logo2

ugm-logo

Jusuf Kalla: 6 Jam Pertama Penting Dalam Penanganan

BANDUNG, KOMPAS.TV - Sejumlah wilayah di Provinsi Jawa Barat kembali dilanda bencana alam dalam beberapa pekan terakhir. Hujan deras yang mengguyur tanpa henti sejak akhir Juni memicu serangkaian musibah, mulai dari banjir, longsor, hingga pergerakan tanah. Dampaknya terasa luas: infrastruktur rusak, akses transportasi terputus, dan aktivitas warga terganggu.

Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat mencatat, daerah yang terdampak paling parah meliputi Kabupaten Bandung Barat, Garut, Ciamis, dan Purwakarta. Di Kecamatan Ngamprah dan Lembang, banjir merendam rumah-rumah warga, sementara longsor di Garut dan Ciamis memutus jalur penghubung antar kecamatan. Di lereng-lereng Purwakarta, pergerakan tanah menyebabkan retakan pada bangunan rumah dan mengancam infrastruktur dasar.

BPBD bersama tim gabungan telah bergerak cepat untuk mengevakuasi warga terdampak, mendirikan posko darurat, dan membersihkan material longsor. Namun, tantangan masih besar: cuaca yang belum membaik dan akses menuju lokasi yang sulit membuat proses penanganan berjalan lambat.

Menanggapi situasi ini, Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Andhika Surya Gumilar, menyampaikan keprihatinan mendalam sekaligus mendesak pemerintah daerah agar memperkuat langkah mitigasi bencana secara menyeluruh dan berkelanjutan. “Bencana ini tak bisa terus dianggap musiman atau insidental. Perlu ada penataan ulang tata ruang dan penguatan infrastruktur penahan bencana, terutama di wilayah yang sudah lama dikategorikan sebagai zona rawan,” ujar Andhika, Senin (14/7).

Andhika menilai bencana yang terjadi tak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem, tapi juga merupakan refleksi dari lemahnya sistem drainase dan praktik pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Ia menyoroti maraknya pembangunan permukiman dan infrastruktur di lereng bukit serta bantaran sungai—area yang seharusnya dilindungi sebagai zona konservasi.

Komisi V DPRD Jawa Barat, lanjut Andhika, mendorong percepatan pembangunan saluran air, tanggul, dan talud di daerah rawan. Ia menekankan bahwa anggaran penanganan bencana harus benar-benar dialokasikan secara konkret, bukan sekadar menjadi wacana atau program seremonial.

Selain itu, Andhika juga menyoroti minimnya sistem peringatan dini yang merata di wilayah rawan bencana. Ia mengusulkan agar Pemprov Jabar memprioritaskan program pemasangan sirene peringatan, pelatihan relawan desa, dan edukasi evakuasi mandiri sebagai bagian dari strategi pengurangan risiko bencana. “Masyarakat adalah garda terdepan dalam menghadapi bencana. Sebelum bantuan datang, kesiapan warga menyelamatkan diri sangat krusial,” tegasnya.

Tak hanya itu, ia juga mengusulkan pentingnya pengembangan basis data risiko bencana berbasis geospasial. Data ini, menurutnya, akan menjadi fondasi penting dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pembangunan infrastruktur, hingga penataan permukiman agar tidak lagi dilakukan di zona merah rawan longsor, banjir bandang, dan pergerakan tanah. “Kalau pembangunan tidak berbasis pada pemetaan risiko, kita hanya akan terus mengulang siklus bencana dan kerugian tiap tahun,” ucap Andhika.

Komisi V, kata Andhika, siap mengawal kebijakan anggaran maupun regulasi yang mendukung penguatan mitigasi bencana secara menyeluruh. Termasuk, memastikan koordinasi lintas sektor antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hingga level desa dapat berjalan dengan efektif.

Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, Andhika menegaskan bahwa penanganan bencana harus beralih dari pendekatan reaktif menjadi strategi yang terencana dan adaptif. “Langkah yang kita ambil hari ini akan menentukan keselamatan warga di masa depan. Jangan tunggu jatuh korban baru kita bergerak,” pungkasnya.

Kerugian akibat Bencana Alam di China Tembus Rp123 Triliun pada Semester I/2025

Bisnis.com, JAKARTA — Kerugian ekonomi akibat bencana alam terkait iklim yang melanda berbagai wilayah China selama semester I/2025 ditaksir menembus 54,11 miliar yuan (sekitar US$7,55 miliar). Kerugian ini setara dengan Rp123,27 triliun (nilai tukar Rp16.328 per dolar AS).

Kementerian Penanggulangan Darurat dalam konferensi pers Selasa (15/7/2025), menyebutkan bahwa sebanyak 307 orang dinyatakan meninggal atau hilang akibat bencana tersebut, sementara 2,18 juta hektare lahan pertanian mengalami kerusakan. Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu memang menghadapi ancaman bencana yang makin besar karena cuaca ekstrem. Setiap tahunnya, bencana alam yang melanda China berisiko menghilangkan aktivitas ekonomi bernilai puluhan miliar dolar serta korban jiwa. Pekan lalu, sebanyak 25 sungai di wilayah barat daya China terpantau melampaui ambang batas aman pada. Lebih dari 10.000 orang telah dievakuasi setelah sisa-sisa topan Danas dan dinamika hujan muson Asia Timur memicu curah hujan tinggi dan banjir besar. Bencana yang dikaitkan dengan perubahan iklim tersebut kini menjadi tantangan besar bagi China, terlebih dengan sistem pengendalian banjir yang menua. Mengutip Reuters, banjir yang melanda China telah mengacaukan sektor pertanian Negeri Panda yang bernilai US$2,8 triliun. Ibu kota Beijing juga tak luput dari hujan deras. Salah satu wilayah di distrik Chaoyang tercatat menerima curah hujan sebesar 68,2 mm hanya dalam waktu satu jam pada Kamis (10/7/2025) pagi, menurut Beijing Daily.

Kematian Melonjak Tiga Kali Lipat Pemprov Jakarta Siap Gelar Operasi Modifikasi Cuaca untuk Kendalikan Cuaca Ekstrem Kementerian Sumber Daya Air China sempat memperingatkan pekan lalu bahwa sepuluh sungai di barat daya, termasuk Sungai Longyan yang mengalir melalui wilayah padat penduduk di Chongqing, berpotensi menjebol tanggul dan bendungan karena limpahan air yang tinggi. Hujan selama lebih dari 24 jam pekan lalu juga menyebabkan permukaan Sungai Chishui di Provinsi Guizhou mencapai titik tertinggi sejak pencatatan dimulai pada 1953. Sementara itu, Sungai Xiaocao di Provinsi Sichuan mencapai level tertingginya dalam 29 tahun terakhir. Sementara itu, otoritas kesehatan Beijing memperingatkan bahwa kombinasi antara hujan deras yang sering, suhu tinggi, dan kelembaban yang tinggi meningkatkan risiko kontaminasi air dan pangan.

More Articles ...