logo2

ugm-logo

Blog

Reportase Webinar Divisi Manajemen Bencana

Kurikulum: Disaster Nursing

Kamis, 27 April 2017

Laboratorium Leadership FK UGM


webinar series april

Webinar series dari Divisi Manajemen Bencana untuk April mengangkat topik Kurikulum: Disaster Management. Pertemuan ini dimoderatori oleh Sutono, S.Kp, M.Sc, M.Kep selaku dosen keperawatan FK UGM dan pembicara Syahirul Alim, S.Kp, PhD yang merupakan dosen keperawatan FK UGM.

Pemateri menjelaskan bahwa bencana kesehatan menurut WHO merupakan suatu gangguan serius terhadap fungsi komunitas atau masyarakat yang berdampak pada manusia, ekonomi, atau lingkungan yang melebihi kemampuan komunitas atau masyarakat itu sendiri. Sementara dari Internasional Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) menyebutkan bahwa rumus bencana yakni kerentanan dan bahaya dibagi dengan kapasitas.

Fase bencana dibagi dalam 3 fase yakni pre insiden, insiden, dan post insiden. Perawat memiliki peran penting dari tiap fase bencana tersebut. Berdasarkan Internasional Council of Nurses (ICN) kompetensi perawat dalam bencana dibagi menjadi 10 kompetensi yang dibagi dalam beberapa fase yakni pada fase mitigasi yakni 1) pengurangan risiko, pencegahan penyakit, dan promosi kesehatan, serta 2) perencanaan dan pengembangan kebijakan. Fase kesiapsiagaan terdiri dari kompetensi 1) akuntabilitas, praktek etik dan legal, 2) komunikasi dan berbagi informasi, 3) pendidikan dan kesiapsiagaan. Fase respon terdiri dari 1) perawatan komunitas, 2) perawatan individu dan keluarga, 3) perawatan psikologis, dan 4) perawatan pada kelompok rentan. Sedangkan pada fase pemulihan dan rehabilitasi terdapat kompetensi kebutuhan perawatan jangka panjang.

Saat ini pada program studi ilmu keperawatan FK UGM sedang mengembangkan kurikulum keperawatan bencana, dimana untuk kurikulum ini mencakup 6 SKS. Diharapkan dengan adanya kurikulum ini maka tingkat kesadaran tentang keperawatan dalam bencana akan meningkat. Dalam kurikulum tersebut tidak hanya terdiri dari perkuliahan, namun juga praktikum, skills lab, tutorial, serta akan dimasukkan ke dalam kurikulum dalam pendidikan profesi dengan membuka stase khusus bencana.

Pertemuan webinar kali ini sangat interaktif, karena peserta banyak mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Hal ini dikarenakan keperawatan bencana merupakan suatu hal yang belum banyak diimplementasikan baik dalam dunia pendidikan maupun dalam praktek di rumah sakit. Harapannya profesi dari perawat bencana yang tergabung dalam Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (HIPGABI) ikut berperan dan menjembatani untuk peningkatan kompetensi bagi seluruh perawat tentang keperawatan bencana dan dapat bergabung dalam Emergency Medical Technicians (EMT) pada saat terjadi bencana.

Reporter: Wisnu Damarsasi, MPH

wadem2017

Hari 1

Panel 1

Sesi Pleno 1 (PL01:WHO/WADEM Panel)

25 April 2017

Reportase oleh: Madelina Ariani


1 wadem panel 1

Panel perdana ini masih diselenggarakan di ruangan ballroom, Welllington. Panel ini menghadirkan 6 pembicara sekaligus. Presentasi yang disampaikan antara lain mengenai berbagai isu, pembelajaran, dan update keilmuan dan framework terbaru dalam kebencanaan.

Virginia Murray mengingatkan kita kembali pada kesepakatan Sendai Framework tentang pengurangan risiko bencana. Masing-masing negara telah berkomitmen untuk menyelenggarakan framework tersebut maka tugas kita untuk berkontribusi didalamnya. Murray juga menyampaikan bahwa bentuk update dari Sendai framework akan lebih jelas pada pertemuan 5th Global Platform for Disaster Risk Reduction in Cancun, Mexico, pada 22 hingga 26 Mei 2017.

Luca Ragazoni menyajikan hal yang baru mengenai pembelajaran bencana di perguruan tinggi dan dimana letak kontribusi mahasiswa dalam aksi pengurangan risiko bencana dan kemanusiaan. Jika berbicara pengurangan risiko bencana maka kita memerlukan penguatan kapasitas dan ketahanan. Siapa saja harus berkontribusi dalam upaya tersebut. Termasuk calon tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran dan kesehatan. Contoh mengenai penyakit kronis, jejang karir, kekhususan telah diberikan kepada mahasiswa kedokteran sejak awal perkuliahan sehingga mereka memiliki gambaran yang baik mengenai masa depan mereka. Namun, pada bencana, semuanya belum diberikan dengan baik di perguruan tinggi, baik prinsip, program, hingga spesialisasinya. Luca bersama koleganya di CREMIDEM ITALY mengembangkan berbagai pelatihan mengenai ini dan membuka kesempatan untuk memberikan training for trainer lebih luas lagi.

Jika sebelumnya Luca berbicara mengenai kurikulum bencana, maka pembicara ketiga membahas tentang Global Disaster Health Initiatives in Research and Knowledge Management. Hanya ada 3 poin yang disampaikan, pertama mengenai hadirnya predator publishing yang menjadikan publikasi penelitian kesehatan sebagai ladang bisnis. Kedua, mengenai masih sedikitnya penelitian mengenai kebencanaan yang bisa terbit karena penelitian bencana masih bersifat deskriptif dan masih perlu standar dalam penetapan validitasnya. Ketiga, kabar baiknya adalah penelitian kebencanaan khususnya pengurangan risiko bencana didukung oleh Sendai Framework yang menjadi prioritas global.

Erin Downey menyampaikan mengenai Violence in Health. Paparan yang dimulai dengan video yang menceritakan sebuah ambulan yang mengangkut korban harus terhambat perjalanannya ke rumah sakit karena situasi keamanan dan akhirnya ambulan tersebut terkena sasaran bom. Maknanya sektor kesehatan merupakan sektor yang harus dikuatkan oleh semua kalangan. Masyarakat harus diberikan pengertian mengenai perlindungan layanan kesehatan sehingga penyelamatan hidup pasien, korban dan kesehatan masyarakat bisa menjadi prioritas bagi semua orang.

EMT atau Emergency Medical Team menjadi paparan selanjutnya. Martin sebagai perwakilan dari WHO Emergency Program menyampaikan mengenai definisi EMT dan minimum standar agar dapat disiapkan oleh semua negara. Mengutip ucapan dari Ian Norton pada EMT Global Meeting 2016 di Hongkong “In clinical care and health response, “good intentions” are not enough”, Martin mendorong semua negara menyiapkan EMT masing-masing baik untuk respon nasional maupun antar negara. Gunakanlah standar internasional untuk dikembangkan dalam menyusun standar nasional.

Terakhir, Michael You dari WHO Africa menyampaikan mengenai reformasi dukungan internasional mengenai kesiapsiagaan dan respon terhadap kasus epidemi. Upaya pengurangan risiko pada dasarnya adalah upaya mempersiapkan sistem kesehatan untuk siap dalam menghadapi situasi bencana ataupun emergency.

Enam paparan singkat di atas cukup membangkitkan pemikiran kita mengenai perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan kita terhadap situasi krisis dan bencana khususnya di sektor kesehatan. Pemerintah Indonesia termasuk yang berkomitmen dalam upaya pengurangan risiko bencana yang salah satunya tertuang dalam Nawacita Presiden Jokowi. Begitu juga dengan pengembangan kurikulum dan penelitian mengenai kebencanaan. Sejak kejadian bencana tsunami 2004, perkembangan kurikulum kebencanaan untuk mahasiswa kedokteran, kesehatan masyarakat, keperawatan berkembang dengan pesat termasuk pada sekolah-sekolah tinggi kesehatan seperti kebidanan. Tantangannya juga tidak jauh berbeda dari pengembangan kurikulum bencana di perguruan tinggi kesehatan, yakni standar pengembangan kurikulumnya. Banyak perguruan tinggi kesehatan yang mengembangkan kurikulum bencana berdasarkan pengalaman dan pendapat umum dari pada berdasarkan bukti (evidence) dan kompetensi yang dibutuhkan ke depannya.

Sedangkan untuk EMT, sejak 2016 Indonesia mulai merumuskan kembali mengenai EMT. Pada dasarnya Indonesia sudah memiliki EMT dari dulu, meski hingga saat ini masih dengan nama-nama yang berbeda sesuai institusi/organisasi tetapi upaya untuk mengadaptasi dan mengembangan standar internasional EMT ke standar nasional sudah mulai dilakukan oleh kementerian kesehatan.

 

Reportase

Webinar Logistik Medik Pada Bencana

30 Maret 2017


webinar logistik bencana

Webinar series divisi manajemen bencana PKMK FK UGM untuk Maret mengangkat topik Kesiapsiagaan Logistik Medik pada Bencana: Refleksi Seminar ASM Pokja Bencana 9 Maret 2017. Webinar tersebut dimoderatori oleh Intan Anastasia, S.Far., Apt., M.Sc dan materi yang pertama disampaikan oleh dr. Sulanto Saleh-Danu, Sp.FK dari Pokja Bencana FK UGM.

Logistik merupakan suatu hal yang penting dalam segala aspek, hal yang sama berlaku saat keadaan bencana. Bencana merupakan suatu keadaan yang bisa datang setiap saat, sementara sebagai penentu berhasil atau tidak penanganan bencana tersebut berdasarkan logistiknya. Salah satu dampak bencana adalah munculnya suatu penyakit menular/ infeksi. Fakta yang terjadi pada bencana di Bantul yakni berkembangnya penyakit infeksi, bantuan yang berlimpah, tidak ada bantuan vaksin, bahan/ obat kadaluarsa pendek, buffer stock belum terseragamkan, dan adanya inkoordinasi antara bantuan logistik.

Pada saat bencana, terjadi banyak organisasi dan lembaga yang memberikan bantuan dan pertolongan. Dalam kegiatan bantuan atau pertolongan tersebut dibutuhkan suatu logistik yang memadai. Salah satu penyakit yang terjadi pada saat bencana di Bantul adalah tetanus, yang disebabkan oleh faktor kebersihan, kejatuhan puing-puing rumah, tertusuk paku yang berkarat, dan lain-lain.

Terdapat 3 fase dalam penanganan bencana, yaitu pra bencana, respon bencana, dan pasca bencana. Kegiatan yang dilakukan pada saat pra bencana seperti assesment tingkat risiko dimana dari BNPB telah memiliki buku panduan yang dapat digunakan sebagai acuan. SDM pun harus dipersiapkan, terutama skill dalam penanganan bencana sehingga pada saat bencana terjadi maka tim telah siap. Logistik juga harus dipersiapkan sebelum terjadinya bencana. Dalam 3 fase tersebut diperlukan logistik dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Penanganan bencana pada setiap daerah diperlukan manajemen bencana, disaster plan, serta terdapat rumah sakit yang telah memiliki Hospital Disaster Plan (HDP). Rencana persiapan yang sangat matang diperlukan dalam mitigasi, selain itu juga tetap perlu disiapkan untuk rencana cadangan. Tim surveilans dan tim Rapid Health Assesment (RHA) perlu dipersiapkan untuk berangkat ke medan bencana dengan tujuan untuk mendapatkan data dan mengetahui situasi pada lokasi bencana.

Logistik yang diperlukan dalam bencana bukan hanya dalam kesehatan yakni obat dan peralatan penunjang kesehatan, melainkan juga diperlukan logistik non kesehatan seperti: air, makanan, kebutuhan administrasi, tempat berlindung dan kelistrikan, kebutuhan pendidikan, dan seterusnya. Kebutuhan yang diperlukan oleh relawan juga diantaranya tenaga yang terlatih, transportasi, komunikasi dan aksesibilitas, serta peta lokasi.

Donasi akan sangat banyak berdatangan pada saat bencana, sehingga diperlukan pengecekan seperti item yang diberikan, jumlahnya, siapa donaturnya, kadaluarsa, dan lain-lain. Perlu diperhatikan juga untuk penyimpanan, sehingga diperlukan gudang penyimpanan obat dalam tiap kabupaten. Gudang tersebut juga dipastikan untuk daya tampungnya, lokasi, fasilitas, dan pendingin untuk obat tertentu.

Pembicara kedua oleh Danang Samsu, ST yang merupakan manager Pusdalob BPBD DIY. Logistik sangat penting dalam segala hal, karena tanpa logistik maka kegiatan tidak akan berjalan. Manajemen logistik juga diperlukan mulai dari saat penerimaan, penyimpanan obat, distribusi, hingga pertanggungjawaban yang mungkin diperlukan penghapusan obat juga. Untuk wilayah DIY juga telah dibentuk klaster logistik oleh BPBD, dimana untuk jangka panjang akan bekerjasam dengan klaster kesehatan dalam penanganan bencana. Dalam klaster harus terdapat 1 komando, agar koordinasi lebih mudah dan tidak mengurangi kekacauan.

Pertanyaan pun banyak diajukan oleh peserta webinar baik yang hadir pada lokasi maupun yang mengikuti secara online. BPBD saat ini telah menyiapkan desa tangguh bencana dimana warga juga dilatih mengelola logistik, sehingga diharapkan warga tetap dapat bertahan setidaknya 3 hari tanpa bantuan dari luar. Saat ini juga telah dipersiapkan logistik untuk makanan, dimana bekerja sama dengan toko, supermarket serta supplier dan dipastikan untuk logistik tersebut akan selalu baru.

Undang - Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, menyatakan bahwa penanggung jawab pada bencana adalah pemerintah daerah. Uji kompetensi diperlukan agar pemda lebih percaya diri untuk memimpin, karena selama ini justru dari NGO atau lembaga eksternal yang mengatur dan memberikan komando. Peraturan tersebut dapat digunakan untuk dasar dalam proses hukum bahkan sampai ke pidana apabila terdapat lembaga atau organisasi yang tetap tidak mau menurut.

 

Reporter: Wisnu Damarsasi, MPH

Reportase Sesi 1. Kebijakan Logistik Medik

Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana:
Study Kasusu Tetanus pada Gempa Yogyakarta untuk Pencegahan pada Gempa Pidie Jaya 2016

Kamis, 9 Maret 2017
Gedung Senat Lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM


sesi1 asm
Sesi 1 ini ditujukan untuk membahas kebijakan logistik medik. Untuk itu, narasumber yang dihadirkan berasal dari regulator baik di tingkat nasional maupun internasional. Narasumber kali ini adalah dr. Achmad Yurianto yang merupakan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes dan Bapak Yulian Yogadhita, S.Farm, Apt dari WHO Indonesia.

dr. Hendro Wartatmo, Sp.BD selaku penasihat Pokja Bencana FK UGM, menjadi moderator pada sesi ini. Dalam pengantarnya beliau teringat bahwa pada suatu kejadian bencana beliau dan tim pernah menerima obat-obatan berbahasa Jepang dan tidak ada bahasa inggris juga yang bisa dimengerti. Kedepannya harusnya sudah tidak ada lagi pengalaman yang seperti ini.

achmad

Bahasan kita hari ini sebenarnya dapat kita rangkum dalam upaya monitoring layanan kesehatan pada saat bencana. Hal ini benar-benar strategis dan berkaitan sekali dengan perencanaan dan peningkatan kapasitas pada saat terjadi bencana. Menyinggung yang disampaikan oleh moderator tadi mengenai permasalahan label obat bantuan, itu menunjukkan kalau pada saat itu, kita memang belum siap termasuk merencanakan penerimaan bantuan logistik medik pada saat bencana.

Kaitannya dengan penanganan logistik, setiap daerah di Indonesia harusnya sudah merujuk pada DAK Bidang Kefarmasian yang sudah mengharuskan setiap daerah memiliki perencanaan buffer stock. Harusnya, setiap daerah memperhitungkan dengan benar buffer stock ini berdasarkan kontijensi krisis kesehatan dan bencana yang ada di daerahnya.

Sedangkan penanganannya berbasis klaster. Kita ada di klaster kesehatan yang terdiri dari sub-sub klaster lagi. Sub klaster yang berkaitan dengan logistik ini adalah sub klaster layanan kesehatan.

Peran pengurangan risiko bencana dibidang kesehatan ini merupakan asset yang harus dikelola oleh dinas kesehatan. Bukan pada masa responnya tapi pada saat pemulihan dininya dan kembali lagi pada masa pra bencana sebagai bentuk kesiapsiagaan.

sesi webinar who

Pemateri kedua memaparkan tentang internal dan external preparedness, koordinasi, dan pembelajaran dari gempa Nepal. Beliau lebih banyak membahas mengenai kasus yang pernah dialami seperti pemusnahan obat bantuan pada gempa Padang dan gempa Jogja. Obat yang dimusnahkan jumlahnya hingga 10 ton dan membutuhkan dana yang besar.

Menyambung permasalahan penerimaan bantuan obat yang tidak sesuai dan logistik medik lainnya, erat kaitannya dengan upaya peningkatan kapasitas petugas penerimaan logistik di lapangan. Biasanya yang menerima adalah BNPB atau TNI diluar sektor kesehatan. Artinya, upaya peningkatan kapasitas penerimaan bantuan ini juga harus memperhatikan peningkatan kapasitas lintas sektor, tidak hanya petugas kesehatan.

Logistik dalam ICS mendapat perhatian serius karena ketika itu menjadi bencana internasional maka WHO menjadi koordinator kesehatannya yang menerima bantuan ini. Jika tidak sesuai kebutuhan maka bisa untuk ditolak. Pertanyaannya, bagaimana kompetensi SDM penerima logistik dan sistem perencanaan penyimpanannya, distribusinya, pelaporannya di tingkat nasional dan daerah? Ini yang harus masuk dalam perencanaan tiap-tiap daerah sesuai dengan kontijensi yang disepakati.

tanya jawab

Masuk ke sesi diskusi, dr. Wiliam dari Medicuss Foundation, Pak Sutono dari PSIK FK UGM, dan Pak Budi dari RS PKU serta Pak Dodi dari PKK. Secara umum diskusi seputar kekacuan penanganan pada saat bencana, standar obat-obatan yang harus disiapkan untuk rumah sakit seperti apa, serta lemahnya koordinasi lintas sektor dalam penanganan bencana di daerah. Dapat dirangkum bahwa the most problem in disaster respond was not-single resources but control and coordination. Bagaimana kerjasama lintas sektor hingga pengaturan di sektor kesehatan sendiri harus dikuatkan dengan seringnya melakukan kontak dan kerjasama.


Reportase: Madelina A

Reportase Sesi 2. Kebijakan Logistik Medik

Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana:
Study Kasusu Tetanus pada Gempa Yogyakarta untuk Pencegahan pada Gempa Pidie Jaya 2016

Kamis, 9 Maret 2017
Gedung Senat Lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM

sesi2

Pada sesi kedua seminar tentang logistik medik ASM 2017 dimoderatori oleh Sutono, S.Kp., M.Sc, M.Kep. Materi pertama dipaparkan oleh dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS tentang kasus infeksi saat bencana. Jurnal tentang bencana yang saat ini sering dibahas oleh peneliti yakni tentang cara mencegah dan mengendalikan natural disaster. Banyak penyakit yang muncul pada saat bencana, seperti diare, tetanus, demam, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga bencana di negara lain.

Faktor resiko yang menyebabkan munculnya penyakit pada saat bencana antara lain populasi yang terlalu banyak, minim air bersih dan sanitasi yang buruk. Untuk itu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular merupakan termasuk tindakan yang dilakukan di pengungsian. Pemerintah pun telah membuat suatu pendoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana serta lesson learnt penanganan krisis kesehatan.
Tercatat pada gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah beberapa kasus tetanus, dan terbanyak di RS Sardjito sebanyak 22 kasus. Prosentase penderita tetanus mayoritas terjadi pada usia di atas 50 tahun sebanyak 70,43% dan apabila dilihat dari gender maka terbanyak pada pria sebanyak 57,75%.
Materi kedua dipaparkan oleh dr. Ninik dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul yang membahas tentang bencana gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Bantul. Tahun 2016 terjadi bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul yang berpengaruh pada kualitas air yang langsung menjadi kurang baik dan berdampak timbulnya penyakit. Pada saat bencana tersebut dibuat dapur umum, dimana tidak dapat dikontrol untuk kualitas makanan dan bantuan nasi bungkus yang dimakan pada esok harinya sehingga menyebabkan diare.

Kasus tetanus juga terjadi karena terkena reruntuhan bangunan akibat gempa, dimana atap rumah warga banyak yang menggunakan seng serta paku yang bertebaran. Warga Bantul banyak yang memelihara sapi di dekat rumahnya, sehingga pasca bencana warga lebih fokus pada rehabilitasi rumah serta binatang peliharaan dan tidak memperhatikan luka yang dialami. Warga pun masih sangat minim pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi akibat luka.
Kasus tetanus di Bantul mayoritas terjadi pada usia di atas 45 tahun sebanyak 60%, hal ini terjadi karena pada saat itu belum ada kebijakan imunisasi dasar lengkap seperti sekarang ini. Apabila dilihat dari gender maka 80% terjadi pada pria karena perempuan terpapar imunisasi lebih banyak. Selama kurang dari 24 hari pasca bencana, telah terjadi 50 kasus tetanus ditemukan.

Penerimaan logistik medis pasca bencana banyak berdatangan dari berbagai sumber baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga perlu adanya pengelolaan yang tepat. Distribusi obat tidak hanya diberikan kepada fasilitas kesehatan namun juga ke posko-posko yang banyak muncul secara mendadak. Pengelolaan logistik tersebut menggunakan sistem 1 pintu baik penerimaan maupun pendistribusian.

Persediaan obat tetanus pada gudang obat yang dimiliki Dinas Kesehatan Bantul sangat minim. Sementara bantuan yang berdatangan tidak ada yang memberikan pengobatan untuk tetanus, hanya antibiotik dan analgesik saja. Namun terdapat solusi karena selama bencana sesuai kebijakan nasional untuk pengadaan diperbolehkan secara langsung tanpa melalui tender.

Permasalahan yang terjadi yakni obat dari donatur seringnya tiba-tiba datang tanpa adanya koordinasi dan obat yang dikirim tidak semua bagus, karena ada yang waktu kadaluarsanya pendek. Pemusnahan obat pun sempat dilakukan yang dianjurkan oleh WHO kurang lebih 10 ton. Berdasarkan dari pengalaman tersebut maka dilakukan perubahan pada gudang obat dimana dibuat 10-20% buffer stock oabt serta obat untuk kebutuhan rutin yang mencukupi selama 18 bulan. Jumlah persediaan Anti Tetanus Serum ATS) pun sekarang lebih diperbanyak, serta pengadaan ATS yang menggunakan e-katalog untuk pengirimannya dilakukan 3 kali. Hal ini dengan tujuan agar memiliki tanggal kadaluarsa yang berbeda.

Materi ketiga tentang kasus tetanus pada gempa bumi Pidie Jaya tahun 2016 dipaparkan oleh dr. Hasnani, M.Kes dari P2KK Aceh yang dilakukan menggunakan media webinar. Pada bencana tersebut, dinas kesehatan Aceh berkoordinasi dengan RSU Zainal Abidin Banda Aceh dalam hal menerima pasien, serta mendirikan pos koordinasi kesehatan. Fase tanggap darurat hari ke-2 maka telah dibentuk tim kesehatan, dimana seluruh divisi dari Dinkes Aceh bergabung bersama tim P2KK Aceh pada klaster kesehatan. Bantuan segera datang setelah bencana terjadi, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah tim relawan membantu dalam situasi yang timbul akibat bencana. Diketahui terdapat kurang lebih 1.174 relawan yang telah terjun dalam bencana.

Fasilitas kesehatan banyak yang mengalami kerusakan, terutama yang paling banyak terjadi yaitu puskesdes. Banyak penyakit juga yang timbul akibat bencana, seperti ISPA, diare, penyakit kulit, dan penyakit lain. Cakupan imunisasi pada gempa Pidie Jaya melingkupi imunisasi campak sebesar 95,02% dari target 5.500 balita, dan imunisasi tetanus sebanyak 67,63% dari 275 relawan. Tidak ditemukan kasus tetanus baik sebelum bencana maupun dari para relawan pada masa tanggap darurat.
Materi terakhir disampaikan oleh dr. Sulanto Saleh Danu, Sp.FK tentang logistik medik pada bencana. Erat hubungannya antara bencana dengan infeksi, dimana infeksi terjadi apabila muncul gejala patologis. Besar kecilnya logistik dalam bencana dipengaruhi oleh macam bencana, besar kekuatan, lokasi bencana, jumlah korban dan populasi penduduk.

Dampak dari bencana menimbulkan trauma, komplikasi, dan penyakit seperti tetanus. Sementara tindakan pasca bencana pada korban maka perlu dilakukan triase, perawatan luka, stabilisasi, serta tindakan pencegahan. Berdasarkan dari beberapa bencana yang terjadi di Indonesia, maka sangat perlu dilakukan pengelolaan logistik baik medis maupun non medis. Tiap bencana selalu berdampak pada kesehatan manusia, banyak penyakit yang akan timbul, salah satunya yaitu yang diakibatkan oleh infeksi. Penatalaksaan infeksi sendiri diperlukan anti infeksi, vaksin serum dan pendukung lainnya.

Reporter: Wisnu Damarsasi