logo2

ugm-logo

Blog

Meningkatkan pemahaman warga terhadap mitigasi bencana

Meningkatkan pemahaman warga terhadap mitigasi bencana

Warga Kota Ternate dan Kota Tidore misalnya, sejak dahulu membangun rumah dengan konstruksi kayu yang dikenal dengan nama rumah kanciTernate (ANTARA) - Usman bersama isteri dan ketiga anaknya sedang duduk sambil mengobrol di ruang tengah rumahnya ketika merasakan getaran kuat. Mereka kemudian menyadari bahwa getaran tersebut ternyata gempa bumi sehingga semuanya langsung berlari keluar dari rumah itu.

Beberapa detik setelah berada di luar rumah terdengar suara keras dari dalam rumah itu yang ternyata berasal dari dinding tembok dan plafon rumah yang ambruk akibat kuatnya getaran gempa.

Tanpa mempedulikan kondisi rumah dan barang-barang yang ada di dalamnya, mereka langsung bergegas menuju daerah ketinggian, karena karena khawatir gempa itu akan menimbulkan tsunami, seperti yang terjadi di Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu.

Usman beserta seluruh anggota keluarganya dan ribuan warga lainnya di Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara (Malut) dapat menyelamatkan diri dari dampak gempa yang mengguncang daerah itu pada Minggu (14/7). Hal itu, karena mereka mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan jika sewaktu-waktu menghadapi bencana alam, berupa gempa atau tsunami.

Warga memiliki pemahaman tentang mitigasi bencana seperti itu karena sosialisasi yang dilakukan berbagai pihak terkait selama ini, seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Banda Meteorologi. Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Mereka juga mendapat pengetahuan mitigasi bencana dari tayangan televisi dan siaran radio saat memberitakan gempa bumi dan tsunami yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Dalam pemberitaan itu, menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan jika menghadapi gempa bumi atau tsunami.

Warga di Kabupaten Halmahera Selatan, termasuk di kabupaten dan kota lainnya di Malut, selama ini sudah sering merasakan guncangan gempa bumi karena daerah setempat memang rawan gempa. Namun, baru pada gempa kali ini yang sampai mengakibatkan dampak yang sangat besar.

Melihat kekuatan gempa yang 7,2 Skala Richter dan dampak kerusakan terhadap rumah warga akibat gempa di Halmahera Selatan itu, menurut Sekretaris BPBD Malut Ali Yau, semula dikhawatirkan akan menimbulkan korban jiwa yang banyak, seperti pada gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu.

Lebih dari 1.000 rumah warga di sembilan kecamatan terdampak gempa di Halmahera Selatan mengalami rusak berat, bahkan banyak yang sampai rata dengan tanah akibat kuatnya gempa yang berpusat di daratan setempat tersebut.

Namun, sesuai hasil pendataan BPBD, jumlah warga yang meninggal akibat gempa itu hanya tujuh orang, dua orang di antaranya meninggal saat berada di pengungsian karena sakit, sedangkan yang luka-luka lebih dari 40 orang.

Kalau warga tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa, dipastikan akan jauh lebih banyak korban jiwa yang jatuh akibat bencana alam tersebut. Apalagi, gempa terjadi sekitar pukul 18.20 WIT, saat warga pada umumnya telah berada di rumah.

                                                                               Konstruksi rumah
Pemahaman warga di Halmahera Selatan terhadap mitigasi bencana gempa dan tsunami sepertinya masih sebatas tentang bagaimana mereka bisa menyelamatkan diri, akan tetapi belum sampai hal-hal menyangkut bagaimana membangun konstruksi rumah yang tahan gempa.

Banyaknya rumah warga yang rusak akibat guncangan gempa pada Minggu pekan lalu itu, bahkan sampai rata dengan tanah, menjadi bukti bahwa saat mereka membangun rumah, konstruksinya tidak mempertimbangkan jika sewaktu-waktu terjadi gempa.

BPBD dan instansi terkait lainnya harus menyosialisasikan konstruksi rumah yang tahan gempa, terutama kepada korban gempa saat mereka akan membangun kembali rumahnya, agar jika terjadi gempa kerusakan rumah mereka bisa diminimalisasi.

Kepala BMKG Stasiun Geofisika Ternate Kustoro Hari Atmoko mengatakan gempa bumi sebenarnya tidak membahayakan warga. Akan tetapi, hal yang membahayakan mereka ketika rumah atau bangunan roboh dan menimpa warga.

Di situlah pentingnya warga saat membangun rumah harus benar-benar mempertimbangkan faktor risiko gempa, apalagi wilayah Malut merupakan daerah rawan gempa. Hingga saat ini, gempa bumi tidak bisa diprediksi kapan terjadi dan di mana lokasinya.

Wilayah Malut rawan gempa karena diapit lempeng aktif, yakni Lempeng Pasifik, Lempeng Eurusia, dan Lempeng Indo Australia, di samping sejumlah lempeng lokal, seperti Lempeng Halmahera, Lempeng Sula, serta Lempeng Maluku.

Dalam setiap tahun terjadi ribuan kali gempa di wilayah Malut namun tidak semuanya bisa dirasakan manusia, seperti setelah terjadi gempa utama berkekuatan 7,2 SR di Halmahera Selatan pada Minggu pekan lalu yang disusul dengan terjadinya gempa lebih dari 100 kali. Namun, yang dirasakan hanya sebagian kecil.

Seorang ahli konstruksi bangunan di Malut, Sudirman, melihat daerah ini sebenarnya memiliki kearifan lokal dalam membangun rumah tahan gempa yang diwariskan para leluhur, sejak zaman dahulu.

Warga Kota Ternate dan Kota Tidore misalnya, sejak dahulu membangun rumah dengan konstruksi kayu yang dikenal dengan nama rumah kanci, yang dari segi konstruksinya sangat kuat dalam menahan guncangan gempa.

Setiap terjadi gempa di Ternate dan Tidore Kepulauan dengan kekuatan besar 7,0 SR seperti pada awal Juli 2019, rumah warga setempat yang dibangun dengan konstruksi rumah kanci itu tidak mengalami kerusakan sedikit pun.

Untuk membangun rumah seperti itu di Malut tidak terlalu sulit karena di daerah setempat masih banyak terdapat kayu, seperti kayu besi dan kayu gufasa. Jenis kayu itu sangat baik untuk konstruksi rumah.

Perlu adanya program dari pemerintah daerah setempat untuk memasyarakatkan rumah dengan konstruksi rumah kanci.

sumber: antaranews

Aplikasi Mitigasi Bencana Diklaim Bisa Kurangi Jumlah Korban

JAKARTA, KOMPAS.com - Qualcomm mengklaim bahwa penggunaan teknologi digital terbukti dapat mengurangi jumlah korban jiwa saat terjadi bencana alam. Salah satunya adalah penggunaan aplikasi bernama Atmago yang membantu mitigasi bencana.

Atmago adalah aplikasi yang dirilis Atma Connect, yang didanai oleh Qualcomm. Aplikasi ini mengusung konsep user-generated content (UGC) di mana para pengguna bisa membagikan informasi tentang bencana di sekitar, selayaknya sebuah media sosial.

Menurut riset dari Centre for Innovation Policy and Governance, aplikasi Atmago berhasil memengaruhi 30 persen penggunanya, untuk melakukan tindakan preventif ketika menerima peringatan bencana yang dibagikan oleh pengguna lain. Alhasil dengan adanya tindakan preventif ini, angka kematian yang disebabkan oleh bencana alam dapat berkurang hingga 50 persen, jika langkah pencegahan dilakukan dengan efektif.

"Aplikasi ini dirancang dengan fitur yang diminimalisasi untuk Android. Jadi selain bisa digunakan di ponsel dengan spesifikasi rendah, Atmago dirancang untuk internet yang tidak stabil juga," ungkap Nies Purwanti, Qualcomm Director Government Affair for SEA Pasific. Ia juga menambahkan, dengan begitu, aplikasi mitigasi bencana ini diharapkan dapat membantu pemerintah untuk merancang langkah dan aksi dalam mengantisipasi terjadinya bencana.

Qualcomm memberikan dukungan kepada AtmaGo mulai dari supervisi program, membangun relasi lokal, hingga funding termasuk untuk riset, untuk mendukung keberlanjutan AtmaGo di Indonesia. Sementara Meena Palappian, pendiri sekaligus CEO Atma Connect, mengatakan hal senada. Menurutnya, berdasarkan survei, ada 68 persen pengguna Atmago yang aktif dan intensif membagikan informasi menggunakan AtmaGo.

"Rata-rata pengguna bisa menyebarkan postingan kepada 28 pengguna lainnya, sehingga informasi yang berkaitan dengan bencana dapat tersebar secara cepat melalui aplikasi ini," ungkap Meena. Selain itu, hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa penggunaan aplikasi ini dapat mengurangi beban kerusakan properti hingga sebesar Rp 4,4 juta per keluarga. Juga dapat mengurangi biaya kesehatan dengan rata-rata Rp 283.565 per kepala keluarga.

Qualcomm Punya AtmaGo, Aplikasi Mitigasi Bencana

VIVA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi bencana hidrometeorologi.

Bencana ini merupakan dampak dari fenomena meteorologi, mulai dari kekeringan hingga banjir. Karena itu, mitigasi bencana tidak bisa dilakukan satu pihak saja melainkan juga melibatkan masyarakat.

Hasil studi Qualcomm Incorporated, melalui inisiatif Wireless Reach dan Atma Connect, menyebutkan penggunaan aplikasi digital bernama AtmaGo dalam penanggulangan bencana telah mengurasi risiko dampak bencana terhadap kesehatan dan memperpanjang usia, serta mengurasi kerugian ekonomi akibat bencana.

AtmaGo merupakan aplikasi mitigasi bencana yang diluncurkan oleh Atma Connect melalui kerja sama dengan Qualcomm Incorporated melalui inisiatif Qualcomm Wireless Reach yang menjadi semacam jejaring sosial bagi komunitas yang bisa diakses melakui aplikasi android atau pun situs jejaring.

Aplikasi yang didanai oleh Qualcomm ini mengusung konsep user-generated content (UGC), di mana para pengguna bisa membagikan informasi tentang bencana di sekitar, selayaknya sebuah media sosial.

Qualcomm Director Government Affairs for SEA Pasific, Nies Purwanti, menyebut jika AtmaGo dirancang dengan fitur yang diminimalisasi untuk Android. Jadi, selain bisa digunakan di ponsel dengan spesifikasi rendah, aplikasi ini juga dirancang untuk internet yang tidak stabil.

Dengan begitu, AtmaGo diharapkan dapat membantu pemerintah untuk merancang langkah dan aksi dalam mengantisipasi terjadinya bencana.

Nies mengaku bahwa Qualcomm memberikan dukungan kepada AtmaGo mulai dari supervisi program, membangun relasi lokal, hingga pendanaan termasuk untuk riset, untuk mendukung keberlanjutan AtmaGo di Indonesia.

"Kita punya program mencari masyarakat yang kurang terlayani dari sisi akses komunikasi maupun aspek lainnya. Kami percaya bahwa teknologi memiliki peran besar untuk memberi informasi penting," kata Nies di Jakarta, Rabu, 17 Juli 2019.

Ia menambahkan kalau aplikasi ini juga digunakan pada saat terjadi peristiwa gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Sulawesi, Lombok, Jawa, dan Sumatera pada 2018.

Nies mengklaim AtmaGo telah membantu warga korban bencana dalam menemukan kerabat, mendirikan tenda evakuasi, membersihkan persediaan air, dan menyediakan kesempatan menjadi sukarelawan, serta penggalangan pemulihan bencana.

Aplikasi Digital Ini Kurangi Dampak Materil Bencana, Kok Bisa?

Aplikasi Digital Ini Kurangi Dampak Materil Bencana, Kok Bisa? - Warta Ekonomi

Hasil studi dari kelompok penasihat berbasis penelitian dalam lembaga Centre for Innovation, Policy, and Governance (CIPG) menunjukkan pemanfaatan aplikasi digital dalam mitigasi bencana dapat mengurangi dampaknya dari segi kerugian materi ataupun kondisi kesehatan.

Aplikasi digital yang dimaksud bernama AtmaGo, jejaring sosial yang menghubungkan pengguna untuk saling berbagi peringatan darurat serta berita bencana hingga mengambil tindakan guna meminimalisasi dampaknya.

"Berdasarkan hasil studi, 30% pengguna AtmaGo yang menerima peringatan (bencana) mengambil langkah preventif seperti memindahkan barang berharga, memperingati warga lain, hingga mengungsi," kata Advisor CIPG, Dinita Adriana, Rabu (17/7/2019).

Untuk negara seperti Indonesia yang terhitung banyak mengalami bencana, pemanfaatan aplikasi digital semacam AtmaGo dapat menjadi salah satu solusi guna meningkatkan kemampuan bangsa untuk mengatasinya.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2017, Indonesia menghadapi 2.341 bencana alam, menyebabkan evakuasi 3,49 juta penduduk, kerusakan terhadap sekitar 50.000 rumah dan fasilitas publik, serta 377 kematian.

Secara rinci, berikut ini kegunaan aplikasi digital AtmaGo berdasarkan pilot studi oleh CIPG yang didanai oleh Qualcomm Wireless Reach

Mengurangi Kerugian Materi

Peringatan darurat itu dapat mengurangi kerusakan properti yang disebabkan oleh banjir atau bencana lain hingga Rp4,4 juta per rumah tangga di Jakarta. Namun, dengan asumsi tindakan preventif yang efektif dapat mengurangi risiko kerusakan sebesar 50%.

Dinita pun menambahkan, "Pilot studi ini dilakukan terhadap 358 responden di wilayah DKI Jakarta. Bukan hanya pengguna AtmaGo, melainkan juga yang nirpengguna."

Dengan asumsi yang sama, bila aplikasi itu menjangkau 5%-10% rumah tangga di daerah Jakarta, kerugian dapat berkurang hingga Rp718 miliar hingga Rp1,5 triliun per tahunnya. Sekadar informasi, saat ini AtmaGo mengklaim telah memiliki 2,5 juta pengguna yang tersebar di 1.100 lokasi se-Indonesia.

"Studi ini dilakukan saat pengguna mereka masih berjumlah sekitar 800 ribu," imbuh Dinita.

Mengurangi Biaya Kesehatan

Pemanfaatan aplikasi digital dalam bencana juga bisa meminimalisasi biaya kesehatan dengan rata-rata Rp284 ribu per rumah tangga di Jakarta. Lebih lanjut, jika basis pengguna AtmaGo mencakup 5%-10% populasi penduduk Jakarta, dampaknya akan lebih signifikan.

"Kami estimasikan dapat mengurangi pengeluaran biaya kesehatan senilai Rp46 miliar-Rp92 miliar per tahun," jelas Dinita.

Mengurangi Angka Kematian

AtmaGo memiliki potensi untuk mengurangi tingkat penyakit dan angka kematian yang disebabkan oleh banjir dan bencana lainnya sebesar 643 tahun usia sehat yang hilang per 100.000 jiwa penduduk berdasarkan perhitungan tahun hidup yang hilang akibat kematian dini dan disabilitas karena sakit (DALY).

Portland denied state disaster relief funding

PORTLAND, MI (WILX) - After a winter of flooding and ice jams that caused hundreds of thousands of dollars in damage to Portland, Michigan, the state will not be helping.

Portland City Manager Tutt Gorman tells News 10 the state denied disaster relief funds for the city and Ionia County.

They had requested a little more than $100,000 to help with the more than $200,000 of damage.

Gov. Gretchen Whitmer declared a state of emergency in February in Portland.

Gorman says Portland is disappointed.

"The City is clearly disappointed with the decision and will take the necessary steps to request reconsideration and advocate accordingly."