logo2

ugm-logo

Sulteng susun rencana induk pelindungan perempuan-anak dalam bencana

Palu (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyusun rencana induk pelindungan dan pemulihan perempuan dan anak saat dan pasca-bencana dalam upaya memenuhi hak perempuan dan anak.

"Rencana induk yang dibuat mengacu pada rencana induk nasional dan Inpres Nomor 10 Tahun 2018," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulteng Ihsan Basir di Palu, Selasa.

Pembahasan penyusunan rencana induk pelindungan dan pemulihan perempuan dan anak saat dan pasca-bencana dilakukan dalam rapat koordinasi pelindungan perempuan dan anak dalam bencana yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan badan kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) dan DP3A Sulteng pada 18-19 Juni 2019 di Palu.

Ihsan menerangkan bahwa penyusunan rencana aksi daerah untuk pelindungan dan pemulihan perempuan dan anak saat dan pasca-bencana akan dilakukan mengacu pada rencana induk nasional dan hasil evaluasi penanganan kasus kekerasan berbasis gender di Kota Palu, Sigi dan Donggala.

Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan KPPPA Titi Eko Rahayu mengemukakan pencegahan dan penanganan kekerasan dalam situasi bencana membutuhkan pendekatan multi-sektor, dan strateginya mesti mencakup dan merinci tindakan/intervensi penting yang harus diambil, siapa yang bertanggung jawab, dan sumber-sumber penting yang dapat mendukung pelaksanaan dari tindakan tersebut.

"Ini tidak terlepas dari Inpres Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah dan Wilayah Terdampak Lainnya," katanya.

Dia juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif dari pemerintah daerah dan masyarakat dalam perumusan strategi pelindungan dan pemulihan perempuan dan anak saat dan pasca-bencana.

"Peran serta Pemda dan masyarakat, termasuk perempuan dan anak, mutlak demi kesuksesan tindakan-tindakan terkoordinasi, dan akan memperkuat kapasitas lokal dan meningkatkan kesinambungan," katanya.

Ada Proyek Tambang di Balik Banjir Bandang Konawe Utara

Foto udara kondisi banjir bandang yang merendam rumah warga di Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Selasa (11/6/2019). ANTARA FOTO/Oheo Sakti.

tirto.id - Banjir melanda Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sejak Sabtu, 1 Juni 2019 hingga hari ini. Praktik pertambangan dituding jadi salah satu biang keladi dari bencana yang membuat sekitar 4.198 jiwa mengungsi. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara Saharudin berkata, sepanjang 2009 sampai 2012 saja sudah terdapat 71 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Utara, dan 68 di antaranya merupakan izin pertambangan nikel, sisanya izin pertambangan batu kapur, emas, serta kromit.

“Sampai sekarang itu untuk dua izin, pertambangan dan kelapa sawit, itu kawasan hutan yang habis itu, yang sudah ditambang dan dibuka itu sudah 38.400 hektare," kata Udin saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (12/6/2019).

Kondisi tersebut diperparah karena sebagian besar tambang di Konawe Utara beroperasi secara ilegal alias tidak berizin dan tidak tercatat. Hal ini diakui Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Lukman Abunawas. Ia menyebut kegiatan pertambangan dan kerusakan lingkungan menjadi penyebab banjir bandang yang melumpuhkan Kabupten Konawe Utara. Lukman mengatakan, sejak menjadi daerah otonomi baru (DOB), banjir yang terjadi kali ini merupakan yang terparah dan meluas hingga 6 kecamatan.

“Ini memang karena di sana banyak aktivitas penambangan dan juga karena lingkungan hidup yang sudah tidak tertata dengan baik,” kata Lukman seperti dikutip media lokal Sultra, zonasultra.com, pada 11 Juni 2019. Pernyataan senada disampailan Direktur Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar. Menurut dia, jumlah izin tambang yang mencapai 70 itu sudah lebih cukup untuk membuat kerusakan lingkungan. Lebih-lebih sebagian pertambangan beroperasi di kawasan hutan dan daerah aliran sungai. Melky menilai krisis lingkungan akibat tambang tidak lepas dari praktik korup dalam proses perizinannya. Sebab, izin usaha pertambangan kerap kali digunakan sebagai "jualan" oleh para pejabat di daerah, termasuk kepala daerah.

“Apalagi menjelang dan sesudah elektoral [Pilkada] dulu. Tak heran tren penerbitan IUP itu naik," kata Melky saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (12/6/2019). Pendapat Melky bukan tanpa dasar. Pada 2017 lalu, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mentersangkakan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman. Ia diduga menerima suap Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan pertambangan untuk memuluskan perizinan selama menjabat sebagai bupati periode 2007-2009.Akibat perbuatannya itu, negara diduga mengalami kerugian mencapai Rp2,7 triliun. Angka itu merupakan keuntungan yang dikeruk perusahaan karena menambang dengan izin yang diperoleh dengan suap.

Setali tiga uang, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam pun juga bermain dengan izin tambang. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu diduga telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp2,7 miliar dan menerima gratifikasi Rp40,2 miliar dari Richcorp International Ltd. Seluruh uang itu terkait dengan kewenangan Nur Alam untuk menyetujui pencadangan wilayah pertambangan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi, dan peningkatan IUP menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah di wilayah Sultra pada 2008 hingga 2014. Perbuatannya itu pun berakibat kerugian negara sebesar Rp1,5 triliun. Atas tindakannya itu, Nur Alam pun divonis 12 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan membayar uang pengganti Rp2,7 miliar oleh Mahkamah Agung.

“Jika proses penerbitan izin terjadi di ruang gelap, maka jangan heran kemudian Pemda diharapkan untuk peduli keselamatan rakyat dan lingkungan,” kata Melky. Karena itu, ia menuntut ada evaluasi menyeluruh terkait usaha pertambangan di Konawe Utara. Ia pun menuntut adanya penegakan hukum yang tegas dan transparan pada perusahaan yang tidak menunaikan kewajibannya, dan pemulihan kawasan yang sudah dihancurkan tambang.

Terkait ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan baru akan merapatkan persoalan banjir di Konawe Utara dengan berbagai direktorat jenderal di kementeriannya. Politikus Partai Nasdem ini mengklaim institusinya akan meneliti apakah banjir besar yang membuat ribuan orang mengungsi itu diakibatkan oleh perizinan tambang atau penyebab lainnya.

“Kalau soal ekses dari perizinan, kami akan teliti dulu. Saya minta datanya, [sedang] dikumpulkan, dari (Direktorat Jenderal) Konservasi, Planologi, DAS dan Hutan Produksi. Jadi kami teliti dulu. Tapi, memang indikasinya ada,” kata Siti di Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (10/6/2019). Ia mengatakan, hal itu diperlulam mengingat masalah tersebut menyentuh banyak aspek, mulai dari tambang, pertanian, perkebunan, sistem drainase, dan lanskap.

More Articles ...