akan kembali menambah personel.

“Kami siap selama itu demi kemanusiaan. Jika masih dibutuhkan akan kami kirim regu lainnya untuk ikut bergabung di sana,” imbuh Hasanuddin.



(agn)

Petani dan nelayan tak bisa menghadapi pemanasan global sendirian, harus berkelompok

Petani skala kecil dan nelayan merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. Pasalnya, petani kecil kerap bercocok tanam di kawasan yang rentan, misalnya karena curah hujan yang rendah atau kualitas tanah yang menurun.

Nelayan pun bernasib hampir sama seiring dengan menurunnya keragaman biota laut akibat pemanasan global.

Kendati demikian, dua kelompok ini sebenarnya memiliki sistem kerja dan berbagai metode yang meningkatkan peluang adaptasi di tengah iklim yang berubah. Peluang tersebut dapat semakin tinggi jika mereka giat bekerja sama dan mengorganisasi diri untuk menyusun strategi menghadapi pemanasan global.

Dampak bervariasi bagi nelayan dan petani

Di Amerika bagian tengah dan Madagaskar, pemanasan global mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem yang menurunkan produktivitas pertanian. Kondisi akhirnya mengganggu ketahanan pangan bagi petani kecil.

Dapatkan rangkuman berita lingkungan hidup sepekan terakhir.

Sementara, sejumlah studi) juga menaksir perubahan cuaca dan temperatur akan terjadi di Indonesia setiap beberapa tahun pada 2010, 2030, dan 2050. Cuaca yang berubah-ubah akan mempengaruhi produksi beras secara drastis di pulau Jawa dan Bali.

Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara, lembaga nirlaba di sektor pertanian, Wahana Tani Mandiri/WTM, melaporkan kekeringan yang berkepanjangan, penurunan kesuburan tanah, dan serangan penyakit tanaman yang memperburuk kualitas panen.

Akibat kejadian-kejadian tersebut, petani kerap menunda aktivitas penananaman sehingga pendapatan mereka jauh berkurang.

Sementara, dalam wawancara yang dilakukan lembaga riset Yayasan Inobu, nelayan di Fakfak menyatakan harus menempuh pelayaran lebih jauh guna mempertahankan jumlah hasil tangkapan mereka.

Strategi khusus kian dibutuhkan

Di tengah kondisi yang semakin menantang, nelayan maupun petani sudah memiliki beragam strategi. Berikut ini adalah ragamnya.

1. Reorganisasi pekerja

Reorganisasi pekerja terjadi ketika petani melibatkan anggota keluarganya untuk bercocok tanam. Metode ini sudah jamak diterapkan petani kecil di banyak negara dalam pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak orang. Misalnya pekerjaan perawatan tanah dan air maupun diversifikasi tanaman.

Petani di Etiopia merawat tanah dan air dilakukan melalui rotasi penanaman jagung dengan kacang-kacangan. Petani setempat pun terbiasa membiarkan sisa-sisa panen di ladang mereka untuk menjaga kemampuan tanah menyerap air/.

Nah, penerapan pekerjaan semacam ini biasanya ditentukan oleh faktor jumlah laki-laki dalam suatu keluarga. Sebab, aktivitas rotasi tanaman maupun perawatan tanah dan air lebih membutuhkan banyak pekerja.

2. Alternatif sumber pendapatan

Petani yang memiliki sumber pendapatan alternatif di luar pemasukan hasil panen mereka akan beradaptasi lebih baik terhadap perubahan iklim.

Di Ghana, beragam sumber pendapatan yang dimiliki petani mampu mengurangi risiko keuangan dari gangguan panen akibat kekeringan, banjir, hujan ekstrem, maupun badai. Pendapatan dari sumber non-pertanian juga dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak jenis tanaman yang dikembangkan, ataupun pembelian pupuk agar produktivitas ladangnya meningkat.

Selain diversifikasi sumber pendapatan, upaya mengkombinasikan berbagai jenis tanaman juga menjadi strategi adaptasi yang efektif.

Di Nusa Tenggara Timur, para petani coklat–dalam wawancara kepada Wahana Tani Indonesia–menyatakan turut menanam vanili, pala, dan salak untuk menambah variasi hasil pertanian mereka.

Tak seperti coklat, vanili dan salak dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap cuaca panas dan kering. Sisa hasil panen [salak] pun (http://edepot.wur.nl/192242) dapat bermanfaat untuk pupuk organik.

Sedangkan tanaman pala yang dapat tumbuh tinggi mampu melindungi pohon coklat dari sinar matahari yang menyengat. Pada akhirnya, kombinasi keempat tanaman ini dapat mengisi pundi-pundi keuangan petani.

3. Kearifan lokal

Para nelayan telah menggunakan kearifan lokal untuk melestarikan ikan-ikan laut. Di Papua, para nelayan diajarkan secara turun-temurun untuk memberi jeda dalam menjala ikan agar laut dapat “beristirahat.” Praktik pemulihan sumber daya perikanan (stock recovery) ini dikenal sebagai Sasi Laut.

Tak hanya bagi aktivitas perikanan, Sasi Laut juga diterapkan ke pengelolaan pariwisata.

Guna menghadapi perubahan iklim, sektor perikanan tradisional juga dapat menerapkan upaya peningkatan stok(stock enhancement). Langkah lainnya adalah penambahan (restocking) dan pengembangan stok, hingga pelepasan ikan kembali ke laut–yang dikenal sebagai restorative aquaculture.

Relasi antar-nelayan menjadi vital

Perubahan iklim bukan hanya persoalan yang melanda petani secara individu, tapi juga komunitasnya. Karena itu, kelompok-kelompok tani harus menyusun strategi untuk menghadapinya bersama-sama.

Hal yang sama juga berlaku bagi komunitas nelayan. Riset menunjukkan ikatan sosial yang kuat di kalangan nelayan di pesisir Asia, Eropa, dan Afrika, mampu meningkatkan kemampuan mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Tak hanya ikatan sosial: kemampuan berjejaring, tingkat kepercayaan dan norma-norma sosial, juga turut mempengaruhi pilihan-pilihan tindakan yang diambil para petani.

Di Nusa Tenggara Timur, para petani juga menganggap kelompok tani sebagai sarana utama untuk menghadapi beragam fenomena dalam perubahan iklim. Hal ini terjadi karena rasa tolong-menolong di antara sesama anggota.

Sebaliknya, kegiatan budi daya perikanan yang berkelanjutan (restorative aquaculture) yang dilakukan nelayan di Fakfak secara individu terbukti belum optimal. Sebab, pendekatan ini dapat efektif jika terdapat keterlibatan warga dalam kelompok dan kepala desa setempat.

Pendekatan kelompok memang bukanlah satu-satunya andalan bagi petani dan nelayan untuk menghadapi perubahan iklim. Aspek ini harus dibarengi dengan akses informasi yang memadai, peningkatan kualitas bagi para pemimpin di tingkat komunitas, dan kesediaan para nelayan serta petani untuk menggunakan pendekatan baru.

BMKG Pastikan Suhu Panas Jakarta Melebihi Laju Pemanasan Global

JAKARTA - Peneliti Bidang Meteorologi-Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto, mengatakan teriknya matahari yang ada belakangan ini berbeda dengan laju pemanasan yang di Jakarta jauh lebih tinggi 1,4 kali dibandingkan pemanasan secara global.

Ia menjelaskan bahwa cuaca yang lebih terik dan panas saat ini karena sedang dalam masa peralihan musim untuk di Jakarta dan sekitar Jawa Barat, yang dari mulai kemarau ke musim penghujan.

"Ini juga menjelang bulan Oktober nanti biasanya matahari akan berada di sekitar Khatulistiwa dan akan cenderung bergerak ke arah selatan, sehingga nanti di sekitar tanggal 23 Oktober itu akan 23 derajat di lintang selatan ya, itu berarti akan melewati Pulau Jawa," tuturnya saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (21/9/2021)

Kondisi seperti ini biasa disebut dengan titik kombinasi matahari, yang posisinya tepat di atas kepala kita. Sehingga akan merasakan radiasi matahari lebih kuat dari biasanya, itu biasanya menyebabkan cuaca terik di siang hari.

Nah, jika bicara soal perubahan temperatur di Jakarta yang 1,4 kali lebih kuat dibandingkan pemanasan global, itu sebenarnya adalah ukuran yang menyatakan perubahan suhu permukaan yang dihitung sejak zaman pra industri hingga zaman sekarang.

"Jadi sudah sekitar, kalau zaman pra industri kan sudah ada sejak tahun 1850 an hingga 1900 an, ya berarti data BMKG hingga sekarang menunjukan suhu Jakarta itu kemiringannya atau laju perubahannya itu jauh lebih tinggi dibanding laju perubahan global," jelasnya.

" Nah, pemanasan global atau perubahan global itu dilaporkan oleh WMO (World Meteorological Organization) sudah 1,2 kali lebih tinggi sejak pra industri. Kalau Jakarta dari penelitian saja 1,6 selama 135 tahun terakhir," imbuhnya.

Jika mengacu pada Perjanjian Paris, meminta seluruh pihak negara-negara yg menandatangani supaya menghentikan laju pemanasan global tidak lebih dari 2.

"Kalau kita secara ambisius 1,5. Kita diminta untuk melakukan kajian supaya secara global laju pemanasan tidak lebih dari 1,5," tuturnya.

Saat ini, lanjut Siswanto, seluruh permukaan bumi 1,2 berarti masih punya untuk waktu 0,3 untuk tidak sampai ke 1,5. Dan sekitar 0,8 untuk tidak mencapai 2.

"Tapi kalau kita hitung per lokal, sebenarnya Jakarta sudah melebihi 1,5 dalam 135 tahun terakhir." pungkasnya.

Mengenal Dampak Pemanasan Global Terhadap Kesehatan Manusia

Bumi adalah planet yang dihuni oleh makhluk hidup, seperti hewan, manusia, tumbuhan, dan mikroorganisme. Planet berwarna biru ini menjadi tempat tinggal untuk bertahan hidup dan mencari makanan.

Namun, pemanasan global membuat ekosistem di bumi tidak seimbang. Hal ini terjadi karena pemanasan global membuat peningkatan suhu di atmosfer.  Berikut dampak pemanasan global terhadap kesehatan manusia.

Perubahan iklim yang terjadi di bumi semakin diperparah dengan pemanasan global. Beberapa tahun terakhir, beberapa daerah sering terjadi fenomena cuaca ekstrem, seperti badai, angin ribut, hujan deras, serta perubahan musim tanam.

Selain itu, ada pula bencana alam, seperti badai tropis, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, meningkatnya potensi kebakaran hutan, punahnya berbagai jenis ikan, dan rusaknya terumbu karang.

Kerusakan lingkungan juga berdampak pada meningkatnya penyakit seperti penyebaran penyakit parasitik seperti malaria dan demam berdarah dengue (DBD), serta terjadi peningkatan insiden alergi, penyakit pernafasan dan radang selaput otak (encephalitis). 

Penjelasan Pemanasan Global

Pemanasan global adalah fenomena yang dipicu oleh kegiatan manusia. Kegiatan ini merusak lingkungan karena pemakaian bahan fosil dan kegiatan alih fungsi lahan. Contohnya, gas-gas yang dikeluarkan kendaraan memicu bertambahnya gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Fenomena ini disebut juga efek rumah kaca.

Meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi ini terjadi karena radiasi gelombang panjang matahari yang dipancarkan ke bumi oleh gas-gas rumah kaca. Ada enam jenis gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hydrofluorocarbon (HFCs), perfluorocarbon (CFCs), sulfur heksa florida (SF6). Gas-gas tersebut berada di atmosfer, terperangkap, dan tidak bisa menyebar.

selengkapnya: 

https://katadata.co.id/sortatobing/berita/612c89cda3a7d/mengenal-dampak-pemanasan-global-terhadap-kesehatan-manusia