logo2

ugm-logo

Blog

Mewujudkan SPGDT-S dan SPGDT-B Terintegrasi Pra, Intra dan Inter Hospital Secara Nasional

Notulensi INDO HCF Expert Meeting:

Mewujudkan SPGDT-S dan SPGDT-B Terintegrasi Pra, Intra dan Inter Hospital Secara Nasional

http://bpbd.pemkomedan.go.id/foto_berita/66DSC_0550.JPG

Jakarta. INDO HCF menyelenggarakan expert meeting pada 1 Desember 2016, forum ini telah lama menggerakkan banyak diskusi terkait kegawatdaruratan. Kali ini, INDO HCF mengundang para ahli dari bidang terkait, yaitu Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, SpB, SpOT; Prof. Dr. dr. Aryono D Pusponegoro Sp. B (K)-BD, FINACS, FRCS (Ed); dr. Hendro Wartatmo, Sp.BD; David Handojo Muljono, MD, Sp.PD, FINASIM, Ph.D, serta dr. Tri Hesty Widyastoeti Marwotosoeko, Sp.M (Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan, Ditjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes). Pertemuan ini bukan yang pertama, upaya INDO HCF untuk concern terhadap isu kesehatan telah dilakukan berulang kali, antara lain:  penelitian terkait pelayanan JKN di puskesmas (KIA), serial diskusi panel JKN, isu strategis, serta berbagai penelitian dan pelatihan yang terkait bidang tersebut.

Faktanya, hingga saat ini banyak pakar di bidang kesehatan tetapi tidak bisa dimanfaatkan di daerah.

Ide terlaksananya expert meeting kali ini ialah bagaimana menurunkan angka emergensi di Indonesia. Menurut WHO dalam kematian akibat lalu lintas nomor 3, setelah Tiongkok dan India. Harapannya, forum semaca ini dapat mengumpulkan komunitas terkait, diskusi bersama dan akhirnya saling terinformasikan. Masalah utama dalam penanganan bencana ialah tidak ada info tenaga medis yang akurat, tegas dr. Supriyantoro (Ketua INDO HCF) dalam sambutannya. Selain itu, perlu juga dilakukan penguatan di tingkat masyarakat dan hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Tema yang diambil kali ini yaitu SPGDT yang harapannya bukan hanya membentuk call center. Masih muncul pula isu dalam rujukan, seharusnya ini menjadi tanggung jawab RS, merujuk, menginformasikan keadaan dan mengirim pasien. Pernyataan dari Supri ialah perlukah ada wadah untuk merumuskan banyak hal untuk kebijakan-kebijakan RS.

Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kementrian Kesehatan RI menyatakan, dalam manajemen bencana kita tidak ada manajemen resiko yang benar-benar baik. Dalam pemaparannya terkait Kebijakan Pemerintah dalam Pemerintah SPGDT-S dan SPGDT-B, harapannya  dalam penanganan korban dapat mempercepat waktu penanganan korban. Kita harus banyak mencontoh pengalaman Tokyo, yang dapat mengirim ambulans maksimal 10 menit sejak dipanggil. Hal ini sudah ditiru Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Tulungagung yang tidak banyak mengalami kemacetan.

Public safe center wajib dibentuk di seluruh daerah, di 540 kabupaten namun baru127 yang terhubung dengan call center 119. Latar belakang pentingnya SPGDT:

  1. Berubahnya pola penyakit (kecelakaan menduduki urutan ke-2 saat ini)

  2. Meminimalisir  kecacatan atau kematian.

Kemenkes membutuhkan masukan dari pakar dan asosiasi profesi. Masukan untuk masalah terkait pasien dapat disampaikan ke bagian layanan kesehatan (yankes) dan khusus untuk masalah terkait bencana dapat disampaikan ke Pusat Krisis Kesehatan (PKK) baru ke yankes.

dr. Hendro Wartatmo, Sp. BD (FK UGM) menyatakan SPGDT sudah dimulai sejak terbitnya peraturan Sekjen pada 2003. Pada periode 1996-2004, SPGDT dijalankan melalui Pusbankes 118 PERSI DIY. SPGDT merupakan perpaduan antara unit-unit pelayanan kesehatan. Sementara, call center adalah konsekuensi logis, bagian dari komponen saja. Nama awal SPGDT ialah Deklarasi Makkasar tahun 2000, mama kedua yaitu Brigade Kesehatan Bencana. Pengalaman Hendro, Tim Bantuan Bencana UGM mendarat di Meulaboh, pasca tsunami, menumpang pesawat Mensos saat itu. Tim pertama berangkat, iuran dari kantong pribadi. Jika sudah ada sistem, pemberangkatan tidak sulit, terang Hendro. Kemudian, program ini dilanjutkan hingga 2 tahun dan dinamai Aceh Supporting Program dan di-back-up oleh FK UGM serta RS Sardjito.

Saat ini tim Pokja Bencana UGM mengembangkan secara teknis dan manajemen. Manajemen bencana telah menjadi intrakurikuler di FK UGM di program S1 dan S2. Hendro juga menjadi anggota World Association Disaster and Management (WADEM) agar dapat terus berkontribusi pada upaya penanganan dan manajemen bencana di Indonesia. Hendro memaparkan seharusnya insider commander berasal dari BNPB.

David Handojo Muljono, MD, Sp.PD, FINASIM, Ph.D (FK Univ. Hasanudin) memaparkan “Memasyarakatkan SPGDT sehari-hari dan efisien”. Handojo menyatakan masih banyak praktek membawa pasien ke RS dengan kendaraan umum/pribadi. Sayangnya baru 4,7% dari seluruh daerah di Indonesia yang memiliki layanan  gawat darurat. Sebaiknya ada pelatihan yang diinisiasi pemerintah, agar terjadi keterpaduan antara pemerintah dan masayarakat dalam kegawatdaruratan,

Prof. Dr. dr. Aryono D Pusponegoro Sp. B (K)-BD, FINACS, FRCS (Ed) memaparkan “Kontroversi dalam penanggulangan kegawatdaruratan”. Salah satu fakta yang menjadi kontroversi ialah di beberapa daerah call center tidak bisa ditelpon karena listrik mati. Aryono berpendapat komandan dalam penanganan bencana atau insider commander sebaiknya polisi sebagai komandannya, karena ia memiliki fungsi secara law and order. Untuk setiap daerah/kota harus membentuk public safety center, ada polisi, ambulans dan damkar.

Pengalaman di lapangan. pasca bom Bali 1, Aryono berhasil melatih 3000 pecalang, sehingga saat bom Bali 2 pecalang. Menurut Aryono, triase harus dilatihkan ke pihak pengamanan hotel jika ada ancaman kecelakaan/bencana di sekitar hotel. Poin yang dapat disimpulkan, sejauh ini tenaga penanganan bencana di Indonesia masih not well organized dan not well trained.

Beberapa poin penting. Pertama perlu dipikirkan juga untuk evakuasi korban di daerah terpencil dan perbatasan, bagaimana sistemnya. Kedua,  pelibatan masyarakat selalu bisa coba dilakukan, seperti di Jatim yang telah terbentuk Forum Pengurangan Bencana. Di Sleman, saat erupsi stakeholder berhasil menggerakkan komunitas melalui Jalin Merapi (radio komunitas). Selain itu, perlu tokoh dari pemerintah yang mau terjun memimpin, seperti di negara tetangga, Malaysia, Wakil Perdana Menteri yang langsung mengkoordinir setiap kasus emergensi bencana nasional. Ketiga, permintaan dari peserta yaitu BNPB ialah pemerintah tergerak untuk menyusun pelatihan agar Tim Reaksi Cepat diberi pelatihan yang akan bermanfaat di lapangan. Sayangnya sudah ada BPBD daerah yang memiliki ambulans, namun tidak ada paramedisnya. Keempat, kelemahan dalam penanganan bencana ialah sistem dan integrasi yang belum kuat. Tantangan ke depan ialah pengembangan flying healthcare untuk menjawab kebutuhan di pulau-pulau yang terisolasi atau sulit dijangkau melalui transportasi darat. Prof Idrus menambahkan, ke depan, perlu dilakukan pengorganisasian relawan (W).


pdf icon Materi Presentasi

Pembukaan Pameran Ilmiah
Manajemen Bencana Kesehatan di Indonesia

Lobby Auditorium Fakultas Kedokteran UGM
Senin, 31 Oktober 2016

Reportase oleh Intan Anatasia N.P.


 

pameran ilmiah

Pameran ilmiah manajemen bencana kesehatan merupakan kegiatan rutin yang  dilaksanakan ke-6 kalinya di Fakultas Kedokteran UGM. Pameran ini diadakan oleh Pokja Bencana FK UGM dan Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM. Pembukaan pameran ilmiah manajemen bencana kesehatan diawali dengan sambutan oleh Ketua Pokja Bencana FK UGM, dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS. Dalam sambutannya, Handoyo menyampaikan bahwa harapannya di tahun depan pameran ini bisa disertai dengan simulasi bencana.

Sambutan kedua disampaikan  oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes, MAS, Ketua Blok D2 Pendidikan Dokter regular/internasional.  Dalam sambutannya, Andre  menyampaikan bahwa senang sekali dengan adanya kegiatan pameran yang rutin dilaksanakan ini karena bermanfaat ntuk mahasiswa dalam mendukung proses pembelajaran. Andre juga menyampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Pokja Bencana, divisi manajemen bencana PKMK FK UGM beserta seluruh pihak yang telah mendukung sehingga terlaksananya pameran ini. Beliau berharap dari POKJA Bencana FK UGM akan mengadakan praktek simulasi bencana di FK UGM tahun depan untuk melihat kesiapsiagaan mahasiswa terhadap bencana.

Sambutan ketiga diberikan oleh Dr .dr. Wahyudi Istiono, M.Kes selaku perwakilan CFHC. Dalam sambutannya, Wahyudi memaparkan mengenai kegiatan CFHC dalam kebencanaan. Salah satunya adalah sudah melakukan simulasi bencana bersama mahasiswa FK UGM. Salah bentuk refleksi dari kegiatan kebencanaan adalah mahasiswa diminta untuk membuat poster mengenai bencana dan dipamerkan di Pameran Ilmiah Tentang Manajemen Bencana Indonesia pada tahun ini.

Sambutan keempat diberikan oleh perwakilan dekanat FK UGM, Dr. dr. Ibnu Purwanto, Sp. PD K-HOM. Dalam sambutannya, Ibnu merasakan bahwa banyak sekali manfaat dari pameran ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa FK UGM mengenai bencana mengingat banyaknya bencana yang telah terjadi di Indonesia. Harapannya agar pameran ini bisa terus dilaksanakan dan semakin meningkat tiap tahunnya.

Setelah sambutan, perwakilan dekanat  FK UGM didampingi ketua Pokja Bencana FK UGM, Ketua Blok D2 pendidikan dokter, perwakilan CFHC beserta kepala divisi manajemen bencana FK UGM memotong pita sebagai tanda dibukanya pameran ilmiah manajemen bencana kesehatan di Indonesia. Setelah pemotongan pita, perwakilan dekanat FK UGM berkeliling menuju stand MER-C, ASB, FK UGM dan Tim Bantuan Medis Mahasiswa FK UGM, serta PMI.

Bimtek Peningkatan Kemampuan Petugas Dan Penyusunan Dokumen Penanggulangan Bencana Di Puskesmas

Yogyakarta, 24 Oktober 2016
Reportase oleh Intan Anatasia N.P

Doc. PKMK FK UGM. dr. Bella Donna, M.Kes saat memberi materi

PKMK-FK UGM-- Wilayah Kabupaten Seman secara geografis dan geologis termasuk daerah rawan bencana, baik yang disebabkan karena peristiwa alam maupun karena faktor manusia. Bencana alam yang dapat terjadi di kabupaten Sleman, seperti gempa bumi, gunung meletus, angin puting beliung, banjir, petir dan tanah longsor. Dengan latar belakang dan kondisi seperti itu, maka semua pihak dituntut peran sertanya dalam mengantisipasi dan menghadapi segala resiko bencana yang bisa ditimbulkan sewaktu-waktu. 

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bertanggung jawab di wilayah kerjanya. Kondisi sehat, aman dan sejahtera merupakan idaman masyarakat pada masa ini maupun masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya kejadian gawat darurat sehari-hari di masyarakat, kejadian gawat darurat, baik akibat bencana alam maupun manusia. Demi mewujudkan kondisi sehat dan aman di masyarakat tersebut perlu dilakukan penanganan terpadu. Maka, diperlukan dokumen penanggulangan bencana tingkat puskesmas. Dokumen diperlukan sebagai pedoman dalam penanggulangan suatu kejadian bencana sehingga memantapkan kesiapan jajaran petugas Pusat Kesehatan Masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan pada penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.

Pada 24 Oktober 2016 telah diadakan Bimbingan Teknis Peningkatan Kemampuan Petugas dan Penyusunan Dokumen Penanggulangan Bencana Di Puskesmas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Acara ini dibuka oleh dr. Patimah Hariyati sebagai Kasie Kesehatan Khusus di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. ”Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan saat bencana terjadi. Oleh karena itu, puskesmas harus sigap dan siaga menghadapi kondisi bencana” ujar Patimah. Peserta BIMTEK kali ini merupakan pemegang program PPPK di 25 Puskesmas.

Bimbingan Teknis ini melibatkan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan sebagai narasumber. Selaku pembicara pertama dalam BIMTEK ini adalah dr. Sulanto Saleh Danu, Sp,FK yang memaparkan mengenai pemahaman tentang peran dan fungsi puskesmas dalam penanggulangan bencana. Sesi diskusi pertama dr. Sulnato Saleh Danu Sp.FK menyarankan untuk puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan saat terjadi bencana diharapkan melakukan penyuluhan mengenai bencana pada masyarakat dan sering melakukan simulasi bencana agar semakin siap dalam menghadapi bencana yang akan datang. Peserta menanyakan, “Bagaimana mengkoordinasikan relawan yang akan ikut membantu saat bencana?”. Mengenai relawan yang biasa turut hadir dalam penanggulangan bencana, puskesmas harus mempunyai form registrasi yang d idalamnya memastikan relawan yang datang memang mempunyai kompetensi dalam membantu pelayanan kesehatan saat bencana terjadi, ujar dr. Sulanto Saleh Danu Sp.FK.

dr. Sulanto Saleh Danu Sp.FK

Pembicara kedua dalam BIMTEK ini adalah dr. Bella Donna, M.Kes sekaligus sebagai kepala divisi manajemen bencana PKMK FK UGM. Pada BIMTEK ini Bella menyampaikan pengorganisasian dan sistem komando dalam penanggulangan bencana dan mitigasi bencana di tingkat puskesmas. Dalam materinya kali ini Bella menekankan tentang pentingnya pengorganisasian dan sistem komando saat terjadi bencana faktanya banyak kegagalan penanggulangan bencana karena lemahnya koordinasi dari setiap pihak yang terlibat. Dalam sesi diskusi ada pertanyaan dari salah satu peserta mengenai struktur organisasi tim bencana di puskesmas, “Apakah struktur organisasi tim bencana dapat menggunakan struktur organisasi yang telah ada di puskesmas sehari-hari?”, tanya salah satu peserta. Menurut Bella, struktur organisasi tim bencana bersifat fleksibel hanya perlu ditambahkan saja koordinator yang mengurusi relawan dan pemulangan pasien saat bencana terjadi karena hal inilah yang membedakan dengan struktur organisasi sehari-hari.

Pada sesi terakhir dari BIMTEK yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dilakukan penugasan mengenai penyusunan dokumen Primary Health Care Disaster Plan. Masing-masing peserta diberikan lembaran tugas berisi pertanyaan yang akan membantu dalam menyusun dokumen Primary Health Care Disaster Plan. Setelah selesai mengerjakan, perwakilan dari peserta diminta untuk mempresentasikan hasil dari penugasannya. Harapan dari BIMTEK ini agar Puskesmas segera memiliki SK dalam penanggulangan bencana, memiliki dokumen dalam penanggulangan bencana dan memiliki dokumen mitigasi dalam penanggulangan bencana di wilayahnya.

Reportase

GLADI BENCANA KEGAGALAN TEKNOLOGI

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016

Yogyakarta, 31 Agustus 2016

Reportase oleh Intan A.

PKMK-FK UGM-- Keberadaan reaktor nuklir di wilayah DIY membuat masyarakat harus tetap waspada. Adanya teknologi tersebut memiliki resiko kebencanaan yang tinggi. Oleh karena itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY menggelar latihan kedaruratan bencana kegagalan teknologi nuklir. Kegiatan ini melibatkan Badan Tenaga Nuklir Yogyakarta, PKMK FK UGM dan instansi-instansi terkait lainnya.

batan simulasi

Doc. Tribun Yogyakarta. Pers conference

“Pelatihan ini kami gelar agar masyarakat semakin waspada. Kalau dari pihak BATAN (Badan Tenaga Nuklir) personilnya sudah mengerti tentang potensi bencana nuklir, sedangkan masyarakat umum belum," kata Kepala BPBD DIY Krido Suprayitno saat ditemui di Kantor BATAN Caturtunggal, Depok, Rabu (31/8).

Saat ini pemukiman warga di sekitar Reaktor Nuklir Kartini Batan DIY sudah semakin padat. Bahkan penghuni kawasan tersebut didominasi oleh mahasiswa atau masyarakat yang pada dasarnya merupakan pendatang baru dan tidak mengetahui keberadaan reaktor nuklir di kawasan Caturtunggal ini.

Meski instalasi nuklir tersebut telah dibangun dengan standar keselamatan dan operasional tertentu berikut rencana kontijensi, tetap diperlukan upaya mencegah resiko kecelakaan dan bencana. Di antaranya dengan melakukan latihan penguatan ketangguhan dalam kedaruratan. Rangkaian kegiatan latihan bencana dari BPBD ini terdiri atas beberapa kegiatan yaitu Table Top Exercise (TTX), Command Post Exercise (CPX), Field Training Exercise (FTX), serta After Action Review (AAR).

Table Top Exercise digelar pada 31 Agustus 2016 melibatkan 150 personil penanganan bencana. Hasil diskusi akan digunakan sebagai masukan untuk menyusun materi gladi posko. Dari situ, dilanjutkan gladi lapang dan simulasi yang melibatkan 500 personil dari BPBD, PKMK FK UGM, kepolisian, militer, BATAN, dan juga masyarakat sekitar.

Kepala Pusat Sains dan Teknologi Akselerator BATAN, Susilo Widodo mengatakan, di antara sekian banyak potensi bencana teknologi,nuklirsebetulnya memiliki resiko paling kecil mengingat ada standar prosedur ketat yang diterapkan. Ia juga menyebut, potensi bencananuklirdi Yogyakarta sebenarnya mendekati nol persen meski di instansinya ada reaktornuklirKartini yang sudah berdiri sejak 1979. Namun begitu, dirinya sepakat bahwa upaya kontijensi dan kewaspadaan serta kesiapsiagaan bencana tetap diperlukan. Termasuk juga pemahaman masyarakat umum terhadap keberadaan BATAN. "Dengansimulasi lapangan, harapannya ada penyempurnaan SOP dan koordinasi antar instansi. ini penting dilakukan," katanya.

batan simulas hdpi

Divisi Manajemen Bencana PKMK-FK UGM sebagai tim yang membangun konsep penanganan bencana khususnya di sektor kesehatan, dan institusi pendidikan juga ikut terlibat di kegiatan ini. Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM dalam kegiatan ini melakukan pendampingan khususnya pada Sektor Kesehatan. PKMK FK UGM diwakili oleh dr. Bella Donna dan dr. Sulanto Saleh Danu menjadi observer dan evaluator pada kegiatan ini.

Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM memberikan pendampingan pada Tim Kesehatan BATAN, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit mengenai pentingnya membuat SOP untuk penanganan bencana pada kegagalan teknologi. Dengan terbentuknya SOP ini diharapkan masing-masing instansi mengetahui tugas dan fungsinya saat terjadi kegagalan teknologi di BATAN.

 

 

Reportase: 

SEMINAR NASIONAL
HOSPITAL DISASTER PLAN

(PENYUSUNAN RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA DI RUMAH SAKIT)

Rabu, 7 September 2016

border-page

hdp 7 septmber

PKMK-Yogya. Seminar Hospital Disaster Plan (HDP) telah dilaksanakan pada Rabu, 7 September 2016 di FK UGM. Acara ini diinisiasi oleh Pokja Bencana PKMK FK UGM. Acara dibuka oleh Kepala Divisi Manajemen Bencana PKMK yaitu dr. Bella Donna, M. Kes. Tujuan penyusunan Hospital Disaster Plan (HDP) ialah RS memiliki respon yang baik saat terjadi bencana. Seminar ini diharapkan bisa memberikan bekal agar mahasiswa dan umum siap menghadapi bencana, selain untuk pembelajaran.

Sesi 1

dr. Ina Agustina Isturini (Kasubid Evaluasi Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI) menyatakan telah ada kebijakan nasional untuk HDP. Salah satunya UU No 24 Tahun 2007  yang mengatur tentang penanggulangan bencana agar pemerintah dapat melindungi masyarakat dari ancaman bencana (salah satunya RS yang aman saat terjadi bencana). Sementara, untuk kesepakatan internasional terkait RS yang aman, antara lain kesepakatan yang diinisiasi WHO SEARO, Yogyakarta Declaration 2012, Sendai Framework 2015, sebelumnya tahun 2012 OKI dan Negara Asia Pasifik juga mendukung upaya ini.

RS berperan di seluruh tahap bencana, pra (pengurangan resiko), tanggap darurat (siap, mudah diakses, tetap aman dan berfungsi maksimum, siap dimobilisasi, tetap menyediakan layanan penting), pasca bencana (segera memperbaiki sarana prasarana membangun lebih baik atau build back better, tujuannya jika bencana terjadi lagi, situasi akan lebih baik). Kemudian, RS juga berperan dalam meningkatkan fungsi layanan kesehatan. Resiko bencana berbanding terbalik dengan kapasitas, namun berbanding lurus dengan kerentanan. Kerentanan ini juga bisa berasal dari struktur dan non struktur bangunan, misalnya letak lampu yang berada di atas persis bed  pasien harus diperhitungkan agar tidak mengganggu keselamatan pasien (jatuh atau yang lain). Kapasitas ini erat dengan kemampuan manajerial pemerintah dalam penanganan bencana. Salah satu tujuan HDP ialah mengurangi hazard dengan memiliki sistem pencegahan, menerapkan standar K3, melindungi pasien, pengunjung dan lingkungan. RS juga berfungsi sebagai jembatan perdamaian, tidak boleh memihak. Sehingga dalam situasi konflik, RS harus mampu melayani secara maksimal. Permenkes No 64 Tahun 2012 mengatur penanggulangan krisis kesehatan di tiap level. Sehingga peran Mentri Kesehatan dan Kadinkes Provinsi ialah memetakan unit yang ada. Sementara Kadinkes Kabupaten/Kota berfungsi memfasilitasi unit/fasilitas kesehatan. Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kementrian Kesehatan terbagi dalam 9 PPK regional dan 2 PPK subregional. Tantangan seputar HDP ialah RS atau fasyankes yang aman belum menjadi komponen kunci dalam akreditasi, sehingga program yang terkait dengan hal ini berjalan sendiri dan tidak berkelanjutan. Kedua, SDM yang mampu memahami dan menyusun HDP masih kurang. Ketiga, HDP belum menjadi penilaian dalam akreditasi.

Susi Runtiawati, BE, SE, MKM (Kepala Bidang Sarana dan Prasarana RS Sardjito) memaparkan seputar Hubungan K3 dan HDP. RS Sardjito sudah memiliki HDP dan terakreditasi JCI. Dalam implementasi kerja K3, RS harus melakukan drili atau simulasi. Namun, di lokasi lain, Kadang K3 masih digabung dengan santitasi, teknik dan lain-lain. Fungsi utama K3 ialah melakukan advokasi dan sosialisasi  misalnya agar aman atau tidak terkena radiasi. Lalu diikuti dengan alat medis yang siap pakai dan tidak beresiko. Komitmen kebijakan K3 ialah bagaimana pengorganisasian K3? Bagaimana kajian atau penelitiannya? Bagaimana monev-nya?

Kesulitan K3 ialah saat sosialisasi harus mampu menyentuh banyak lapisan, baik staf RS maupun pengunjung. Perlu memaparkan seluruh bahaya yang mungkin muncul di RS, baik medis maupun non medis. Kemudian perlu membangun kesadaran seluruh pihak agar selalu waspada, mengurangi kepanikan dan mempelajari jalur evakuasi yang ada jika bencana terjadi.

Bangunan yang ada pun harus memenuhi standar evakuasi, misal gedung tinggi dengan kaca harus dilengkapi teralis, agar resiko jatuh dan bunuh diri dapat diminimalkan. Upaya lain yang dapat dilakukan ialah, semaksimal mungkin mengurangi resiko ergonomis saat dokter mengoperasi lebih dari tiga jam. Lalu, jika memadamkan api, jangan menyemprot ke arah dan lidah api, yang tepat ialah mengikuti arah angin atau sudut 30 derajat.

Diskusi

Jika menilik substansi maka HDP sudah termasuk di semua regulasi terkait RS yang telah ada (penanggulangan, pra dan pengurangan resiko). Sejumlah tema muncul dalam diskusi, namun yang cukup mencuri perhatian ialah penyusun HDP ialah seluruh elemen yang terlibat di RS. Sehingga HDP ini sangat tergantung pada situasi dan kemampuan masing-masing RS. Namun, siapa yang akan menghidupkannya? Tentu saja jawabannya ialah K3 karena K3 yang akan mensosialisasikan dan banyak melakukan drill terkait HDP ini, misal simulasi di bangsal jiwa, simulasi rawat jalan, simulasi penculikan bayi dan lain-lain. PPK menyatakan, PPK sempat menyusun hospital safety index dan hasilnya banyak RS yang tidak aman terhadap bencana.  Misalnya jika terjadi flu burung dalam skala luas di negara kita, maka banyak faskes yang belum mampu menangani hal tersebut. Untuk jalur evakuasi bangunan baru, sebaiknya ada jalur tersendiri yang menghubungkan gedung di atas lantai 3 ke bawah, misal dengan jalur langsung.

Sesi 2

dr. Adib A Yahya, MARS (PERSI) yang merupakan surveyor dan instruktur di penyusunan HOPE RS memaparkan pengalamannya dalam penerapan HDP di Indonesia. Selama ini, masih banyak RS yang meniru HDP RS tetangga tanpa memperhitungkan kebutuhan internal. Faktanya, HDP harus disusun dengan struktur yang jelas, agar pengorganisasiannya mudah. Setelah HDP disusun, perlu dilakukan pelatihan ke seluruh staf. Setelah pelatihan, perlu dilakukan pencatatan. Salah satu kunci dalam penanggulangan bencana ialah mengurangi rasa panik yang pasti muncul.

dr. Hendro Wartatmo, SpBKBD ((Pokja Bencana FK UGM) menyatakan HDP merupakan kumpulan protap atas respon bencana. Sehingga, dalam HDP perlu dituangkan kerjasama antara tim medis dan tim manajemen yang ada di RS. Salah satu isu yang mengemuka ialah belum banyak RS yang melakukan search capacity saat pra bencana, pasalnya jika bed hanya ada 700 sementara pasien yang datang ada 2 ribu, maka perlu disiapkan sejumlah tempat yang dapat digunakan untuk merawat pasien, misal aula, lobby dan lain-lain. Adib menambahkan pengalamannya saat di Seoul, Korea terdapat satu RS yang memasang colokan listrik dan jalur oksigen tiap 2 meter di aulanya, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan pasien saat terjadi bencana.  Hendro juga menambahkan, sebaiknya HDP ini masuk dalam kategori penilaian akreditasi KARST atau JCI agar pewujudkan RS aman dapat segera tercapai.

Diskusi

Salah seorang peserta dari Poso menanyakan, bagaimana penyusunan HDP di lingkungan konflik semacam Poso? Adib menyatakan untuk lingkungan khusus seperti wilayah konflik, HDP perlu melibatkan militer dan masyarakat, karena dibutuhkan dukungan semua pihak agar RS menjadi tempat yang aman untuk berobat.

Pada masa pra bencana perlu diupayakan adanya jejaring antar RS dan faskes dalam satu wilayah, misalnya di Jogja ada Pusabankes 118, dimana antar satu dan lain ambulance saling terhubung. Sehingga, saat terjadi kecelakaan pesawat di Jogja pada 2008, kurang dari satu jam, sudah ada 40 ambulance yang berkumpul di bandara. Saat di bandara pun, ambulance tersebut telah terkoordinir dengan baik (W).