logo2

ugm-logo

Blog

Debating How Much Time We Have to Avert Climate Disaster is a Waste of Time

The U.N.’s Intergovernmental Panel on Climate Change, or IPCC, released a report earlier this month regarding the effects of the rise in global temperatures on land and agriculture and found that 25 percent of the rise in CO2 emissions comes from deforestation and farming.

A consensus of some 700 scientists from around the world agreed that 1.5 degrees Celsius has already baked into the land. They said the earth is dangerously heating up as a result of feeding ourselves in the most inefficient ways (wasting 25 percent of the food produced).

The IPCC is expected to release another report in September on the effects of man-made CO2 emissions on the oceans. We get 50 percent of our oxygen from oceans, and oceans have thus far absorbed 93 percent of human CO2 emissions.

In October of 2018 the IPCC advised that to avoid irreversible changes to the environment,  “human-caused emissions of carbon dioxide (CO2) would need to fall by about 45 percent from 2010 levels by 2030, reaching ‘net zero’ around 2050. This means that any remaining emissions would need to be balanced by removing CO2 from the air.”  The 2016 Paris Climate Conference was based on holding global temperatures to an increase of no more than at 2 degrees Celsius, but the 2018 report showed that we need to cap the rise to 1.5 degrees Celsius.

Missing Factors

These IPCC findings, while alarming, still don’t take many things into account.

For instance, none of the IPCC studies consider how much methane gas is being released from fracking sites in the U.S. and elsewhere. And methane gas is 30 times more potent as a heat-trapping gas than carbon dioxide.

Scientists are reporting that Arctic ice is melting at faster rates than projected and we can see the disappearance of Arctic ice in the next few years. The result will be the release of massive quantities of CO2 & methane gas from the land beneath the ice, which is not being calculated into the 1.5 degree Celsius goal; therefore, tightening the IPCC deadlines.

China is moving ahead to build 300 coal plants in Turkey, Vietnam, Indonesia, Bangladesh, Egypt and the Philippines. To put this in perspective, 175 coal-fired power plants were retired in the United States between 2011-2017.

As the world’s population grows to 10 billion by 2050 from the 7.53 billion today, we will see more and more release of CO2 gases from fossil fuels, deforestation and agriculture that has not been incorporated into the IPCC predictions.

None of this new information has been included in the IPCC estimates, according to an exchange I had on Twitter with climate scientist Michael Mann.

We do not have until 2030 to reduce emissions by 45 percent, as the IPCC’s 2018 report concludes. Mark Jacobson, director of Stanford University’s  Atmosphere/Energy Program, calls for an 80 percent reduction in CO2 output by 2030. Many scientists and economists are stating that we have less than five years, or have already passed the point of no return. Paul Hawken, the highly regarded author of “Drawdown; The Most Comprehensive Plan Ever Proposed to Reverse Global Warming,” told an audience at the Aspen Institute this summer, “Even if we stopped using fossil fuels today, we would pass the 1.5 degree Celsius mark.”

Scientists have begun using the term adaptation instead of mitigation. How will we adapt to the new normal of global climatic devastation? This doesn’t mean hopelessness. This means action. We need to talk realistically and embrace solutions to slow the process and mitigate the full effects of climate change. And we need to focus on proven remedies already underway around the world.  

Solutions Needed


Stages of reforestation: Top two photos show severely degraded hills in South Korea. Third is taken five years after restoration began; fourth 20 years after. (IPCC/Korea Forest Service)

We need political, religious, business, social and individual solutions. This is the greatest crisis that mankind has ever faced and climate is changing much more rapidly than even the most aggressive models have predicted.

Here are some of the top solutions that could be implemented:

  1. Get rid of government handouts to the fossil fuel industry.
  2. Give incentives to renewable energy instead.
  3. Start a works corps to build renewables programs.
  4. Enact a carbon tax to raise funds to invest in renewables and slow the growth of fossil fuels.
  5. Stop future fossil-fuel development through banning drilling, fracking and phase out their use by getting off black carbon by 2030 and net neutral carbon by 2050.
  6. Require utilities to produce all their electricity from zero-carbon sources — such as wind and solar.
  7. Set energy efficiency standards for new homes and commercial buildings.
  8. Stop methane emissions from oil-and-gas operations.
  9. End the use of hydrofluorocarbons, powerful greenhouse gases used in air-conditioners, refrigerators and foams.
  10. In the U.S. a special effort must be made to reign in the military behemoth, which has fought endless wars for oil. Cut the 800 U.S. military bases and trillion-dollar-a-year budget by a third and redirect the spending to renewables, clean jobs, electric transportation and research and innovation.

It’s Not New

Climate change science goes back decades, to the 1950s. Exxon Mobil and other petro producers, in the intervening years, have made numerous efforts to hide the effects of man-made CO2 emissions.  U.S. administrations either hid or ignored the warnings and continued to expand fossil fuel development and allowed destructive forms of agriculture and deforestation to expand.

What is different now is that we are seeing the effects of the rise in temperatures, which include increased catastrophic flooding, fires, melting ice caps, extinction of species, climate refugees, water shortages and desertification.

We have faced enormous problems before, but this time history provides no guide. It’s up to us to develop new economic and political paradigms. Life on our entire planet depends upon it.

If we are to find never-been-tried-before solutions we need to be clear about the carbon facts. The U.S., with 4.29 percent of the world’s population, is responsible for 14.75 percent of global CO2 emissions. China, with 18.20 percent of the population, produces 27.51 percent of the total. Clearly the U.S. must take a leadership role in reducing CO2 emissions if we expect the world to follow.

Singgung Potensi Bencana, BNPB Ingatkan Tata Ruang di Kaltim

Singgung Potensi Bencana, BNPB Ingatkan Tata Ruang di Kaltim

Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberikan catatan mengenai rencana tata ruang di Kalimantan Timur, berkaitan dengan lokasi baru ibu kota negara.

Deputi Sistem dan Strategi BNPB, Wisnu Widjaya menyebut persiapan tata ruang jadi perhatian penting, terutama menghindari potensi bencana seperti banjir, tsunami dan gempa bumi.

"Kalau desainnya dari awal sudah kita ketahui akan mudah untuk dikelola. Beda kalau sudah terlanjur dibangun, itu baru masalah lain," kata Wisnu kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/8).


BNPB sendiri mencatat terdapat beberapa daerah yang memiliki potensi bencana alam di Kalimantan Timur. Namun demikian, BNPB masih memasukkan wilayah di Kaltim dalam kategori sedang ataupun rendah.

Dua kabupaten yang dipilih Jokowi sebagai ibu kota baru juga dinilai masih memiliki potensi bencana, khususnya yang terkait dengan lingkungan, yaitu banjir. Tercatat setidaknya delapan kabupaten/kota di Kalimantan Timur memiliki bahaya kelas tinggi terjadi banjir.

Selain itu, menurutnya, pertimbangan tata ruang harus dikaitkan dengan potensi gempa di Kalimantan Timur. Sebelumnya, Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami

BMKG Daryono menyatakan bahwa Kalimantan tak sepenuhnya bebas dari gempa. Bahkan, lanjutnya, Kalimantan Timur justru memiliki 3 sesar. Menurut Wisnu tidak ada satu pun wilayah yang aman dari gempa bumi. Ia mengingatkan pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan mengetahui masalah dari lingkungan tersebut.

"Dalam pembangunan seharusnya patahan itu dihindarkan, jangan sampai membuat bangunan di atas patahan, " imbuhnya.

Selain gempa bumi, kata dia, untuk kebakaran hutan menurutnya Kalimantan Timur masih menjadi lebih aman jika dibandingkan dengan wilayah Kalimantan lainnya. Ia menegaskan pemindahan ibu kota ini mesti jadi salah satu upaya pemerataan pembangunan, tanpa mengabaikan penanggulangan bencana.

Mengungkap Potensi Bencana di Ibu Kota Baru, Sesar Gempa Aktif hingga Banjir

Peta potensi dan risiko banjir di Kalimantan Timur

KOMPAS.com — Sudah resmi, lokasi ibu kota negara Indonesia akan pindah ke Kalimantan Timur (Kaltim), tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Presiden Joko Widodo pun telah menjelaskan sederet alasan terkait pemilihan lokasi tersebut, termasuk tingkat kerawanan terjadinya bencana alam, Senin (26/8/2019).

"Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kertangera, Provinsi Kalimantan Timur," ujar Presiden dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).

Lalu, benarkah lokasi tersebut aman dari potensi bencana alam? Berikut ini penelusuran Kompas.com terkait potensi bencana di Pulau Kalimantan:

Dilalui 3 sesar sumber gempa aktif

Menurut Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Kalimantan tidak sepenuhnya terbebas dari gempa. Pihaknya bahkan menjelaskan ada 3 sesar yang terdeteksi di wilayah Kaltim.

"Secara geologi dan tektonik, di wilayah Provinsi Kaltim terdapat 3 struktur sesar sumber gempa, yakni Sesar Maratua, Sesar Mangkalihat, dan Sesar Paternostes," ujar Daryono saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019).

Lebih jauh lagi, BMKG menjelaskan, Sesar Maratua dan Sesar Mangkalihat terletak di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kutai Timur. Sesar tersebut masih menunjukkan tanda-tanda keaktifan.

Sebagai bukti, dalam peta seismisitas, terlihat 2 zona besar ini memiliki aktivitas kegempaan yang cukup tinggi dan membentuk klaster sebaran pusat gempa yang berarah ke barat sampai timur.

Potensi banjir mengincar

Seperti diketahui, wilayah Kalimantan Timur juga memiliki risiko rawan banjir. Hal itu terungkap dalam berita di Kompas.com pada 22 Agustus 2019.

Saat itu, Plh Kapusdatin BNPB Agus Wibowo menjelaskan, risiko rawan banjir tersebut berada di Kabupaten Kutai Kartanegara yang menjadi salah satu area ibu kota baru dan Kota Samarinda.

Lalu, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko rawan banjir di wilayah ini terdapat di wilayah yang dekat dengan hulu daerah aliran sungai (DAS).

 

Masalah penggundulan dan kebakaran hutan

Kebakaran di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur.Dok, Humas Pemkot Balikpapan/Tribun Kaltim Kebakaran di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur.

Selain dua potensi bencana tersebut, Kalimantan Timur juga menyimpan potensi bencana lain, yakni kebakaran dan penggundulan hutan.

Disebutkan, lahan hijau di wilayah ini berkurang cukup signifikan. Penggundulan hutan ini menyebabkan banyaknya banjir yang terjadi di Kaltim.

Potensi bencana lain adalah hutan di provinsi ini pun berkurang akibat pembakaran sehingga menyebabkan asap.

Sementara itu, pada 2018 BMKG mencatat wilayah Kaltim menjadi salah satu yang rawan bencana kebakaran hutan dan lahan. 

Informasi ini disampaikan Kepala Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko kepada Kompas.com, Jumat (24/8/2018), dan melalui akun resmi Instagram BMKG, @infobmkg.

Pencemaran minyak di perairan air laut

Salah satu potensi bencana di Kaltim yang tak bisa dipandang remeh adalah pencemaran minyak di wilayah perairan laut.

Pencemaran tersebut diakibatkan salah satunya akibat lokasi perairan Kalimantan Timur yang menjadi jalur pelayaran antarpulau, baik ke Sulawesi maupun ke Jawa.

Namun, meski masih memiliki potensi bencana, secara umum wilayah Pulau Kalimantan masih relatif aman jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Pemerintah Dorong Standar Pelayanan Minimal Bencana

JAKARTA, KRJOGJA.com - Pemerintah akan memberlakukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penanggulangan Bencana bagi pemerintah daerah untuk menyiapkan masyarakat tangguh bencana di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

"Diharapkan pemerintah daerah akan menjalankan standar pelayanan minimum mulai di tahun 2020 untuk kemudian memastikan bahwa masyarakat itu sadar bahwa mereka hidup di daerah yang rawan bencana," kata Kepala Seksi Organisasi Internasional Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Fery Irawan dalam diskusi di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.

Melalui penerapan standar pelayanan minimal tentang kebencanaan oleh pemerintah daerah, maka masyarakat diantaranya berhak untuk mengetahui informasi potensi, dampak dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
"Jadi di situ ada kewajiban pemerintah daerah untuk memastikan bahwa sebagai standar pelayanan minimumnya sekian persen masyarakat harus mengerti tentang bahaya tentang resiko bencana yang mereka hadapi," ujarnya.

Dia mengemukakan sosialisasi dan penguatan masyarakat tangguh bencana terus dilakukan dengan bekerja sama berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah daerah, aparatur desa dana masyarakat.
"Bukan hanya sosialisasi ke aparat saja tapi kami juga melibatkan relawan untuk mereka turun langsung entah itu ke sekolah, ke masjid, ke TPI, ke pasar, ke warga yang sedang ngopi di warung dan sebagainya," jelas dia.

Dalam sosialisasi tersebut, masyarakat setidaknya diinformasikan potensi dan dampak bencana yang mungkin terjadi di wilayah mereka dan gempa yang bisa memicu tsunami. Masyarakat juga diarahkan langkah-langkah yang harus dilakukan saat menghadapi potensi bencana seperti tsunami dan gempa, seperti ke mana harus berlari menyelamatkan diri saat ada potensi tsunami.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah melaksanakan program Ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) Tsunami 2019 dengan bekerja sama dengan banyak pihak, baik dari unsur pemerintah, masyarakat, lembaga usaha, akademisi, serta media massa.

Ekspedisi Destana Tsunami 2019 dilaksanakan sejak 12 Juli 2019 sampai 17 Agustus 2019. Dimulai dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tim Ekspedisi Destana 2019 beranjak ke Barat melalui jalur darat hingga pemberhentian terakhir di Kabupaten Serang, Banten.(ati)

 

PMI luncurkan program membangun ketangguhan dan kesiagaan bencana

PMI luncurkan program membangun ketangguhan dan kesiagaan bencana

Sukabumi, Jabar (ANTARA) - Palang Merah Indonesia (PMI) meluncurkan program membangun ketangguhan dan kesiapsiagaan bencana gempa bumi berbasis masyarakat yang merupakan dukungan dari United States Agency for International Development (USAID) melalui Palang Merah Amerika Serikat.

"Program ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak bencana gempa bumi dengan meningkatkan kapasitas masyarakat melalui program ini nanti kita (PMI, red.) akan membangun ketangguhan masyarakat mulai dari keluarga, komunitas dan juga kesiapan PMI serta pemerintah kota dan kabupaten," kata Kepala Divisi Penanggulangan Bencana PMI Pusat Arifin M. Hadi melalui sambungan telepon di Sukabumi, Minggu.

Dia menjelaskan program itu akan dilaksanakan di dua kota, yakni Banyuwangi, Jawa Timur dan Kota Sukabumi, Jawa Barat.

Melalui program itu, minimal PMI mempunyai contoh rumah tahan gempa dan melakukan promosi ketangguhan tingkat keluarga.

Pada kegiatan itu, pihaknya juga akan mempraktikkan kesiapsiagaan masyarakat di tingkat keluarga untuk mempersiapkan diri dalam kontijensi gempa bumi serta standar operasional prosedur (SOP) rencana kesiapsiagaan evakuasi mandiri.

Selain itu, akan dibentuk kesepakatan cara-cara untuk membangun kesiapsigaan di tingkat komunitas dengan tujuan utamanya meminimalisasi dampak bencana, baik korban jiwa maupun kerugian harta benda.

Arifin mengatakan program yang diluncurkan di dua kota itu, juga untuk membantu pemerintah dalam mengurangi risiko bencana. Apalagi, dua daerah yang menjadi lokasi kegiatan tersebut,  daerah rawan gempa.

Dia mengatakan PMI akan selalu hadir di tengah masyarakat, khususnya saat terjadi bencana alam, mulai dari masa tanggap darurat hingga pemulihan.

Hal itu, katanya, seperti pelayanan dan bantuan yang terus diberikan untuk korban gempa bumi di Nusa Tenggara Barat (NTB), korban tsunami, gempa, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, serta korban tsunami Selat Sunda, baik Banten maupun Lampung.