Reportase:
SEMINAR NASIONAL
HOSPITAL DISASTER PLAN
(PENYUSUNAN RENCANA PENANGGULANGAN BENCANA DI RUMAH SAKIT)
Rabu, 7 September 2016
PKMK-Yogya. Seminar Hospital Disaster Plan (HDP) telah dilaksanakan pada Rabu, 7 September 2016 di FK UGM. Acara ini diinisiasi oleh Pokja Bencana PKMK FK UGM. Acara dibuka oleh Kepala Divisi Manajemen Bencana PKMK yaitu dr. Bella Donna, M. Kes. Tujuan penyusunan Hospital Disaster Plan (HDP) ialah RS memiliki respon yang baik saat terjadi bencana. Seminar ini diharapkan bisa memberikan bekal agar mahasiswa dan umum siap menghadapi bencana, selain untuk pembelajaran.
Sesi 1
dr. Ina Agustina Isturini (Kasubid Evaluasi Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI) menyatakan telah ada kebijakan nasional untuk HDP. Salah satunya UU No 24 Tahun 2007 yang mengatur tentang penanggulangan bencana agar pemerintah dapat melindungi masyarakat dari ancaman bencana (salah satunya RS yang aman saat terjadi bencana). Sementara, untuk kesepakatan internasional terkait RS yang aman, antara lain kesepakatan yang diinisiasi WHO SEARO, Yogyakarta Declaration 2012, Sendai Framework 2015, sebelumnya tahun 2012 OKI dan Negara Asia Pasifik juga mendukung upaya ini.
RS berperan di seluruh tahap bencana, pra (pengurangan resiko), tanggap darurat (siap, mudah diakses, tetap aman dan berfungsi maksimum, siap dimobilisasi, tetap menyediakan layanan penting), pasca bencana (segera memperbaiki sarana prasarana membangun lebih baik atau build back better, tujuannya jika bencana terjadi lagi, situasi akan lebih baik). Kemudian, RS juga berperan dalam meningkatkan fungsi layanan kesehatan. Resiko bencana berbanding terbalik dengan kapasitas, namun berbanding lurus dengan kerentanan. Kerentanan ini juga bisa berasal dari struktur dan non struktur bangunan, misalnya letak lampu yang berada di atas persis bed pasien harus diperhitungkan agar tidak mengganggu keselamatan pasien (jatuh atau yang lain). Kapasitas ini erat dengan kemampuan manajerial pemerintah dalam penanganan bencana. Salah satu tujuan HDP ialah mengurangi hazard dengan memiliki sistem pencegahan, menerapkan standar K3, melindungi pasien, pengunjung dan lingkungan. RS juga berfungsi sebagai jembatan perdamaian, tidak boleh memihak. Sehingga dalam situasi konflik, RS harus mampu melayani secara maksimal. Permenkes No 64 Tahun 2012 mengatur penanggulangan krisis kesehatan di tiap level. Sehingga peran Mentri Kesehatan dan Kadinkes Provinsi ialah memetakan unit yang ada. Sementara Kadinkes Kabupaten/Kota berfungsi memfasilitasi unit/fasilitas kesehatan. Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kementrian Kesehatan terbagi dalam 9 PPK regional dan 2 PPK subregional. Tantangan seputar HDP ialah RS atau fasyankes yang aman belum menjadi komponen kunci dalam akreditasi, sehingga program yang terkait dengan hal ini berjalan sendiri dan tidak berkelanjutan. Kedua, SDM yang mampu memahami dan menyusun HDP masih kurang. Ketiga, HDP belum menjadi penilaian dalam akreditasi.
Susi Runtiawati, BE, SE, MKM (Kepala Bidang Sarana dan Prasarana RS Sardjito) memaparkan seputar Hubungan K3 dan HDP. RS Sardjito sudah memiliki HDP dan terakreditasi JCI. Dalam implementasi kerja K3, RS harus melakukan drili atau simulasi. Namun, di lokasi lain, Kadang K3 masih digabung dengan santitasi, teknik dan lain-lain. Fungsi utama K3 ialah melakukan advokasi dan sosialisasi misalnya agar aman atau tidak terkena radiasi. Lalu diikuti dengan alat medis yang siap pakai dan tidak beresiko. Komitmen kebijakan K3 ialah bagaimana pengorganisasian K3? Bagaimana kajian atau penelitiannya? Bagaimana monev-nya?
Kesulitan K3 ialah saat sosialisasi harus mampu menyentuh banyak lapisan, baik staf RS maupun pengunjung. Perlu memaparkan seluruh bahaya yang mungkin muncul di RS, baik medis maupun non medis. Kemudian perlu membangun kesadaran seluruh pihak agar selalu waspada, mengurangi kepanikan dan mempelajari jalur evakuasi yang ada jika bencana terjadi.
Bangunan yang ada pun harus memenuhi standar evakuasi, misal gedung tinggi dengan kaca harus dilengkapi teralis, agar resiko jatuh dan bunuh diri dapat diminimalkan. Upaya lain yang dapat dilakukan ialah, semaksimal mungkin mengurangi resiko ergonomis saat dokter mengoperasi lebih dari tiga jam. Lalu, jika memadamkan api, jangan menyemprot ke arah dan lidah api, yang tepat ialah mengikuti arah angin atau sudut 30 derajat.
Diskusi
Jika menilik substansi maka HDP sudah termasuk di semua regulasi terkait RS yang telah ada (penanggulangan, pra dan pengurangan resiko). Sejumlah tema muncul dalam diskusi, namun yang cukup mencuri perhatian ialah penyusun HDP ialah seluruh elemen yang terlibat di RS. Sehingga HDP ini sangat tergantung pada situasi dan kemampuan masing-masing RS. Namun, siapa yang akan menghidupkannya? Tentu saja jawabannya ialah K3 karena K3 yang akan mensosialisasikan dan banyak melakukan drill terkait HDP ini, misal simulasi di bangsal jiwa, simulasi rawat jalan, simulasi penculikan bayi dan lain-lain. PPK menyatakan, PPK sempat menyusun hospital safety index dan hasilnya banyak RS yang tidak aman terhadap bencana. Misalnya jika terjadi flu burung dalam skala luas di negara kita, maka banyak faskes yang belum mampu menangani hal tersebut. Untuk jalur evakuasi bangunan baru, sebaiknya ada jalur tersendiri yang menghubungkan gedung di atas lantai 3 ke bawah, misal dengan jalur langsung.
Sesi 2
dr. Adib A Yahya, MARS (PERSI) yang merupakan surveyor dan instruktur di penyusunan HOPE RS memaparkan pengalamannya dalam penerapan HDP di Indonesia. Selama ini, masih banyak RS yang meniru HDP RS tetangga tanpa memperhitungkan kebutuhan internal. Faktanya, HDP harus disusun dengan struktur yang jelas, agar pengorganisasiannya mudah. Setelah HDP disusun, perlu dilakukan pelatihan ke seluruh staf. Setelah pelatihan, perlu dilakukan pencatatan. Salah satu kunci dalam penanggulangan bencana ialah mengurangi rasa panik yang pasti muncul.
dr. Hendro Wartatmo, SpBKBD ((Pokja Bencana FK UGM) menyatakan HDP merupakan kumpulan protap atas respon bencana. Sehingga, dalam HDP perlu dituangkan kerjasama antara tim medis dan tim manajemen yang ada di RS. Salah satu isu yang mengemuka ialah belum banyak RS yang melakukan search capacity saat pra bencana, pasalnya jika bed hanya ada 700 sementara pasien yang datang ada 2 ribu, maka perlu disiapkan sejumlah tempat yang dapat digunakan untuk merawat pasien, misal aula, lobby dan lain-lain. Adib menambahkan pengalamannya saat di Seoul, Korea terdapat satu RS yang memasang colokan listrik dan jalur oksigen tiap 2 meter di aulanya, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan pasien saat terjadi bencana. Hendro juga menambahkan, sebaiknya HDP ini masuk dalam kategori penilaian akreditasi KARST atau JCI agar pewujudkan RS aman dapat segera tercapai.
Diskusi
Salah seorang peserta dari Poso menanyakan, bagaimana penyusunan HDP di lingkungan konflik semacam Poso? Adib menyatakan untuk lingkungan khusus seperti wilayah konflik, HDP perlu melibatkan militer dan masyarakat, karena dibutuhkan dukungan semua pihak agar RS menjadi tempat yang aman untuk berobat.
Pada masa pra bencana perlu diupayakan adanya jejaring antar RS dan faskes dalam satu wilayah, misalnya di Jogja ada Pusabankes 118, dimana antar satu dan lain ambulance saling terhubung. Sehingga, saat terjadi kecelakaan pesawat di Jogja pada 2008, kurang dari satu jam, sudah ada 40 ambulance yang berkumpul di bandara. Saat di bandara pun, ambulance tersebut telah terkoordinir dengan baik (W).