logo2

ugm-logo

5 Warga Dilaporkan Hilang saat Banjir Bandang di Labuhanbatu Utara

Labuhanbatu Utara - Banjir bandang menerjang Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Sumatera Utara mengakibatkan sejumlah rumah hanyut dan jembatan antar dusun terputus total. Selain itu, lima orang warga juga dilaporkan hilang.

Banjir bandang itu terjadi di Desa Pematang dan Desa Hatapang, Kecamatan Na IX-X dini hari sekitar pukul 01.30 WIB. Banjir dipicu hujan deras yang menyebabkan sungai Lubuk Natiko serta Sungai Siria-ria meluap dan membawa material kayu serta batu.

"Sampai sore tadi, masih dilakukan evakuasi dan pencarian satu keluarga atau lima orang warga Desa Pematang yang dilaporkan hilang sekaligus membuka akses terisolir di Desa Hatapang," kata Kepala BPBD Sumatera Utara, Riadil Akhir Lubis dimintai keterangan, Minggu (29/12/2019) sore.\Riadil menjelaskan laporan update status banjir bandar hingga sore tadi, Desa Hatapang masih terisolir, sementara di Desa Pematang terparah terjadi di Dusun Siria-ria A dan B.

"Untuk di Desa Pematang, ada 9 unit rumah hilang atau hanyut. 17 unit rumah rusak berat. Lima orang terdiri dari satu keluarga dilaporkan hilang dan belum ditemukan," sebut Riadil.

Kemudian sejumlah jembatan juga hancur dan hanyut, tanah longsor sepanjang 100 meter dengan kedalaman 5 meter serta lahan pertanian warga rusak parah.

"Untuk di Desa Hatapang. Saat ini masih terisolir, tim sedang mencapai lokasi dibantu dengan alat berat sementara warga masih mengungsi di kawasan yang lebih tinggi. Kita terus melakukan upaya pertolongan kepada masyarakat," ujar Riadil.

15 Tahun Tsunami Aceh, Pemantik Kesadaran Mitigasi Bencana Alam

Jakarta, IDN Times - Pada 26 Desember 2004, tsunami terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Bencana dahsyat lima belas tahun lalu itu memakan korban hampir 200 ribu jiwa. Tsunami datang tak lama setelah gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter mengguncang Aceh.

Tsunami Aceh, kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo, adalah bencana besar yang mengubah pola pikir Pemerintah Indonesia hingga internasional tentang bencana.

"Pemerintah berpikir penanggulangan bencana tidak sekedar respons, bukan hanya lebih fokus ke respons, ternyata bisa disiapkan sebelumnya (untuk penanggulangan)," ujar Agus saat dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin (23/12).

1. Pemerintah mengubah pola penanganan bencana alam setelah peristiwa tsunami Aceh

15 Tahun Tsunami Aceh, Pemantik Kesadaran Mitigasi Bencana AlamPFI Aceh menggelar pameran foto bertajuk Tanah Retak dalam memperingati 15 tahun peristiwa Tsunami Aceh (IDN Times/Saifullah)

Sebelum tsunami Aceh, Agus menjelaskan, pemerintah Indonesia hanya memiliki lembaga yang fokus merespons pasca-bencana saja. Lembaga tersebut adalah Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).  

Lalu setelah tsunami tersebut, lahirlah Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU tersebut diatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana.

"...Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi....," bunyi UU Nomor 24 Tahun 2007 Bab 1 Pasal 1 ayat 5. 

2. BNPB lahir setelah tsunami Aceh. Pemerintah akhirnya fokus menanggulangi sebelum, saat, dan pasca-bencana

Sisa-sisa lumatan tsunami di Aceh. (Dok. Rappler)

Satu tahun setelah UU tersebut lahir, tepatnya pada 2008, melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dibentuk lembaga independen yang fokus pada penanggulangan bencana secara nasional yaitu, BNPB. 

Bukan hanya Indonesia, kejadian tsunami Aceh juga mempengaruhi pola pikir internasional dalam melihat sebuah bencana. Agus menjelaskan, melalui peristiwa tersebut penanggulangan bencana pun dimulai dari sebelum, saat, dan sesudah kejadian.

"Mengubah mindset Indonesia dan internasional bahwa penanggulangan bencana sebelum, saat, dan setelah memiliki dampak besar," lanjutnya.

3. Kajian tentang mitigasi bencana dikembangkan setelah peristiwa Tsunami Aceh

Sehari sesudah tsunami Aceh, 26 Desember 2004, warga mencari anggota keluarga yang jadi korban. (Dok. Rappler)

Bukan hanya mengubah mindset, Agus menjelaskan, tsunami Aceh juga menjadi peristiwa yang menjadi bahan riset internasional untuk mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah sebuah langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan dari sebuah bencana.

Agus menjelaskan, melalui peristiwa tsunami Aceh muncul kebijakan pembangunan berbasis mitigasi bencana. Kebijakan tersebut berguna untuk mengatur standar pembangunan di daerah yang rawan bencana. 

"Iya, kebijakan ada, artinya di pinggir (daerah rawan bencana) boleh, tapi ada mitigasi bencananya, jadi persiapan-persiapan, daerah rawan bencana dibangun boleh, tapi harus disesuaikan," ujarnya. 

4. Masyarakat diperkenalkan tentang mitigasi bencana

Ilustrasi simulasi bencana. (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)

Sampai saat ini, tsunami Aceh masih menjadi bahan kajian untuk mitigasi bencana di Indonesia. Selain fokus pada peristiwa bencana, pemerintah juga mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar daerah rawan bencana.

Sosialisasi tersebut berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pada sebelum, saat, dan sesudah bencana. Sosialisasi untuk masyarakat itu bernama Keluarga Tangguh Bencana (Katana).

"BNPB buat Katana, itu buat keluarga menyiapkan menghadapi bencana, agar sadar semua kalau ada bencana banyak yang selamat," jelas Agus.

More Articles ...