logo2

ugm-logo

Ancaman Megathrust Sesar Lembang, Bagaimana Mitigasi Bencana Gempa di Bandung?

Bandung - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung akan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait ancaman gempa bumi akibat Sesar Lembang atau megathrust, menyusul adanya gempa berkekuatan 2,7 magnitudo di Kota Cimahi pada Minggu, 29 Juni 2025 lalu.

"Pelatihan mitigasi bencana ini penting, terutama bagi masyarakat Kabupaten Bandung yang berdekatan atau dilintasi Sesar Lembang seperti Kecamatan Cimenyan dan Cilengkrang, termasuk juga Cileunyi," kata Bupati Bandung, Dadang Supriatna dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 5 Juli 2025.

Adapun langkah yang akan dilakukan Pemkab, ungkap Dadang, di antaranya menggelar pelatihan mitigasi bencana, pelatihan evakuasi, dan memberikan informasi agar masyarakat benar-benar memahami potensi megathrust.

"Kalau Sesar Lembang ini mengalami pergeseran dan terjadi gempa 7,6 skala richter, saya sendiri tidak bisa menyampaikan dengan kata-kata bagaimana nanti berantakannya," ucap dia.

Di sisi lain, Dadang pun berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat lebih gencar dalam melakukan sosialisasi terkait ancaman gempat bumi akibat Sesar Lembang tersebut.

"Saya berharap kepada Gubernur maupun Sekda Jabar, harus ada sosialisasi khusus untuk mungkin setiap minggunya untuk membahas secara kewilayahan terkait Sesar Lembang. Terutama di wilayah Bandung Raya yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi termasuk Kabupaten Sumedang," imbuh Dadang.

Selain sosialisasi, Dadang juga meminta Pemprov Jawa Barat untuk melakukan pembahasan secara khusus bersama pemerintah daerah terkait penanganan Sesar Lembang ke depannya.

"Jadi, ya kami menunggu untuk bisa berpikir bersama dan membahas secara khusus tentang penanganan Sesar Lembang ini ke depan," pungkasnya. 

Diketahui, Sesar Lembang merupakan sebuah patahan geser aktif yang terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Patahan ini menjulang sepanjang 29 kilometer, dari Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat hingga Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Selain itu, Sesar Lembang juga melewati beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.

Sesar Lembang diprediksi memiliki potensi untuk menyebabkan gempa bumi berkekuatan 6,8 hingga 7 magnitudo, dengan kemungkinan pergeseran tanah sekitar 3-5 milimeter per tahun.

sumber: Liputan6.com

Sistem Peringatan Dini yang Tertinggal Perparah Dampak Bencana di Sulsel

FAJAR, MAKASSAR —   Sulawesi Selatan kembali berduka. Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah kabupaten seperti Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai baru-baru ini bukan hanya merendam ratusan rumah, tetapi juga menyingkap lemahnya sistem peringatan dini (early warning system) di daerah ini. Padahal, dengan teknologi yang ada saat ini, seharusnya dampak bencana bisa diminimalisir.

Akar masalahnya adalah sistem peringatan yang tertidur. Sehingga,  data tidak real-time, masyarakat jadi korban. Di Bantaeng, warga mengeluh air bah datang tiba-tiba tanpa peringatan memadai. “Kami dapat info banjir saat air sudah masuk rumah,” kata Daeng Haris (42), warga Bantaeng. Ini terjadi karena sistem pemantauan debit air dan curah hujan di hulu tidak terintegrasi secara real-time dengan pusat informasi di hilir. Akibatnya, peringatan datang terlambat.

Selain itu Ketua Forum Komunitas Hijau, Achmad Yusran mengaku miris dengan eegulasi yang jadul, teknologi terabaikan, sementara di daerah lain, sudah memakai sensor IoT dan prediksi AI, sebagian daerah di Sulsel masih mengandalkan kentongan dan pemantauan manual. Padahal, teknologi seperti Soil Moisture Alert bisa memprediksi banjir 6 jam sebelumnya. Sayangnya, tidak ada aturan yang memaksa pembaruan sistem, sehingga banyak daerah stuck dengan cara lama.

“Koordinasi semrawut, informasi tidak sampai. Seperti laporan dari BMKG tentang potensi hujan ekstrem sering kali tidak diikuti respons cepat dari BPBD pemda setempat hingga ke akar rumput,” lanjut Ysuran.

Di Bulukumba misalnya, data deforestasi di hulu tidak otomatis memicu siagabanjir di hilir. Akibatnya, masyarakat tidak punya waktu cukup untuk evakuasi.

Solusi dari Telat Waspada ke Siaga Dini

Yusran mengatakan para pihak wajib melek teknologi dan informasi melalui, Teknologi Terpadu Hulu-Hilir. Masing-masing pemkab wajib pasang sensor IoT di daerah rawan seperti di Sungai Bantaeng dan Bulukumba untuk pantau ketinggian air dan kelembaban tanah secara real-time.

Kemudian membangun platform digital seperti PetaBencana.id versi Sulsel, yang bisa kirim notifikasi otomatis ke warga via SMS atau aplikasi.

Perbaiki Regulasi, Jangan Hanya Proyek

Namun yang tidak kalah pentingnya lagi, kata Yusran, revisi Perda Pemkab di Sulsel untuk wajibkan pemda update sistem peringatan dini setiap 3 tahun, dengan sanksi tegas jika lalai.

Standarkan pesan darurat, ganti waspada dengan instruksi jelas, misalnya evakuasi ke posko terdekat dalam 1 Jam!

“Libatkan Mlmasyarakat sebagai sensor hidup, latih kelompok tani dan pemuda di hulu untuk jadi relawan pemantau, laporkan perubahan debit air via WhatsApp Group khusus. Lalu rutin adakan gladi evakuasi bulanan di daerah rawan seperti Sinjai dan Jeneponto,” tegas Yusran.

Tantangan dan harapan

implementasi solusi ini memang tidak mudah. Keterbatasan anggaran dan resistensi birokrasi sering jadi penghalang. Namun,

pilot project di satu kabupaten (misal Bantaeng) bisa jadi contoh sebelum diperluas.

Banjir adalah keniscayaan alam, tapi korban jiwa bukan takdir. Dengan sistem peringatan yang cerdas, Sulsel bisa lebih siap,” lugas Yusran, aktivis lingkungan Sulsel.(*)

More Articles ...