logo2

ugm-logo

Session 3 – The Role of Universities on Disaster Health Management in Indonesia

sesi-3-hari-2

Hari kedua, seminar bertempat di ruang Senat lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM. seminar hari kedua ini disisipkan satu sesi sebelum sesi 3 dimulai. Dimoderatori langsung oleh dr. Hendro Wartatmo, Sp.BD, pembicara sesi 2 hari 1, Prof. Graeme dan dr. Carlos. Kedua pembicara ini membahas mengenai manajemen bencana sektor kesehatan di negara masing-masing. Prof. Graeme khusus membicarakan mengenai framework dan bagan organisasi penanggulangan bencana di bawah kementerian kesehatan New Zealand. Sedangkan, dr. Carlos lebih membicarakan mengenai konsep manajemen bencana dan definisi dari bencana itu sendiri. Point yang tertangkap adalah suatu kejadian dikatakan bencana jika peristiwa tersebut membutuhkan bantuan dari luar.

Sesi 3 kali ini mengundang pembicara perwakilan-perwakilan dari universitas di Indonesia yang pernah terlibat dalam penanggulangan bencana tsunami Aceh. Semua fakultas kedokteran dari Universitas Brawijaya, Universitas Hasanudin, dan Universitas Gadjah Mada. Melibatkan juga, dr. M. Yani yang sekarang merupakan mantan Pembantu Dekan 1 Universitas Syiah Kuala, Aceh.

Dr. Ali Haedar, Sp.EM, sebagai pembicara pertama menyampaikan pengalaman dan hasil penelitiannya mengenai penanggulangan bencana di Indonesia dengan sangat apik. Beliau menekankan bahwa pengiriman tim bantuan ke daerah bencana tidak selalu melakukan kegiatan medis, tetapi juga penilaian atau assessment dan tidak selalu datang pada saat terjadi bencana. Seperti pengalaman beliau dan tim Brawijaya yang pernah berangkat ke Bencana Wasior justru hari ke 7 setelah kejadian. Hal ini terjadi karena yang dibutuhkan daerah adalah berdirinya rumah sakit lapangan.

Pembicara kedua, Prof. DR. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS yang saat ini merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Setelah berbagai kejadian bencana yang terjadi di Indonesia, Makasar sendiri juga mulai mengambil pelajaran dimana sudah mulai dikembangkan adanya manajemen bencana bagi mahasiswa s1. Beliau juga mengomentari mengenai masalah perencanaan yang sulit apalagi terkait tentang pembiayaan pra bencana. Pada tahun 2000 pernah diadakan kegiatan yang menghasilkan Deklarasi Makasar, jika memang deklarasi ini dijalankan, sesungguhnya manajemen becana itu sudah bisa baik. Namun, alur birokrasi perlu dikompromikan sebelumnya dengan kondisi bencana yang tidak terduga dan sangat membutuhkan pelatihan dan perencaaan pada saat sebelum terjadi bencana.

Bersambut dengan bahasan yang dibawakan oleh dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS sebagai dokter di RS Sardjito dan juga ketua Pokja Bencana FK UGM, beliau menyampaikan mengenai peran universitas seharusnya dimana dalam fase-fase bencana tersebut. Pengalaman dan pengiriman tim sudah banyak dilakukan oleh universitas jika terjadi becana tetapi lebih dari itu apa yang bisa dilakukan oleh universitas dengan segala sumber dayanya pada saar kesiapsiagaan misalnya. Universitas sangat dibutuhkan perannya dalam rangka kajian dan rumusain inovasi untuk manajemen bencana di Indonesia.

Terakhir, dr. M. Yani sebagai narasumber dari Aceh menutup sesi ini dengan paparannya. Tidak banyak foto kejadian di Aceh silam yang ditampilkan beliau, karena pasti sudah banyak di media dan dimiliki oleh rakan sekalian ujar beliau. Pada saat kejadian bencana Aceh Universitas sempat kollaps hingga sekian lama, mau mengerahkan mahasiswa untuk membantu korban bencana tetapi juga ada sanak keluarga mahasiswa yang menjadi korban. Dilema bagi kami pada saat itu. Bahkan pada saat itu kami mengirimkan residen dan mahasiswa koas kami ke luar daearh Aceh agar pendidikan tetap berjalan dan tidak terganggu dengan kejadian bencana tsunami pada saat itu. Kalau peran universitas sendiri sampai saat ini terlibat pada tim bantuan dan psikososial. Saat ini telah ada magister manajemen bencana di Aceh.

Diskusi

Diskusi pada sesi ini berjalan dengan sangat baik dan dua arah. Penanya menanyakan juga mengenai pengalaman Universitas Brawijaya dengan kejadian Meletusnya Gunung Kelud awal tahun lalu.

Begitu juga dengan masalah mengenai pengiriman tim bencana Indonesia keluar negeri, terkadang tim kita tidak bisa masuk karena masalah birokrasi.

Dibahas juga mengenai pendanaan pengiriman tim ke daerah bencana. Biasanya hal sulit yang dilaukan adalah pada saat pelaporan karena SPJ yang disyaratkan sulit dipenuhi di daerah bencana.

Diskusi sesi ini ditutup dengan pemberian plakat pada semua pembicara, yang diwakilkan oleh Dekanat Fakultas Kedokteran UGM, dr. Endro Basuki.

BACK

 

Reportase Sesi 1: History of Disaster Management in Health Sector

sesi1

Sesi pertama ditujukan untuk memaparkan mengenai sejarah manajemen bencana sektor kesehatan di Indonesia. Sesi ini langsung dimoderatori oleh Ketua Pokja Bencana FK UGM, dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS dan juga menghadirkan pemateri yang memiliki banyak keterlibatan dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

hendro-1Pemateri pertama adalah dr. Hendro Wartatmo, Sp. BD yang merupakan penasihat dari Pokja Bencana FK UGM dan pada masa penanggulangan bencana Tsunami Aceh terlibat langsung bersama tim bencana dari FK UGM. Beliau membagi pengalamannya saat memberangkatkan tim dari FK UGM ke Meulaboh tahun 2004. Berikut tiga point yang menjadi sorotan beliau dalam manajemen bencana sektor kesehatan, pertama, akomodasi selama masa tanggap darurat, dr. Hendro meminjam pembiayaan ke kepala bagian di FK UGM. Kemudian ia menelpon Depkes apakah relawan bisa memasuki wilayah Aceh? Melalui koordinasi ini, terungkaplah bahwa masih banyak rapat atau briefing dari pemerintah yang menghambat masa tanggap darurat ini. Pengalaman menarik yaitu untuk tim yang akan ke Meulaboh, dr. Hendro sampai menolak relawan karena pendaftar membludak. Kedua, Hal yang pertama dilakukan tim relawan ini ialah masuk ke RS Meulaboh untuk memfungsikan kembali karena functiional collapse. Faktanya, seluruh proses yang dilakukan selama di Meulaboh ialah manajemen bencana yang selama ini ada di buku. Referensi lain untuk menyimak manajemen bencana dapat dibuka melalui wadem.org. Ketiga, Pasca pemberangkatan tim relawan FK UGM ke Meulaboh, dari internal ada ajakan untuk membuat Pokja Bencana pada 2006. Sejalan dengan pembentukan itu, terjadi gempa Jogja. Akhirnya, gempa ini menjadi bencana yang dikelola dengan baik oleh Pokja Bencana dari segi manajemennya.

sudibyanto-sesi1

Pemateri kedua adalah Prof. Dr. Sudibyakto selaku penasihat BNPB dan juga sebagai ketua prodi Magister Manajemen Bencana UGM. Isu terpenting dalam manajemen bencana akhir-akhir ini ialah disaster risk management. Bagaimana mengurangi resiko, terlebih ada prediksi dari para ahli, dalam 30 tahun ke depan akan terjadi gempa dengan kekuatan 8.9 SR. Dua hal terpenting yang harus dikembangkan ialah SOP dan contigency planning.Selain itu, harus ada trust kepercayaan antar institusi, siapa yang menghitung program. Misalnya, BPBD dan BNPB sebagai muara, maka yang menghitung korban dan kebutuhan harus dari institusi yang lain.

Sehingga, harus ada framework untuk disaster risk reduction. Kasus kekinian yang dapat disimak, Banjarnegara rawan longsor, sehingga penataan ruang harus kuat. Policy development dan kebijakan lain harus diatur internasional, nasional dan lokal. memgkomunikasikan resiko penting, komunikasi ke masyarakat itu penting.

achmad-sesi1Pemateri ketiga adalah dr. Achmad Yurianto hadir sebagai perwakilan dari Pusat Penanggulangan Krisis Kementrian Kesehatan. Beliau juga merupakan kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemenkes. Kali ini, dr. Achmad memaparkan UU No 24 Tahun 2007 yang menyebutkan pemerintah pusat dan daerah merupakan penanggung jawab dalam penanganan bencana. Pertanggung jawaban ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan kedua belah pihak dalam pengurangan resiko yang harus dipadukan dengan program pembangunan. Salah satunya, mereka memiliki dana antisipasi atau cash in hand.

Pihak yang pertama merespon jika terjadi bencana ialah masyarakat. Maka, pemberdayaan masayarakat sangat penting untuk dilakukan. Pemberdayaan ini untuk mengelola bagaimana langkah yang tepat untuk mengantisipasi, menghadapi dan recovery pasca bencana. Perguruan tinggi dapat berperan besar dalam ranah ini melalui beragam kajian. Menurut pengalaman, ibukota akan selalu 40% wilayahnya banjir karena jumlah itu dihuni pendatang yang mungkin kurang aktif dalam penanggulangan banjir.

Beliau juga sangat menekankan mengenai peran universitas dalam hal kebencanaan. Tidak bisa jika semuanya diserahkan pada pemerintah. Univresitas harus terlibat terutama dari hasil penelitian yang dilakukan.

Sesi Diskusi

diskusi-sesi-1

Kedua penanya antusias pada sesi ini dan berdikusi hangat dengan para pembicara, pertama, Husaini dari FK Unlam Banjarmasin, selama ini bencana menjadi pencitraan parpol dan Pemda. Bagaimana kita mengatasi hal ini?. Kedua, Al Azim dari KMPK menyatakan ada pergeseran paradigma, dari mitigasi ke pengurangan bencana. Kita tidak belajar dari pengalaman. Jika bencana itu sudah sering terjadi, pengurangan ini bisa dilakukan lebih awal. Jawaban oleh ketiga pembicara, menegaskan PJ pengelola bencana bukan hanya koordinator, namun ada hal lain yaitu pengelolaan manajemen bencana.

Sesi selanjutnya dilanjutkan dari pertanyaan saudara Hakim (Fakultas Psikologi dan Penanganan Bencana UIN Sunan Ampel) menambahkan pendekatan lingkungan untuk pengurangan bencana, masukan pengetahuan dan strategi dari ahli pengelolaan bencana ke pemerintah sudah dilakukan tapi tidak digunakan pemerintah. Bagaimana strategi agar suara PT digunakan pemerintah? Kasusnya, lumpur Lapindo hanya penggantian fisik, tanpa megindahkan nilai sejarah masayarakat disitu.

Pertanyaan di atas ditanggapi langsung oleh dr. Hendro. dr. Hendro menyampaikan euphoria penanganan bencana, orang antusias saat respon. Makin banyak publikasi, masa banyak massa. Preparedness jarang disentuh publikasi. Ada masalah lain yaitu, biokrasi dan otorisasi pengeluaran uang. BPBD tidak ada garis koordinasi/ komando- tidak segaris dengan BN[B. Ancaman lain yang ada yaitu korupsi dalam bencana yaitu secondary disaster, sementara, problem utama ialah koordinasi.

Selebihnya, secara bergantian pembicara menyampaikan pendapatnya, pertama, Prof. Sudibyakto berdasarkan pengalaman beliau, 50 juta/jam minimal 4 jam untuk helikopter air kebakaran hutan sampai terjadi kemarau. Menurut saya, perlu program preparedness yang lebih serius.

dr. Achmad menyatakan Pusat Penanggulangan Krisis Kemkes berkolaborasi dengan WHO dalam hal pengurangan resiko melalui riset dan pelatihan. Ada anggaran namun tidak ada yang menggunakan. Kemkes telah mendorong Menristek untuk mengajak ahli mengembangan riset agar dana dari WHO ini termanfaatkan.

BACK

More Articles ...