logo2

ugm-logo

Reportase Sesi 2. Kebijakan Logistik Medik Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana (2)

Reportase Sesi 2. Kebijakan Logistik Medik

Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana:
Study Kasusu Tetanus pada Gempa Yogyakarta untuk Pencegahan pada Gempa Pidie Jaya 2016

Kamis, 9 Maret 2017
Gedung Senat Lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM

sesi2

Pada sesi kedua seminar tentang logistik medik ASM 2017 dimoderatori oleh Sutono, S.Kp., M.Sc, M.Kep. Materi pertama dipaparkan oleh dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS tentang kasus infeksi saat bencana. Jurnal tentang bencana yang saat ini sering dibahas oleh peneliti yakni tentang cara mencegah dan mengendalikan natural disaster. Banyak penyakit yang muncul pada saat bencana, seperti diare, tetanus, demam, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga bencana di negara lain.

Faktor resiko yang menyebabkan munculnya penyakit pada saat bencana antara lain populasi yang terlalu banyak, minim air bersih dan sanitasi yang buruk. Untuk itu pencegahan dan pemberantasan penyakit menular merupakan termasuk tindakan yang dilakukan di pengungsian. Pemerintah pun telah membuat suatu pendoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana serta lesson learnt penanganan krisis kesehatan.
Tercatat pada gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah beberapa kasus tetanus, dan terbanyak di RS Sardjito sebanyak 22 kasus. Prosentase penderita tetanus mayoritas terjadi pada usia di atas 50 tahun sebanyak 70,43% dan apabila dilihat dari gender maka terbanyak pada pria sebanyak 57,75%.
Materi kedua dipaparkan oleh dr. Ninik dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul yang membahas tentang bencana gempa bumi yang terjadi di Kabupaten Bantul. Tahun 2016 terjadi bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul yang berpengaruh pada kualitas air yang langsung menjadi kurang baik dan berdampak timbulnya penyakit. Pada saat bencana tersebut dibuat dapur umum, dimana tidak dapat dikontrol untuk kualitas makanan dan bantuan nasi bungkus yang dimakan pada esok harinya sehingga menyebabkan diare.

Kasus tetanus juga terjadi karena terkena reruntuhan bangunan akibat gempa, dimana atap rumah warga banyak yang menggunakan seng serta paku yang bertebaran. Warga Bantul banyak yang memelihara sapi di dekat rumahnya, sehingga pasca bencana warga lebih fokus pada rehabilitasi rumah serta binatang peliharaan dan tidak memperhatikan luka yang dialami. Warga pun masih sangat minim pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi akibat luka.
Kasus tetanus di Bantul mayoritas terjadi pada usia di atas 45 tahun sebanyak 60%, hal ini terjadi karena pada saat itu belum ada kebijakan imunisasi dasar lengkap seperti sekarang ini. Apabila dilihat dari gender maka 80% terjadi pada pria karena perempuan terpapar imunisasi lebih banyak. Selama kurang dari 24 hari pasca bencana, telah terjadi 50 kasus tetanus ditemukan.

Penerimaan logistik medis pasca bencana banyak berdatangan dari berbagai sumber baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga perlu adanya pengelolaan yang tepat. Distribusi obat tidak hanya diberikan kepada fasilitas kesehatan namun juga ke posko-posko yang banyak muncul secara mendadak. Pengelolaan logistik tersebut menggunakan sistem 1 pintu baik penerimaan maupun pendistribusian.

Persediaan obat tetanus pada gudang obat yang dimiliki Dinas Kesehatan Bantul sangat minim. Sementara bantuan yang berdatangan tidak ada yang memberikan pengobatan untuk tetanus, hanya antibiotik dan analgesik saja. Namun terdapat solusi karena selama bencana sesuai kebijakan nasional untuk pengadaan diperbolehkan secara langsung tanpa melalui tender.

Permasalahan yang terjadi yakni obat dari donatur seringnya tiba-tiba datang tanpa adanya koordinasi dan obat yang dikirim tidak semua bagus, karena ada yang waktu kadaluarsanya pendek. Pemusnahan obat pun sempat dilakukan yang dianjurkan oleh WHO kurang lebih 10 ton. Berdasarkan dari pengalaman tersebut maka dilakukan perubahan pada gudang obat dimana dibuat 10-20% buffer stock oabt serta obat untuk kebutuhan rutin yang mencukupi selama 18 bulan. Jumlah persediaan Anti Tetanus Serum ATS) pun sekarang lebih diperbanyak, serta pengadaan ATS yang menggunakan e-katalog untuk pengirimannya dilakukan 3 kali. Hal ini dengan tujuan agar memiliki tanggal kadaluarsa yang berbeda.

Materi ketiga tentang kasus tetanus pada gempa bumi Pidie Jaya tahun 2016 dipaparkan oleh dr. Hasnani, M.Kes dari P2KK Aceh yang dilakukan menggunakan media webinar. Pada bencana tersebut, dinas kesehatan Aceh berkoordinasi dengan RSU Zainal Abidin Banda Aceh dalam hal menerima pasien, serta mendirikan pos koordinasi kesehatan. Fase tanggap darurat hari ke-2 maka telah dibentuk tim kesehatan, dimana seluruh divisi dari Dinkes Aceh bergabung bersama tim P2KK Aceh pada klaster kesehatan. Bantuan segera datang setelah bencana terjadi, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejumlah tim relawan membantu dalam situasi yang timbul akibat bencana. Diketahui terdapat kurang lebih 1.174 relawan yang telah terjun dalam bencana.

Fasilitas kesehatan banyak yang mengalami kerusakan, terutama yang paling banyak terjadi yaitu puskesdes. Banyak penyakit juga yang timbul akibat bencana, seperti ISPA, diare, penyakit kulit, dan penyakit lain. Cakupan imunisasi pada gempa Pidie Jaya melingkupi imunisasi campak sebesar 95,02% dari target 5.500 balita, dan imunisasi tetanus sebanyak 67,63% dari 275 relawan. Tidak ditemukan kasus tetanus baik sebelum bencana maupun dari para relawan pada masa tanggap darurat.
Materi terakhir disampaikan oleh dr. Sulanto Saleh Danu, Sp.FK tentang logistik medik pada bencana. Erat hubungannya antara bencana dengan infeksi, dimana infeksi terjadi apabila muncul gejala patologis. Besar kecilnya logistik dalam bencana dipengaruhi oleh macam bencana, besar kekuatan, lokasi bencana, jumlah korban dan populasi penduduk.

Dampak dari bencana menimbulkan trauma, komplikasi, dan penyakit seperti tetanus. Sementara tindakan pasca bencana pada korban maka perlu dilakukan triase, perawatan luka, stabilisasi, serta tindakan pencegahan. Berdasarkan dari beberapa bencana yang terjadi di Indonesia, maka sangat perlu dilakukan pengelolaan logistik baik medis maupun non medis. Tiap bencana selalu berdampak pada kesehatan manusia, banyak penyakit yang akan timbul, salah satunya yaitu yang diakibatkan oleh infeksi. Penatalaksaan infeksi sendiri diperlukan anti infeksi, vaksin serum dan pendukung lainnya.

Reporter: Wisnu Damarsasi

Reportase Sesi Pembukaan Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana

Reportase Sesi Pembukaan

Seminar Penggunaan Logistik Medik pada Bencana:
Study Kasus Tetanus pada Gempa Yogyakarta untuk Pencegahan pada Gempa Pidie Jaya 2016

Kamis, 9 Maret 2017
Gedung Senat Lantai 2 KPTU Fakultas Kedokteran UGM

pembukaan asm bencan

Seminar rutin tahunan yang diselenggarakan kerjasama antara Pokja Bencana FK UGM dengan Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM ini merupakan partisipasi dalam rangka Annual Scientific Meeting FK UGM setiap tahunnya. Tahun 2017, Pokja Bencana mengambil tema yang lebih spesifik, merujuk pada tema ASM Pusat, yakni tentang penggunaan logistik medik dalam bencana.

Permasalahan logistik dalam bencana menarik untuk didiskusikan sebab penggunaan dan pendistribusian yang tidak tepat dapat menimbulkan masalah kesehatan. Berbeda dengan seminar-seminar sebelumnya, seminar kali ini kita fokus pada satu kasus yakni kasus tetanus, kata dr. Handoyo Pramusinto, Sp.BS selaku Ketua Pokja Bencana FK UGM dalam sambutannya.

handoyo

dr. Handoyo mengapresiasi kepada seluruh peserta, klien, dan pemerhati bencana semuanya yang berhadir secara langsung ataupun yang melalui webinar dalam seminar ini. Kita membutuhkan diskusi dan sharing yang banyak dari seluruh rekanan bencana dalam seminar ini.

Sambutan dan pembukaan disampaikan oleh dr. Mei Neni Sitaresmi, SP. A(K), Ph.D selaku perwakilan dekanat FK UGM. Beliau mengatakan bahwa upaya kesiapsiagaan bencana sangat dibutuhkan agar penanganan respon dan pasca bencana lebih optimal, salah satunya dengan penyiapan logistik. Kaitannya dengan kasus tetanus pada kejadian gempa menarik untuk dibahas karena berkaitan sekali dengan ketersediaan logistik vaksin misalnya, bagaimana perencanaan, pendistribusian, dan cakupannya pada masa bencana.

dr. Mei Neni Sitaresmi

Harapan beliau seminar ini menjadi pembelajaran yang bagus karena mempertemukan antara guideline dan kebijakan yang ada dengan pengalaman rekan sekalian di lapangan pada saat bencana. Bisa jadi dari seminar ini nantinya didapatkan masukan upaya perbaikan penanganan logistik medik pada saat bencana kedepannya.


Reportase: Madelina A

 

More Articles ...