logo2

ugm-logo

Blog

Kerugian Bencana di Sukabumi Selama Agustus Capai Rp4,34 Miliar

SUKABUMI, AYOBANDUNG.COM -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi mencatat, kerugian akibat bencana alam sepanjang Agustus 2019 mencapai Rp4,345 miliar.

"Kerugian paling besar diakibatkan bencana gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Sumur, Banten berkekuatan 6,9 Skala Richter (SR) yang merusak puluhan rumah pada 2 Agustus lalu," kata Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Kabupaten Sukabumi, Daeng Sutisna di Sukabumi, Rabu (11/9/2019).

Ia mengatakan, pada Agustus 2019 gempa bumi terjadi hingga 22 kali. Namun yang paling parah adalah saat gempa yang berpusat di Banten.

Sumbangan terbesar kerugian akibat bencana lainnya tidak hanya dari gempa bumi saja, kasus kebakaran juga mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Pada Agustus tercatat terjadi 19 kasus kebakaran.

Tingginya kerugian akibat bencana tersebut karena biasanya rumah rusak berat dan tidak bisa dihuni lagi sehingga pemiliknya harus mengungsi. Ditambah bencana kekeringan akibat kemarau panjang yang terjadi 22 kasus.

Pada bulan lalu pun terjadi beberapa kasus bencana lainnya seperti longsor ada enam kasus dan bencana lain-lain sebanyak enam kejadian. Seluruh warga yang terdampak atau menjadi korban bencana khususnya rumahnya yang rusak sudah mendapatkan bantuan darurat.

Bantuan yang diberikan tergantung dari kebutuhan dan jenis bencana, mulai dari bantuan makanan, perlengkapan makan, tidur dan mandi. Serta ada juga yang diberikan bantuan berupa bahan bangunan untuk korban bencana kebakaran maupun gempa bumi yang rumahnya rusak berat dan sedang.

"Untuk jumlah warga yang terdampak bencana sebanyak 50 kepala keluarga atau 147 jiwa dan yang mengungsi 28 KK atau 89 jiwa, namun tidak ada korban jiwa akibat bencana sepanjang Agustus lalu hanya beberapa warga mengalami luka-luka," tambahnya.

Daeng mengatakan untuk September ini bencana didominasi kasus kebakaran permukiman warga, hutan, dan lahan. Bahkan, beberapa hari lalu pihaknya menerima laporan hutan dan lahan yang berada di Gunung Walat Cibadak mengalami kebakaran.

Kebakaran rumah yang terjadi biasanya dikarenakan hubungan arus pendek listrik, sementara untuk karhutla disebabkan beberapa faktor seperti adanya pembakaran lahan pertanian yang apinya merembet sehingga kebakaran meluas.

Maka dari itu, secara rutin pihaknya mengimbau agar warga tidak melakukan aktivitas yang bisa memicu kebakaran, apalagi pada musim kemarau ini kondisi lahan, hutan dan permukiman kering sehingga jika terjadi kebakaran api bisa dengan cepat menjalar.

 

Kebakaran Hutan Dominasi Bencana Alam di Jabar

https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/0.17670200-1567919482-dom-1567518901.jpeg.jpeg

LENGKONGAYOBANDUNG.COM -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat (Jabar) menyatakan peristiwa bencana alam yang terjadi selama Agustus 2019 di Provinsi Jabar didominasi oleh kebakaran hutan. Ada sebanyak 55 kebakaran hutan yang tercatat.

"Jumlah kejadian bencana alam sepanjang Agustus 2019 ini 117 kejadian dan dari jumlah tersebut didominasi oleh kejadian kebakaran hutan," kata Kepala Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Provinsi Jawa Barat, Budi Budiman Wahyu dalam siaran persnya, Sabtu (7/9/2019).

Ia menjelaskan, peristiwa bencana terbanyak kedua selama bulan lalu di Provinsi Jabar ditempati oleh kebakaran rumah dengan jumlah 38 kejadian. Lalu disusul angin puting beliung 12 kejadian dan tanah longsor 10 kejadian.

"Kemudian peristiwa gempa bumi terjadi dua kali atau hanya dua persen persen dari total kejadian bencana di Provinsi Jabar Agustus 2019 ini," kata dia

Ia menjelaskan, sebanyak 266 jiwa terdampak akibat peristiwa bencana alam yang terjadi selama Agustus 2019. Ada 83 rumah terdampak bencana alam yang terdiri atas 32 rumah rusak berat, 27 rumah rusak sedang, dan 24 rumah rusak ringan.

"Alhamdulillah dari jumlah kejadian yang terjadi selama bulan Agustus lalu tak satu pun korban jiwa yang tewas diakibatkan oleh kejadian bencana di Jabar selama Agustus kemarin," ujar Budi.

Lebih lanjut, ia mengatakan kebakaran yang terjadi di Provinsi Jabar memang disebabkan oleh kekeringan yang umumnya terjadi di wilayah Jabar bagian utara.

Akan tetapi kebakaran di sini bukan hanya terjadi di hutan tetapi juga lahan terbuka seperti lahan yang penuh alang-alang.

Alokasi Anggaran Bencana Belum Ideal

Mataram (Suara NTB) – Alokasi anggaran untuk penanganan bencana harus ditingkatkan. APBD pada daerah-daerah di NTB  hanya 0,02 persen. Angka ini masih jauh dari ideal untuk memaksimalkan penanggulangan bencana yang kompleks di NTB.

Hal itu disampaikan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, H.Ahsanul Khalik saat menghadiri workshop dengan tema Strengthening National Natural Disaster Preparedness : Perspectives from Local Governments di Jakarta, Selasa, 10 September 2019. Acara dihadiri Kepala BPBD se Indonesia yang rawan gempa.

Diskusi digagas oleh Centre For Strategic and International Studies berlangsung hangat. Dalam keterangan tertulisnya, Ahsanul Khalik menyebut, silih berganti Kepala Pelaksana BPBD dari berbagai provinsi memaparkan kondisi daerahnya. Termasuk Kepala Pelaksana BPBD Palu dan NTB.

Mantan Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB ini menyebut, semua daerah mengalokasikan APBD untuk bencana relative kecil. Padahal dari 14 jenis bencana alam, 11 diantaranya terjadi di NTB.

“Anggaran kebencanaan hanya 0,02 persen. Perlu dipikirkan kebijakan politik dari pusat di APBD atau di APBN,” sebut Khalik.

Idealnya, kata dia, dana penanggulangan bencana adalah 2 persen dari total APBD masing-masing daerah. ‘’Bisa 2 persen atau berapa. Intinya perlu ditingkatkan,’’sarannya.

Ahsanul Khalik juga memaparkan, soal gempa bumi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa banyak hal yang dipelajari. Diantaranya, system komando kebencanaan harus jelas. ‘’NTB sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai daerah rawan gempa,’’ katanya.

Dalam catatannya, tahun 1856 gempa, 1815 Gunung Tambora.

“Sejarah ini berulang selalu dilupakan masyarakat,’’ kata Khalik.

Sebagai solusi, literasi kebencanaan menjadi penting. Pengalaman terjadi bencana tahun 1978 dan 2018 begitu mudah dilupakan.

Penjelasan lain, sambung Khalik, setiap terjadi bencana ada kebingungan soal distribusi logistic bagi para penyintas. Hingga ada media yang menyampaikan informasi berseberangan dengan fakta lapangan. Dicontohkannya, saat korban gempa makan daun turi ditulis makan rumput.

‘’Akhirnya ramai. Petugas itu padahal menyisir  sampai di atas gunung, saat kejadian stok kebutuhan memang tak ada,’’ bebernya.

Lebih lanjut, penguatan penanggulangan bencana di daerah, pola vertical khusus provinsi atau penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) di BPBD harus dipikirkan dengan baik.

‘’Bapak-bapak yang hadir tentu tahu. Di BPBD itu dianggap buangan itu terjadi pula di daerah lain. Lalu bagaimana bias bekerja optimal,’’ kata Khalik.

Ia mengakui, pendekatan kebencanaan tak hanya bisa dilakukan pemerintah. Perlu pula membangun komunitas dengan pendekatan kearifan lokal. Menjadi komunitas tangguh bencana. Di NTB ada masyarakat adat yang tak terpengaruh dengan gempa.

‘’Rumah adat tak rusak dan mereka bisa mitigasi sendiri. Ke depan komunitas ini harus digerakkan,’’urainya.

Berkaca dari sejumlah bencana, Khalik menambahkan, perlu ada statistik kebencanaan. Ini untuk mengetahui data prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Di NTB saat ini sedang mencoba membangun satu data kebencanaan belajar dari data 2018. Hal lain, dengan pendekatan agama dan budaya dilakukan pemerintah. Dengan agama ada brosur khutbah Jumat yang disebar ke masjid-masjid.

‘’Termasuk penguatan tokoh agama. Peran ini dilakukan oleh Non Government Organization (NGO. Pusat perlu berikan regulasi,’’ pungkasnya. (ars)

Kekeringan, Gempa, dan Kebakaran Dominasi Bencana Sukabumi

Ssbuah rumah makan di Jalan Ahmad Yani Kota Sukabumi kebakaran.

REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI -- Bencana kebakaran, gempa, dan kekeringan mendominasi bencana yang terjadi pada Agustus 2019 di Kabupaten Sukabumi. Hal ini didasarkan data pada Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi.

"Pada Agustus 2019, ada 68 kejadian bencana yang terdata," ujar Koordinator Pusdalops BPBD Kabupaten Sukabumi, Daeng Sutisna kepada wartawan, Selasa (10/9).

Ada tiga jenis bencana yang paling banyak terjadi. Ketiganya adalah kekeringan 22 kejadian, gempa bumi 22 kejadian, dan kebakaran 19 kejadian. Selain itu, longsor sebanyak enam kejadian dan bencana lain enam kejadian.

Menurut Daeng, bencana di Agustus berdampak pada kerusakan rumah warga 68 rumah. Perinciannya rusak berat sebanyak 34 unit, rusak sedang 24 unit, dan rusak ringan sembilan unit serta satu unit lainnya terancam.

Daeng menuturkan, jumlah warga yang terdampak bencana di Agustus mencapai 50 kepala keluarga (KK) atau setara 147 jiwa. Selain itu ada warga yang mengungsi sebanyak 28 KK yang terdiri atas 89 jiwa.

Kerugian akibat bencana kata Daeng mencapai sekitar Rp 4,5 miliar. Hal ini didasarkan pendataan kerugian yang dilakukan petugas di lapangan.

Sebelumnya, kejadian bencana di Kabupaten Sukabumi dari rentang waktu Januari hingga Juli 2019 mencapai sebanyak 398 bencana. "Dari data yang ada longsor tetap mendominasi dibandingkan dengan yang lain," ujar Daeng.

Total bencana dalam kurun waktu Januari hingga Juli mencapai 398 kejadian. Daeng menuturkan, pada bulan itu terjadi tujuh kasus kebakaran, longsor 78 kejadian, banjir 16 kejadian, angin kencang 20 kejadian, pergerakan tanah 4 kejadian, dan lain-lain 1 kejadian. Selanjutnya waktu kejadian terbanyak bencana yakni Februari sebanyak 76 bencana yang terdiri atas kebakaran 15 kejadian, longsor 36 kejadian, banjir 3 kejadian, angin kencang 20 kejadian, dan  pergerakan tanah 2 kejadian.

Sementara kejadian bencana paling rendah terjadi pada Juli sebanyak 13 kasus. Data ini belum termasuk dampak gempa bumi yang terjadi di awal Agustus lalu. Pertama, gempa dengan magnitudo 6,9 yang terjadi pada Jumat (2/8) sekitar pukul 19.03 WIB. Selanjutnya, gempa magnitude 4,4 yang terjadi pada Sabtu (3/8) dini hari pukul 00.22 WIB.

 

Ajarkan Anak Mitigasi Bencana

JAKARTA – Pendidikan ten­tang mitigasi kebencanaan harus diajarkan kepada anak didik sejak dini agar menge­tahui langkah yang dilakukan saat terjadi bencana alam.

“Di Jepang, sejak kecil anak-anak diajarkan tentang miti­gasi bencana karena medianya di sekolah memberikan materi tersebut,” kata Anggota Komisi I DPR, Roy Suryo, saat menjadi narasumber mitigasi bencana alam, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Oleh karena itu, ia men­dorong hal yang sama juga dilakukan di Indonesia se­hingga anak-anak dapat mengetahui langkah yang perlu dilakukan saat terjadi bencana alam. “Kita tidak usah menyalahkan sekolah belum mengajarkan, tapi kita cari solusi,” tegasnya.

Menurut dia, fenomena saat ini, anak-anak lebih cende­rung memiliki intensitas tinggi menggunakan gawai atau telepon pintar dalam aktivi­tas sehari-hari. Padahal, alat elektronik tersebut memiliki keterbatasan apabila terjadi musibah bencana alam.

Sebagai contoh, peristiwa padamnya arus listrik di Ja­karta dan di sejumlah daerah lainnya beberapa waktu lalu yang mengakibatkan aktivi­tas masyarakat lumpuh total. “Efek listrik mati internet juga mati sehingga sebagian orang kebingungan karena keter­gantungan listrik,” kata dia.

Asisten Deputi Tanggap Bencana Kementerian Koor­dinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Ke­menko PMK), Nelwan Hara­hap, mengatakan terdapat tiga kapasitas yang harus dibangun masyarakat dalam menghadapi bencana alam.

Pertama, bagaimana mem­bangun kesadaran di dalam masyarakat. Setiap masyara­kat di Tanah Air harus memiliki kesadaran tinggi bahwa berada di daerah yang rawan bencana alam dengan risiko sedang hingga tinggi.

Kedua, masyarakat harus meningkatkan kapasitas terkait pengetahuan tentang kebenca­naan. Pengetahuan ini dituju­kan agar setiap orang menge­tahui langkah yang mesti dilakukan saat terjadi bencana alam.

“Selama ini banyaknya kor­ban jiwa dalam bencana alam disebabkan kepanikan ma­syarakat. “Pembunuh terbesar dari bencana itu bukan karena peristiwanya, tapi disebabkan diri kita sendiri yang tidak siap menghadapinya,” ujar dia.

Terakhir, untuk memini­malisir korban jiwa saat ben­cana alam, masyarakat harus menguatkan kapasitas keari­fan lokal dan membangun ko­munikasi secara cepat. Karena Golden Time saat peringatan dini hanya berkisar lima menit hingga lima jam serta tergan­tung jenis bencananya. “Dalam penelitian, penyelamatan saat situasi bencana itu 96 persen dilakukan oleh korban dan ko­munitasnya,” kata dia.

Menurut dia, salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu membangun jejaring sosial dan saling mengingat­kan bila terjadi bencana alam. Sebagai contoh, program Da­sawisma yang terdiri dari 10 rumah terdekat saling berkoor­dinasi saat terjadi musibah.

Siaga Bencana

Sementara itu, Kasubdit Kesiapsiagaan dan Mitigasi Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, Ke­menterian Sosial, Tetrie Dar­wis menyampaikan, saat ini Kemensos telah memiliki 638 Kampung Siaga Bencana (KSB) yang tersebar di sejumlah pro­vinsi. KSB ini bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat tangguh bila terjadi bencana alam.

“Kemensos dua minggu yang lalu ke Jepang belajar tentang menghadapi bencana alam dan akan dikolaborasi­kan dengan banyak pihak,” kata dia. eko/Ant/E-3