Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia secara geografis sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Pada 2018 saja, dua ibu kota provinsi di Indonesia dilanda gempa besar: Mataram di Lombok dan Palu di Sulawesi Tengah. Ratusan penduduknya dinyatakan meninggal dunia akibat tak sempat menyelamatkan diri.
Potensi bencana besar pun mengancam kota lain dengan penduduk padat, sebut saja Bandung di Jawa Barat dengan Sesar Lembang, sementara Jakarta dengan Sesar Baribis yang masih misteri melintang di selatan ibu kota.
Melihat kondisi tersebut, pendidikan dan mitigasi bencana menjadi elemen penting bagi masyarakat Indonesia. Center of Excellence Kebencanaan, sebagai wujud pengalaman panjang ACT di bidang kebencanaan, perlu direalisasikan.
Gagasan tersebut bahkan menjadi topik utama yang disampaikan seorang pakar manajemen bencana PBB Dr. Puji Pujiono MSW dalam acara "Sharing with The Master", Kamis (4/7).
Puji Pujiono sebagai Penasihat Senior The Pujiono Centre mengatakan sudah sepatutnya masyarakat perkotaan waspada pada ancaman bencana. Mereka perlu memahami risiko di lingkungan tempat mereka menetap.
"Pengetahuan, praktik keamanan, serta penyelamatan diri perlu dibekali ke semua penduduk, termasuk yang tinggal di perkotaan. Bencana alam tak mengenal waktu kapan akan datang. Malah terkadang masyarakat lupa, padahal tahu kalau mereka menempatkan diri di jalur bencana," ujar Puji.
Menilik kecenderungan Megatrend, sebagian besar penduduk Indonesia pada 2035 akan tinggal di perkotaan. Angkanya mencapai 85 persen. Mereka akan mendapatkan fasilitas hidup yang lebih lengkap dibandingkan pedesaan. Namun, kewaspadaan akan risiko bencana masih diabaikan.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat dapat dimanfaatkan untuk mengurangi dampak dari bencana alam serta bencana kemanusiaan yang mungkin saja terjadi setelahnya. Penyebaran informasi yang cepat dan manusia yang saling terhubung dapat mencegah risiko bencana yang besar.
Puji menyebut, ke depannya dengan memanfaatkan teknologi, masyarakat dapat semakin mudah mengunduh sendiri informasi berkenaan dengan bencana. Mereka dapat memproses dan mengambil tindakan berdasarkan informasi yang didapat.
"Teknologi bakal menjadi penentu suksesnya pengurangan dampak bencana," jelasnya.
Sejauh ini, di Indonesia pemanfaatan teknologi di bidang kebencanaan sudah dilakukan. Walau belum maksimal, ini menjadi harapan besar bagi masyarakat untuk hidup aman di tanah yang penuh ancaman bencana, seperti Indonesia.
Pemerintah sebagai pemilik bertanggung jawab besar atas keselamatan masyarakatnya mutlak menghindari potensi terburuk dari bencana. Puji menambahkan, kehadiran lembaga swadaya masyarakat yang melibatkan masyarakat sipil juga memiliki peran besar di tengah pemerintah yang tak mampu mengatasi dampak bencana secara menyeluruh.
"Saling bersinergi, memanfaatkan teknologi menjadi solusi terbaik antara pemerintah, LSM, serta masyarakat sipil. Mereka saling melengkapi dan bekerja sama untuk menyelamatkan sesama. Walau tak jarang, pemerintah dengan LSM tak satu pandangan dalam suatu hal, tak jadi masalah. Itulah seninya untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat," ungkap Puji yang pernah bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama 25 tahun.
Blog
BNPB: Pemimpin Daerah Harus Memahami Potensi Bencana di Wilayahnya
Liputan6.com, Surabaya - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengatakan bahwa setiap pemimpin daerah harus memahami potensi bencana di wilayahnya serta melakukan upaya-upaya untuk mencegah dan mengantisipasi kemungkinan dampaknya.
"Bupati, wali kota, camat, sampai kepala desa harus mengetahui apa potensi ancaman bencana di daerah masing-masing," kata Doni usai bertemu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, Kamis (11/7/2019) malam.
Mengetahui dan memahami potensi dan ancaman bencana, menurut dia, merupakan bagian dari kesiapan mencegah dan mengantisipasi dampak bencana.
Setelah mengetahui dan memahami potensi bencana di wilayahnya, ia melanjutkan, pemimpin daerah harus menyiapkan strategi pencegahan dan penanggulangan dengan tujuan meminimalkan jumlah korban dan kerugian akibat bencana.
"Pelayanan publik yang terbaik adalah bagaimana negara hadir memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menyelamatkan jiwa manusia," ujar Doni seperti dikutip Antara.
Dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan mencegah dan menghadapi bencana, BNPB antara lain melaksanakan ekspedisi desa tangguh bencana (Destana), yang mencakup sosialisasi dan pelatihan-pelatihan hingga tingkat keluarga.
Doni mencontohkan, daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau teknologi membutuhkan strategi khusus untuk menyampaikan peringatan dini bencana, misalnya dengan meminta warga meletakkan barang yang mudah jatuh pada bagian tertentu dalam rumah untuk menandai gempa.
"Begitu ada gempa kalengnya jatuh, dan itu tanda bahwa dia harus segera meninggalkan rumah. Ini dilakukan terutama saat malam hari atau ketika kita tidur," katanya.
Prediksi Gempa
Doni mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada satu teknologi pun yang memungkinkan memprediksi terjadinya gempa.
"Tetapi, pengetahuan terus berkembang. Mudah-mudahan di kemudian hari teknologi bisa memprediksi kapan gempa akan terjadi. Namun, sejauh ini yang sangat akurat belum ada, hanya saja yang mendekati akurat sudah mulai banyak," pungkas Doni.
BNPB Akan Ekspedisi 584 Desa Rawan Gempa dan Tsunami di Selatan Jawa
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan menyisir 584 desa rawan gempa bumi dan tsunami di kawasan Selatan Pulau Jawa. Ekspedisi ini bertujuan untuk membangun kesadaran dan menumbuhkan sikap kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana.
"Ekspedisi desa tangguh bencana ini program kesiapsiagaan atau pencegahan, kalau selama ini mungkin dianggap bahwa program pencegahan itu dikatakan tidak ada atau sedikit sekali, ini kita sampaikan salah satu program pencegahan adalah ekspedisi ini," kata Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Lilik Kurniawan di Graha BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Rabu (10/7/2019).
Lilik menambahkan, secara keseluruhan desa yang rawan bencana di seluruh Indonesia tercatat ada 5.744 desa. Sedangkan untuk di wilayah Selatan Jawa ada 584 desa. Hal ini akan menjadi titik awal untuk melakukan ekspedisi.
"Kita akan lewati 584 desa rawan tsunami, di Indonesia ada 5.744 desa rawan tsunami, 584 ada di Selatan Jawa. Ini menjadi hal yang penting kenapa kita lakukan di Selatan Jawa, karena dari 584 desa tadi ada kurang lebih 600 ribu masyarakat kita yang tinggal di desa itu rawan tsunami," ujarnya.
Dengan adanya ekspedisi ini, BNPB berharap dapat memperkecil korban bencana alam di wilayah Selatan Jawa. "Menjadi penting bagi kami kalau kemudian kita menyampaikan kalau misalnya hari ini ada tsunami terjadi di Selatan Jawa kami khawatir korban akan sangat banyak, sebelum tsunami terjadi kita harus tangguhkan masyarakat di sana," ujarnya.
Adapun penyelenggaraan ekspedisi ini akan dilaksanakan pada 12 Juni-17 Agustus 2019 dan melibatkan beberapa instansi terkait, mulai dari kementerian, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, para pakar, hingga relawan. Nantinya, mereka akan datangi masyarakat secara langsung dan memberikan edukasi serta simulasi ketika menghadapi bencana.
"Ekspedisi ini akan berlangsung selama 34 hari terbagi menjadi 4 segmen, Jawa Timur 11 hari, kemudian Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dan Banten. Masing-masing segmen akan diikuti oleh 200 orang peserta yang tadi kami sampaikan dari beberapa unsur ada pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, para pakar," tuturnya.
"Kita akan bahu membahu di sana kita akan berpindah titik, untuk mengedukasi masyarakat, untuk menangguhkan mereka, dan tidak kalah penting lagi kita akan menilai 584 desa itu akan kita nilai ketangguhannya. Kita akan sediakan formulir atau buku untuk penilaian ketangguhan desa," katanya. (ari)
Kemendagri Wajibkan Pemda Terlibat Ekspedisi Desa Tangguh Bencana
tirto.id - Kemendagri akan memastikan pemerintah daerah (pemda) terlibat dalam ekspedisi Desa Tangguh Bencana (Destana) yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mulai 12 Juli 2019 mendatang.
"Bukan hanya itu, tapi juga kewajiban pemerintah daerah menyiapkan kegiatan pengurangan resiko bencana," ujar Direktur Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran, Kemendagri, Safrizal saat di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Rabu (10/7/2019). Dia menerangkan, dasar hukum keterlibatan Pemda dalam kegiatan ekspedisi tersebut sudah ada, yakni tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 dan 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
"Peraturan Pemerintahnya sudah, bahkan teknisnya juga sudah ada dalam rangka memastikan kegiatan pengurangan resiko bencana ini bisa diintegrasikan dalam program pembangunan daerah," ujar dia. Baca juga: BNPB Inspeksi Sistem Peringatan Dini Tsunami Pulau Jawa Safrizal menerangkan urusan penanganan bencana perlu diprioritaskan. Bahkan, kata dia, dalam susunan hierarki, penanggulangan bencana menjadi nomor satu dalam urusan pemerintahan.
"Karena, dia [penanggulangan bencana] urusan wajib. Wajib merupakan layanan dasar dan nondasar. Bencana adalah wajib layanan dasar, memastikan daerah melakukan upaya dalam rangka memberitahu masyarakat ancaman yang berpotensi mengancam mereka," ujar Safrizal. BNPB akan melakukan ekspedisi Destana 2019 dengan menyusuri beberapa daerah di pulau Jawa yang berpotensi mengalami tsunami. Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Lilik Kurniawan menjelaskan, ekspedisi Detana 2019 ini akan dimulai dari Banyuwangi, Jawa Timur, meyusuri pantai selatan Jawa, menuju Jawa Tengah, Yogyakarta, kemudian ke Jawa Barat, Pangandaran, Garut dan berakhir di Banten. Menurut Lilik, ekspedisi Destana dilaksanakan mulai 12 Juli mendatang hingga 16 Agustus 2019. Tujuan ekspedisi ini, kata dia, untuk memotret kesiapsiagaan desa terhadap ancaman tsunami. Dia mencatat ada 5.744 desa atau kelurahan yang berada di daerah rawan tsunami. "Mulai dari kelas rawan, sedang dan tinggi. Desa-desa tersebut tersebar diantaranya 584 desa atau kelurahan ada di selatan Jawa. BNPB merespons, salah satunya dengan Ekspedisi Destana ini,” ujar dia.
Baca selengkapnya di artikel "Kemendagri Wajibkan Pemda Terlibat Ekspedisi Desa Tangguh Bencana", https://tirto.id/ed26
Antisipasi Bencana Alam
Salah seorang putra terbaik Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho (Boyolali, 7 Oktober 1969–7 Juli 2019), Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), meninggal Minggu (7/7/). Kanker paru-paru merenggut nyawa peraih anugrah Asian Of The Year 2018 tersebut. Dia telah berjuang keras untuk mengobati penyakitnya tanpa lelah di tengah kesibukan kerjanya.
Kepergian Sutopo yang “mengawal” patroli penyelamatan manusia dari bencana alam, meninggalkan duka mendalam. Dengan keberanian dan kerja kerasnya, para korban bencana alam merasa terbantu dan tertolong. Pemerintah juga berterima kasih kepadanya karena tak kenal lelah menyajikan data dan analisis bencana serta penanggulangannya.
Kematian Sutopo seakan mengingatkan, betapa bencana alam Indonesia dan seluruh dunia, terus bergerak sejalan dengan aktivitas manusia yang merusak alam. Pembangunan yang bertumpu pada anthroposentrisme (manusia), telah mengabaikan daya dukung ekosistem alam. Ini membuat manusia seakan sedang “membangun” habitatnya. Hakikatnya sedang “merusak” kelanjutan hidupnya. Itulah ironi pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam dan memutus rantai ekosistem bumi serta kehidupannya.
David Suzuki, environmentalist Kanada, bertanya adakah manusia yang mampu menyetop aliran udara, menghambat deraan cahaya ultraviolet, menutup atmosfir bumi dari gebrakan gas rumah kaca, dan menghentikan arus laut yang membawa polusi? Tak ada! Karena itu, berbuatlah sesuatu untuk memperbaiki kerusakan Bumi. Sekecil apa pun yang kita perbuat – mungkin hanya menyelamatkan seekor burung kutilang yang kelaparan – itu sama saja ikut menyelamatkan planet bumi dari kehancuran.
Kerusakan planet bumi akibat nafsu angkara manusia mungkin penyebabnya amat sederhana karena orang bebal membunuh seekor siamang di hutan Kalimantan, tanpa memikirkan akibatnya terhadap kehancuran hutan. Dia tidak tahu siamang adalah “penyebar” biodiversitas paling efektif di hutan tropis melalui kotoran-kotorannya yang berserakan di mana-mana.
Tanpa siamang, hutan akan kehilangan biodiversitas, yang selanjutnya, dalam jangka panjang, hutan kehilangan kesuburan dan kekayaan keanekaragaman hayatinya. Jika itu terjadi, degradasi akan menimpa hutan tropis yang kaya keanekaragaman jenis tersebut.
Itulah sebabnya, Suzuki punya motto hidup act locally, think globally. Kita berbuat baik terhadap alam di sini. Ini sama artinya memperbaiki alam di seluruh bumi. Tanamlah pohon duwet di pekarangan, sebagai berkontribusi menyelamatkan dunia. Ini persis seperti firman Tuhan, jika kita membunuh manusia tak bersalah, dosa sama dengan membunuh seluruh umat manusia.
Hal yang sama, jika kita menyelamatkan kehidupan seorang manusia, pahalanya sama dengan menghidupkan seluruh umat manusia. Ayat ini menggambarkan kondisi networking era cyberhumanism abad ke-21 ini. Sutopo menjadi “pengawal” penanggulangan bencana dengan memberikan data dan analisis. Ini sebuah kerja besar yang penuh tantangan karena data kebencanaan terus merangsak dunia ilmu pengetahuan tanpa henti dan terus berubah. Tragisnya, jika pun ada perubahan, menuju ke arah destruksi.
Kekeringan
Hari-hari ini, misalnya, tengah terjadi kekeringan di sebagian besar wilayah Indonesia. Kemarau yang m e n y e n gat dan hilangnya sumber air, menjadi bencana rutin tahunan, yang kondisinya makin parah. Di Gunung Kidul, misalnya, 10 kecamatan: Girisubo, Rongkop, Purwosari, Tepus, Ngawen, Ponjong, Semin, Patuk, Semanu, dan Paliyan sedang menjerit karena kekeringan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Gunung Kidul, Edi Basuki, menyatakan, tahun 2019 kekeringan lebih parah dari tahun lalu.
Selain itu, Sungai Brantas, Bengawan Solo, Kali Cimanuk, dan Kali Citarum airnya terus menyusut. Sejumlah anak sungai sudah mengering. Sementara itu, di tingkat global, hamparan salju di tiga kutub bumi – Arctik (kutub utara bumi), Antarctic (kutub selatan bumi), dan Mount Everest (Puncak Himalaya, kutub atas bumi) kini mulai menghilang.
Menghilangnya salju di Mount Everest, misalnya, akan menyurutkan air di sunga-sungai besar wilayah Hindustan dan Indocina seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Indus, Irawady, Yang Tze, Mekong dan ratusan anak sungainya. Jika sungai-sungai di Asia Selatan tersebut mengering, ratusan juta manusia akan kekurangan air dan tewas mengenaskan dalam beberapa tahun mendatang.
Hutan tropis Indonesia adalah paru-paru Bumi yang menyuplai oksigen ke seluruh dunia. Ironisnya, oksigen dari hutan tropis Indonesia yang disuplai ke seluruh dunia ini, dibayar dengan mengalirnya udara buruk penuh polisi dari kota-kota polutif seperti Bombay, New Delhi, Bangkok, Beijing, bahkan dari kota yang amat jauh seperti Boines Aires dan Los Angeles.
Pukulan telak dari global warming pun tak terelakkan menimpa Nusantara. Kekeringan, kebanjiran, badai, dan gelombang laut tinggi, berkali-kali menghantam wilayah Indonesia. Siapa yang harus disalahkan?
Seperti kata David Suzuki, tak ada kekuatan apa pun yang sanggup menghentikan aliran udara dari satu tempat ke tempat lain baik antarnegara maupun antarbenua. Karena itulah, bencana alam akan selalu menguntit di mana pun, jika kita tidak berbuat sesuatu untuk memperbaiki kelestarian planet bumi. Sekecil apa pun kebaikan terhadap alam, dampaknya bersifat global. Meski mungkin, kita hanya memelihara cebong dan kampret di sekitar rumah, dampak kebaikan makhluk ajaib tersebut akan berakibat positif terhadap keselestarian alam keseluruhan.
Budhha berkata, dalam dirimu terdapat kitab suci yang paling lengkap untuk menuntunmu ke surga kehidupan. Jika orang tak mampu berdamai dengan dirimu sendiri, maka jangan harap bisa berdamai dengan kehidupan. Al Quran menyatakan hanya jiwa-jiwa yang damai dan tenang yang mampu menuju Tuhan dengan kebahagiaan.
Bencana akan selalu menguntit orang-orang yang tak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Sedangkan dari destruksi diri sendiri yang individual, bencana itu – kata David Suzuki – akan mengantarkan manusia pada kiamat global.
Sutopo Purwo Nugroho telah berjasa menginformasikan bencana-bencana alam yang muncul dan akan muncul. Rakyat Indonesia berterima kasih kepada dedikasinya yang tak pernah lelah menyelamatkan bangsa dari bencana. Penulis Dosen Fakultas Kehutanan/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB